BALI bukan surga yang hilang. Itulah yang terkesan dari pameran Arie Smit, pelukis Belanda yang sejak 1940-an menetap di Ubud, Bali. Maka, tiga ruang di gedung CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di Jakarta -- tempat pameran diselenggarakan -- terasa adem ayem selama 10 hari hingga Jumat pekan ini. Ada pohon-pohon dan bunga warna-warni, cemerlang tak terusik polusi. Sejumlah pura pun masih tegak meyakinkan, bahwa orang-orang Bali bisa mendapatkan kedamaian dari tempat suci itu. Sopir Bemo Mandi adalah ketenteraman tersendiri. Di antara pohon-pohon rindang dan rumah-rumah adalah sebuah danau. Terlihat tiga laki-laki mandi. Sebuah bemo, biru muda, tersembunyi di balik pohon di kiri kanvas. Arie Smit, yang masih membujang pada usia 74 tahun kini, tampaknya memang sangat akrab dengan alam. Bukan cuma akrab terkesan dari banyak karyanya ia seolah bukan melihat alam tapi berada di dalam alam. Ia tak melihat pohon, bunga, langit, tanah, air, bahkan manusia satu per satu. "Saya melihat semua itu sebagai satu keutuhan yang kompleks yang disebut alam," katanya. Pada kanvas hal itu tercermin dari betapa utuhnya komposisi yang ia tampilkan. Betapa warna begitu mengikat semua obyek, atau lebih tepat obyek-obyek melebur dalam warna. Dengan kata lain, kanvas Smit memang terbentuk dari warna-warna. Lihat saja Pulau Bali Tampak dari Selatan. Laut biru yang teduh, langit biru yang tenang, dan Pulau Bali sayup-sayup terlihat. Beberapa perahu berlayar, kecil-kecil, ditelan kebesaran alam. Atau Pemandangan Senja, karya tahun 1973. Inilah karya yang paling kaya warna dalam pameran ini. Alam hampir sepenuhnya berubah hanya menjadi warna: biru, kuning, merah jambu, putih, oker, coretan hitam di sana-sini. Sawah dan semak menjelma warna. Hanya pohon nyiur masih bertahan. Sebuah alam yang damai, itulah keseluruhan pameran ini. Maka, ada pertanyaan yang tiba-tiba mengusik. Adakah pelukis yang dulu datang di Indonesia sebagai tentara Belanda dan ditangkap Jepang untuk dijadikan romusha selama 3,5 tahun di Muangthai ini tak melihat Bali yang berubah? Bali yang diserbu turis, hotel dan rumah disko yang bermunculan? Alam yang makin tak alami? "Apa Anda ingin saya melukis seperti itu? Nanti Anda tak suka," jawab Smit di tengah suasana pembukaan pamerannya yang ramai. Ada satu hal yang tak ia katakan. Pelukis yang dulu tenteram melukis di Ubud ini (dan menjadi sebab lahirnya kelompok Young Artists -- remaja Bali yang tak lagi melukis seperti lukisan Bali tradisional) kemudian banyak mengembara ke Bali timur dan utara. Puri di Sangsit, karya tahun 1989 pada kanvas besar, dengan suasana merah jambu, misalnya, adalah pura di Kabupaten Buleleng, di Bali bagian timur laut. Lalu ada pula lukisan pelabuhan Padang Bai yang menghubungkan Bali dan Lombok. Dan banyak lagi karya Smit pada tahun 1970-an dan 1980-an yang ia lukis di Bali utara dan timur. Tampaknya pelukis ini pun terusik oleh Bali yang berubah. Kawasan turis di Ubud khususnya dan Bali selatan serta barat umumnya sudah jarang ia lukis. Dalam diri Arie Smit mungkin ada rasa sakit melihat alam yang berubah itu. Maka, ia mencari Bali yang relatif masih seperti ketika ia pertama kali terkagum-kagum pada Bali, pada tahun 1940-an. Ketika ia tak lagi bisa "bersatu" dengan alam, Smit lalu mencari alam yang masih bisa "menerima" dan "diterima" olehnya. Di mata seorang pengamat seni rupa dari Barat, mungkin Arie Smit bukan tokoh penting. Buku Art in Indonesia karya Claire Holt tak menyinggung-nyinggung namanya. Bisa jadi, karena karya-karya Smit bagaimanapun mencerminkan pengaruh pelukis-pelukis masa pasca-impresionisme di Eropa. Tak sulit menemukan teknik-teknik Duffy, Gauguin, Matisse, atau Cezanne. Dan agak sulit menemukan kebalian Smit. Berbeda dengan Walter Spies, pelukis Jerman yang juga me- netap di Bali, yang karyanya kemudian terpengaruh lukisan Bali tradisional, tak demikian dengan Smit. Hanya melihat satu dua karya Smit, orang bisa menduga bahwa ia cuma mampir melukis di Bali. Jadi, tak adakah Bali dalam diri Smit? Ada. Dan itu bukan soal yang berbau fisik, tapi lebih spiri- tual sifatnya. Dari pameran ini, dengan mudah ditangkap kesan, sang pelukis menganggap melukis bagaikan makan dan minum. Suatu kegiatan yang sangat alami. Dan bukankah orang-orang Bali menganggap kesenian seperti itu? Maka, Arie Smit menjadi menarik dilihat bukan karena inovasinya, melainkan karena sikap keseniannya. Karya-karyanya bukan karya yang akan mempengaruhi sejarah seni rupa Indonesia, tapi karya yang bisa dinikmati sebagai kesenian. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini