PERIBAHASA "buaya" menggoda, "Sehijau-hijaunya pekarangan sendiri, lebih hijau pekarangan tetangga". Dan itu yang bikin geger Desa Lumban Siagian Jae, yang berpenghuni 500 jiwa itu -- 5 km dari Tarutung, Tapanuli Utara. Sebab, sepasang warga desa, suatu malam, dipergoki melakukan "tugas" suami-istri di rumah si wanita. Para pengetua adat murka, karena kedua makhluk itu bukanlah suami-istri. Si wanita bersuami, dan si lelaki pernah beristri. Akibat perbuatan P. Pasaribu, 26 tahun, dan N. Siburian, 24 tahun, itu adat dianggap tercemar. Maka, para pengetuanya mengadakan tiga kali rapat tonggo adat, dihadiri 9 pengetua setempat dan 1 boru pendatang di desa itu. Keputusannya: N. Siburian, ibu dua anak, diusir dari desa. Statusnya di desa itu hanya sebagai menantu keluarga Sinaga. Sedangkan hukuman buat Pasaribu adalah mentraktir makan orang sekampung, yang dilaksanakan pertengahan Mei lalu. Hukum adat ini berasal dari kejadian yang sama pada 1930. Yakni, pelaku "main serong" harus memberi makan penduduk sedesa dengan memotong seekor lembu, yang disebut sitio-tio. Sedangkan sitio-tio, maksudnya, menjernihkan suasana antara kedua pihak keluarga dengan cara makan bersama. H. Panggabean, 40 tahun, salah seorang pengetua adat di sana, mengatakan bahwa peristiwa tersebut "menjadi aib kedua keluarga sepanjang masa". Dalam bahasa Batak, ia menyebutkannya kepada Ida Yustina dari TEMPO dengan "Tihas ni bohi naso natali-talian, buha ni andora, naso ha baju-bajuan". P. Pasaribu sempat melarikan diri, karena suami N. Siburian mengadukan dia ke Polres setempat. Pengaduan itu baru dica- but usai hukum adat dilaksanakan. Sedangkan N. Siburian dipulangkan ke rumah orangtuanya di Paranginan, Kecamatan Lintongnihuta. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini