Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sentot Sudiharto seorang diri menari di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Suara gendang semakin kencang. Sentot bergerak semakin cepat. Kibasan tangannya tajam, tubuhnya berputar-putar oleng seperti terkena badai. Payung merah itu ia empaskan. Sampai ujungnya patah.
"Saya seolah-olah melihat Hoerijah Adam melintas," katanya. Sore itu ia merekonstruksi seorang diri tari Payung yang diciptakan oleh Hoerijah. Pada 1971, Sentot menarikannya di Taman Ismail Marzuki. Tari pendek ini bercerita tentang kehidupan keluarga yang tengah dilanda badai pertengkaran.
"Setiap mengajarkan tari, Kak Un juga menceritakan riwayat keluarganya berulang-ulang sampai saya bosan," tutur Sentot menyebut panggilan akrab Hoerijah. Sentot ingat, tatkala berpentas di TIM beberapa puluh tahun lampau itu, ia kuat mencampakkan payung. Namun ternyata Hoerijah menyukai. Payung mungkin sebagai simbol perisai pelindung keluarga yang tetap terkoyak. "Demikian kerasnya saya benturkan ke lantai, sampai payung itu sobek. Tinggal tongkat panjangnya saja," ujar Sentot.
Secara khusus Indonesia Dance Festival (IDF) memberikan penghargaan kepada Hoerijah Adam. Dia dianggap memelopori tari modern di Sumatera Barat tanpa kehilangan rasa Minang. Dialah yang berani memasukkan vokabuler silat dalam karya-karyanya—sesuatu yang dianggap tak pantas bagi masyarakat Minang saat itu karena silat lebih banyak dipelajari kaum laki-laki. Dosen Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Rasmidah, kepada Tempo mengatakan Hoerijah membuka tabir keterikatan perempuan Minangkabau yang sulit mengembangkan diri dalam dunia tari.
Sebuah film dokumenter, Playing Barabah, karya Katia Engel juga dibuat mengiringi penghargaan tersebut. Film ini menyusuri kembali murid-murid Hoerijah di Padang dan para sahabatnya penari di Jakarta, seperti Edi Sedyawati dan Julianti Parani. Barabah adalah karya Hoerijah yang dianggap sangat bernuansa silat. Barabah sejenis burung kecil yang lincah, trengginas, dan bersarang rendah. Ia metafor bagi jiwa pemberontakan Hoerijah yang tak mau dikekang. Siswi-siswi SMKI Padang tatkala IDF berlangsung datang ke TIM memberi contoh gerakan-gerakan Barabah.
Hoerijah menciptakan 13 gerak dasar tari yang bersumber dari gerakan silat. Dan, dalam Barabah, semua unsur gerakan itu ada. Hingga kini, 13 gerakan dasar itu masuk kurikulum seni tari ISI Padang Panjang. Seorang murid Hoerijah, Nirwana Murni, mengingat bagaimana Hoerijah mengajarkan gerakan pitunggua yang menjadi kuda-kuda dalam tari. Atau gerakan gelek, yang dalam pencak silat berarti menghindari serangan. Saat mengajar, Hoerijah sangat berdisiplin dengan waktu dan gerakan. Misalnya sudut kaki itu harus 90 derajat. "Tapi setelah mengajar ada suasana kekeluargaan yang dirasakan bersamanya. Dia itu keibuan," kata Nirwana.
Hoerijah membentuk kelompok tari pertama kali pada 1958. Grup ini menjadi anggota Kodam II. Pada 1959-1968, untuk menenangkan masyarakat yang baru terlibat perang saudara, grup ini menggelar pentas di segala penjuru Sumatera Barat sampai tercatat 112 kali pertunjukan. Hoerijah, yang mahir bermain biola, juga mengiringi pentasnya dengan biola. "Saya melihat beliau tahun 1960-an, setelah selesai masa PRRI, menghibur tentara-tentara di Payakumbuh, Batusangkar, Bukittinggi, dan sebagainya," kata koreografer Tom Ibnur.
Karya-karya tari Hoerijah awalnya bernuansa Melayu. "Tari Nina Bobok, Nelayan, Sandang Pangan, Sapu Tangan, unsur Melayunya kuat. Baru pada Barabah ia memasukkan secara full silat Padang," kata koreografer Ery Mefri. Yang menarik, buku-buku yang membahas Hoerijah menyebutkan bahwa ia hanya belajar silat kepada seorang guru bernama Patiah Nan Duang di gedung kebudayaan Padang. Dari guru itu, Hoerijah menguasai tari Sewah, Sijundai, Alang Bentan, Adau-Adau, Gelombang, Piring, dan Pado-Pado .
"Tapi, untuk Barabah, saya menduga Hoerijah belajar kepada ayah saya di Desa Saniangbaka, daerah Singkarak," kata Ery. Ayah Ery, Djamin Manti Jo Sutan, adalah guru silat. Di Saniangbaka tumbuh khas silat Balam Lago (pertempuran perkutut). Adapun Ery tak pernah bertemu dengan Hoerijah, tapi selama belajar di SMKI ia mempelajari semua karya Hoerijah. " Ayah saya mengatakan selama setahun Hoerijah bolak-balik Padang-Saniangbaka." Ery mengenali unsur-unsur silat dalam Barabah persis seperti silat yang diajarkan ayahnya. "Ayah saya juga bilang, selama satu bulan Hoerijah sempat belajar ke guru silat ayah saya, Sayib Sutan Basa."
Dugaan Barabah banyak menggunakan unsur silat dari Saniangbaka juga diperkuat oleh Tom Ibnur. Tom ingat, saat itu, pada 1963, Sumatera Barat mengadakan Festival Kesenian Olahraga dan Agama (Festikora). Tom, yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, terpilih bersama Hoerijah dan penari Sofiani untuk melakukan penelitian tari. Mereka dikirim ke berbagai kawasan di Sumatera Barat. Hoerijah mendapat tempat di Saniangbaka. Suatu hari Tom mengunjungi Saniangbaka. "Saya bertemu dengan bapaknya Ery. Saya melihat Hoerijah tengah belajar silat di situ."
Hoerijah pindah ke Jakarta pada 1968. Belum jelas benar apa yang mendorongnya pindah. Hoerijah pernah menulis surat kepada Letjen Soeharto dari Padang Panjang pada 25 Juni 1966. Tahun-tahun itu adalah masa kejatuhan Sukarno. Adapun selama di Padang, Hoerijah selalu didekati Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Dalam surat itu, Hoerijah tampak menegaskan, sebagai seniman, ia independen, tak terlibat partai atau organisasi kemasyarakatan apa pun. Tapi nada surat itu masih terasa garang.
"... Oleh karena team kami tidak pernah masuk parpol dan ormas, tetapi selalu setia kepada garis revolusi Pantja Sila, maka kami berani dan djudjur mengatakan dengan terus terang apa jang harus dikatakan.... Walaupun Manipol adalah sangat penting karena telah mendjawab persoalan pokok revolusi tetapi realisasinja sangat bergantung kepada orang jang diberi tugas melaksanakannja."
Dua helai surat penting itu dipamerkan oleh IDF. Petilan surat ini juga dibaca dalam film Playing Barabah. "Surat ini merefleksikan apa yang terjadi pada masa itu dan mungkin alasan Hoerijah meninggalkan Padang Panjang," kata sutradara Katia Engel.
Tiba di Jakarta, Hoerijah menyemarakkan kreativitas TIM, yang baru didirikan Ali Sadikin. Ia bergabung dalam Bengkel Tari Koreografi bersama Sardono W. Kusumo, Farida Feisol, dan Yulianti Parani. Pergaulan lintas batas mematangkan teknik Hoerijah. Di Jakarta, karya-karya Hoerijah berkembang. Dalam karyanya, Sepasang Api Jatuh Cinta tahun 1971, ia bahkan menggunakan biola menggesekkan komposisi Paganini. Pada 6 Maret 1971, majalah ini menulis:
"Hoerijah mengamuk dalam Sepasang Api jang konon melukisan duka tjinta. Dengan rok merah berlengan pandjang, dengan potongan Shanghai ketat melipit di bawahnja,dengan lilin menjala di kedua tangannja dan dengan menenggelamkan semuanja dalam lengking Paganini pada biola. Bisa diperkirakan berapa banjak keringat menderas. Deritanja sangat simpatik...."
Dalam pementasan Malin Kundang, majalah ini juga memujinya. Skenografi pentas ini dibuat Danarto. Para penarinya adalah Sardono W. Kusumo; Sentot Sudiharto; Irvan Holmes; seorang murid Martha Graham, I Wayan Diya; dan Farida Syuman. Sebuah resensi berjudul " Peci untuk Malin" bisa Anda baca pada edisi majalah ini, 14 Maret 1971:
"Para penonton jang memenuhi seluruh bangku teater terbuka jang tidak mustahil sebagian besar orang awak dan jang berharap menikmati tjerita wasiat dari Sumatera Barat itu lebih dulu terpaksa menjaksikan gerak-gerik modern jang lazimnja djarang dimengerti dimana letak indahnja. Meskipun achirnja mereka ketjele. Sebab Hoerijah ternjata tidak memenuhi keinginan urang kampuangnja jang gemar lagu-lagu merdu-meraju plus pepatah-petitih dan segala lenggang lenggok datar Serampang 12. Hoerijah hakikatnja tidak menjadjikan sebuah tjerita. Dengan latar-belakang rekaman hikajat jang sudah ada dikepala penonton ia sekedar menumpahkan kesan pribadi terhadap kisah Malin Kundang dalam satu komposisi jang indah...."
Malin Kundang menjadi karya terakhir Hoerijah. Hidup Hoerijah singkat. Perempuan yang suka bermain catur dan melahap banyak buku teori catur itu lahir di Balai-balai, Padang Panjang, pada 6 Oktober 1936, dan meninggal pada 10 November 1971 setelah pesawat Merpati yang ditumpanginya dari Jakarta menuju Padang menghilang di sekitar Pulau Kantang-kantang. Penghargaan IDF tak pelak juga mengenang kematiannya yang tragis. Tatkala Muhammad Jujur, 55 tahun, putra ketiga Hoerijah, naik panggung menyenandungkan lagu mengenang ibunya, dan kemudian menerima penghargaan, suasana terasa menyentuh. "Saya terharu," kata Romo Mudji Sutrisno, rohaniawan yang hadir menonton.
Seno Joko Suyono, Moyang Kasih Dewimerdeka, Andri El Faruqi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo