Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"... Tuan urus saja perjanjian-perjanjian, karena kami sibuk dengan knalpot kami. Pelaku adalah korban, korban adalah pelaku. Kalau Tuan mau jadi raja, beri kami RX King. Bahaya adalah bahasa nasional kami. Dari asap knalpot kami akan lahir jin politik penentu masa depan bangsa."
Dengan megafon, perupa Uji Hahan Handoko berorasi mengucapkan kalimat-kalimat sangar tersebut. Pada saat bersamaan, di bawah aba-aba seorang konduktor, delapan anggota Punkasila menyalakan mesin sepeda motor dan knalpot blombongan. Raungan empat knalpot blombongan memekakkan telinga. Asap yang menyembur dari cerobong knalpot menghasilkan polusi udara di pelataran gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu malam dua pekan lalu.
Di tengah pelataran yang dikelilingi penonton, belasan penari yang sebagian berkostum wearpack mirip montir telentang sambil menggerak-gerakkan tubuh seperti terkena setrum. Penari-penari itu juga berbaris memainkan bendera seperti orang sedang bermain sandi morse. Para penari mengajak penonton ke arena pertunjukan untuk ikut merasakan bunyi mesin, knalpot, sirene, dan teriakan-teriakan komando dari megafon.
Situasi kacau, berisik, dan rusuh itu menjadi estetika Fitri Setyaningsih. Rough Machine/Soft Power bercerita tentang kekacauan yang direncanakan. Idenya terinspirasi dari konvoi sepeda motor di jalanan yang banyak dilakukan massa pendukung partai politik atau suporter sepak bola. Kekacauan sengaja diciptakan massa melalui arak-arakan ketika momentum pemilihan kepala daerah, pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pertandingan bola.
Karya ini pernah dimainkan di Biennale Jogja XIII tahun lalu. Menurut Fitri, pertunjukan di Indonesia Dance Festival (IDF) kali ini berbeda dengan ketika tampil di Biennale. "Di sini formasi koreografinya jauh lebih banyak. Penari melakukan adegan-adegan bersama anggota Punkasila yang memainkan knalpot blombongan," katanya.
Punkasila—beranggotakan seniman lintas disiplin, di antaranya perupa, pemusik, dan peneliti—dikenal sebagai kelompok musik yang banyak mengeksplorasi karya seni musik metal bertema sosial-politik dan budaya masyarakat urban. Dalam beberapa penampilannya, Punkasila mengenakan seragam batik bermotif militer. Band ini juga kerap menggunakan gitar dan bas berbentuk senapan AK-47, M80, dan M16. Ada pula mikrofon berbentuk granat tangan, video musik, komik, lukisan, dan lambang atau simbol. Tampilannya yang nyeleneh inilah yang mengundang perhatian orang.
Punkasila diinisiasi oleh Danius Kesminas, seniman multidisiplin asal Melbourne, Australia. Berdiri pada 2005, Punkasila pernah membuat album perdana bertajuk Acronym Wars. Album itu muncul setelah Danius membaca buku The Politics of Indonesia karya Damien Kingsbury. Ada ribuan singkatan dalam buku itu, di antaranya NKRI, ABRI, RPKAD, dan PKI. Dalam lirik lagu, mereka memelesetkan singkatan itu. Misalnya PKI, yang dikenal dengan Partai Komunis Indonesia, menjadi Partai Kaos Indonesia atau Penggambar Komik Indonesia. Komando Pasukan Khusus yang disingkat Kopassus menjadi Komando Pasukan Suka-suka.
Punkasila dan Fitri menyiapkan pertunjukan di Taman Ismail Marzuki ini sekitar sepekan. Mereka berlatih di halaman belakang rumah Fitri di Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. "Di IDF, kami hanya memanfaatkan panggung di pelataran gedung, tidak turun ke jalanan umum untuk pawai seperti pada Biennale Yogyakarta," kata Fitri.
Sebelum pentas Punkasila dan Fitri, duo seniman musik dan multimedia yang terdiri atas Grey Filastine, komposer dan sutradara asal Spanyol, serta Nova Ruth Setyaningtyas, penyanyi dan desainer dari Indonesia, itu menyuguhkan pertunjukan bertajuk Abandon di Graha Bhakti Budaya.
Abandon merupakan pertunjukan Filastine yang menggabungkan musik, video, desain, dan tari. Di atas panggung terdapat seperangkat musik elektronik yang tersambung ke sebuah laptop dan layar video sebagai latarnya. Setelah dibuka dengan lagu No Step, Filastine memainkan tembang The Miner. Vokal Nova mengalun di antara dentaman musik yang mengentak.
The Miner berkisah tentang seorang anak muda yang memperoleh pencerahan dan menolak untuk terus merusak bumi dan dirinya sendiri. Video dibuka dengan anak muda yang tengah bekerja di tambang belerang tradisional di kawah Gunung Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Tokoh yang diperankan penari jalanan asal Jakarta, Al Imran Karim, itu harus bangun dinihari menembus kabut menuju kawah Ijen. Bersama para pekerja tambang, dia bekerja keras mengangkut belerang tanpa masker penutup hidung dan mulut serta alat keselamatan lain yang memadai. Dia kemudian sadar terjebak dalam penambangan besar korporasi multinasional. Dia memilih meninggalkan pertambangan dan mencari ketenangan hidup di hutan. Gerak kaki dan tangan Al Imran Kamrin menjadi fokus video itu.
Dalam membuat video itu, Filastine menggandeng sinematografer asal Malang, Jawa Timur, Astu Prasidya. Menurut Astu, dalam proses pembuatan video itu, mereka harus menyusup ke area sebuah penambangan besar di Kalimantan. Mereka mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi. "Tantangannya lumayan, harus menyusup ke pertambangan. Cuaca panas, ketahuan petugas keamanan, dikejar-kejar, tertangkap dan kemudian dibawa ke kantornya," kata Astu. Kerja keras dan tantangan yang berat itu membuahkan hasil. Video The Miner masuk sebagai official selection kategori video musik dalam Bestias Danzantes Dance Film Festival di Cile. Selain The Miner, Astu telah mengerjakan tiga klip video Filastine, termasuk video musik berjudul Colony Collapse. Video Colony Collapse dibuat dengan latar kawasan lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Selain video, dalam pertunjukan malam itu Filastine menyuguhkan tata cahaya yang liar dan meneror mata. Mereka berkolaborasi dengan FX Lemaitre, seniman tata cahaya. "FX sebagai lighting engineer berperan besar dalam penampilan Filastine," kata Nova. Sesekali, di panggung, Al Imran Kamrin muncul dan merespons suasana.
Filastine, yang berbasis di Barcelona, Spanyol, terbentuk pada 2006. Sebelum membentuk Filastine, Grey adalah anggota Infernal Noise Brigade, marching band yang menyuarakan pemberontakan. Sepanjang kariernya, ia banyak merekam lanskap suara berbagai negara. Dalam perjalanannya ke Indonesia pada 2010, ia bertemu dengan Nova Ruth, yang saat itu sedang tampil bersama Twin Sista, kelompok hip-hop asal Malang. Mereka kemudian memutuskan bekerja sama. Sejak itu, Nova ikut memperkaya Filastine dengan akar bermusiknya yang beragam.
Nova, yang dibesarkan di Malang, akrab dengan musik lewat ayahnya, Emmanuel Herry Hertoto alias Toto Tewel, gitaris band cadas Elpamas, yang juga dikenal sering membantu Kantata Takwa dan Sirkus Barock. Nova mengatakan dia tumbuh di antara dua keluarga berbeda agama, Islam dan Kristen. Nova menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, tumbuh bersama hip-hop, dan belajar karawitan di Sekolah Taman Siswa. Bersama Filastine, Nova telah mengadakan konser tur ke berbagai negara. Mereka menggelar konser di festival-festival musik, seperti Decibel di Amerika Serikat dan Les Vieilles Charrues di Prancis.
Filastine telah merilis tiga album, yakni Burn It (2006), Dirty Bomb (2009), dan Loot (2012). Mereka juga ikut dalam beberapa proyek rekaman kompilasi atawa mixtape. Salah satu mixtape yang fenomenal adalah Stage Boundary Songs/Lawan Lupa (2014), yang merupakan respons artistik Filastine terhadap film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer. Mixtape tersebut berisi sejumlah lagu karya musikus Indonesia dari berbagai zaman—dari Djangger (Yanti Bersaudara), Gendjer-Gendjer (Lilis Suryani), hingga Senyawa (Rully Sabhara & Wukir).
Masih hangat dalam ingatan salah satu adegan The Miner. Al Imran Karim, yang menjadi The Miner, berlari dan berlari. Gerak kaki yang diperlambat dengan angle menarik menjadi koreografi tersendiri.
Nurdin Kalim , Shinta Maharani, Eko Widianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo