Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA akhirnya para pemeran itu membenturkan mangkuk gerabah yang mereka bawa-bawa di kedua tangan itu. Mereka seperti bertepuk dan, praakkk, mangkuk-mangkuk pun hancur berkeping-keping, seperti menyiratkan nasib sang tokoh, yang di adegan sebelumnya menggeram dalam: "Aku mulai jemu pada matahari. Aku ingin ada kiamat hari ini. Nujuman terhadapku adalah kutukan…."
Adegan itu menutup tontonan sekitar satu seperempat jam di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada awal November lalu. Praakkk itu mengakhiri tontonan bertajuk Tomorrow, As Purposed, yang berangkat dengan sunyi yang mencengkam, dengan panggung sepenuhnya hitam-suram, dan kemudian musik adalah genderang yang menyarankan peperangan, dipadu nyanyian syahdu, seperti suasana gereja yang datang dari paduan suara yang ikut berperan. Seluruh suasana menyarankan sebuah tragedi, dibangkitkan oleh monolog yang jarang, menyelip di antara adegan-adegan: "Jantungku api, mataku besi", "Hidup hanyalah wayang belaka, ngoceh dan ngacau sekejap, lalu masuk kotak untuk selamanya".
Sang pengarah pertunjukan adalah Melati Suryodarmo, yang kita kenal sebagai seniman performance art, yang lebih sering menampilkan tubuhnya sendiri. Dalam pertunjukan ini, ia hanya tampil sebentar, di awal, dan kemudian menyerahkan panggung kepada sejumlah pemeran–lima penari dan paduan suara. Yang terbentuk adalah teater suasana, kisah hanyalah samar-samar, dialog hanyalah kadang-kadang, tari hanyalah salah satu unsur sebagaimana nyanyian paduan suara.
Sesungguhnya suasana keseluruhan cuma dibangun sekejap di awal. Sesosok perempuan tampil dengan kostum merah menyala. Ia membopong sesuatu, tak jelas karena di panggung hitam itu terang hanyalah ala kadarnya. Beberapa detik kemudian, terlihat perempuan merah ini rupanya berjalan mundur, sangat perlahan, sangat intens, menuju ke undakan empat tingkat, bagian terbelakang panggung. Mendadak suara genderang menyeruak. Tersajilah suasana kontras; ruang hitam panggung yang sunyi mencengkam serta sosok yang lambat melangkah dan gemuruh genderang. Muncul lima pemeran dari samping; dua bersarung hitam sebatas pinggang, tiga berkain hitam setinggi dada. Mereka bergerak dengan gagah, menyiratkan kesiapan pertarungan.
Ketika sosok merah itu berbalik naik ke undakan, kembali ruang adalah sunyi. Sosok merah berbalik menghadap penonton, seorang berkain hitam sedada menghadapnya. Ketika sosok merah berbalik dan melangkah ke samping undakan dan lenyap, setelah menaruh yang dibopongnya di sudut undakan teratas, kelima sosok berkostum hitam sudah berderet di panggung depan, menaikkan kainnya dengan pelan, mengerudungkannya di kepala, lalu sesuatu gogrok bagaikan hujan dari balik kostum mereka, menggemakan bunyi gemeresek logam-logam kecil berjatuhan ke lantai panggung.
Dan kemudian adegan demi adegan mengalir dalam gerak tari berirama liat. Tangan yang kencang, kaki yang kokoh. Seperti sebuah perkelahian silat, seseorang meloncat berjumpalitan, bersalto. Dua pemeran perempuan duduk berdampingan di tengah suasana gerak yang liat itu. Berdua saling menyentuh, rambut, lengan, lalu mereka berpadu menjadi sebentuk entah apa yang bergerak dan beringsut.
Seorang pemeran memisahkan diri, tampaknya sang tokoh, dalam gerakan yang berakhir dengan tegak di kedua lutut, menggaungkan kata-kata: "Aku hampir lupa bagaimana rasa ketakutan, waktu telah membina perasaanku menjadi beku…."
Ketika paduan suara masuk dan lebih menggaungkan suara daripada terdengar sebagai nyanyian, ruang panggung hitam bergeming dari sunyi. Sunyi mencengkam yang terbangun di awal adegan, direncanakan atau tidak, terasa begitu kokoh untuk terkuak oleh apa pun yang terjadi. Suasana ini membantu "menyembunyikan" gerakan-gerakan paduan suara yang terkadang terlihat cair, dan panggung pun terasa tetap utuh. Atau ketika adegan pertarungan silat lebih menyuguhkan tarian daripada gerak tubuh yang membangun suasana.
Tampaknya sang pengarah pertunjukan paham benar perihal tubuh sebagai media pertunjukan. Di ruang hitam itu, gerak adalah gerak, bukan tarian yang berkisah, bukan sandiwara yang bertutur. Gerak adalah bentuk yang kebetulan medianya adalah tubuh. Yang tersaji kemudian adalah pertunjukan suasana-suasana—pertunjukan yang menghadirkan semua unsur teatrikal: gerak, blocking, suara, dialog, warna, cahaya—dengan unsur utamanya adalah tubuh.
Sebenarnya kita tak perlu tahu tontonan ini berangkat dari mana. Suasana-suasana itu cukup menghadirkan imaji-imaji, menorehkan kesan sesuatu yang mencekam, sesuatu yang berkaitan dengan, katakanlah, nasib, dari mana pun atau berdasarkan apa pun pertunjukan ini hadir. Panggung tak mengganggu kita sehingga kita mempersoalkan adakah yang tersaji adalah tari, drama, performance art, atau apa.
Tapi memang ada tajuk, Tomorrow, As Purposed. Dan dialog yang diselip-selipkan, bagi yang tahu, dan bagi yang kemudian tahu, sumbernya adalah naskah sandiwara Macbeth, persisnya Macbeth saduran Rendra, penyair dan dramawan bernama besar itu. Dan kemudian "nasib" di panggung kita ingat sebagai tragedi kekuasaan. Seorang sutradara film ternama, Kurosawa, menyadur naskah Shakespeare ini dan memberinya judul Singgasana Berdarah. Sang tokoh tewas ketika mencoba berlindung masuk ke istana: puluhan anak panah menancap di seluruh tubuh. Yang membaca Bharatayudha akan teringat Abimanyu, anak Arjuna, gugur di Kurusetra dengan seribu anak panah menancap di seluruh tubuh. Lalu kita pun mengingat, adegan menjelang akhir di panggung Melati, sang tokoh bergerak, terhuyung dan terjatuh-jatuh di tengah para pemeran yang serempak melakukan gerakan-gerakan yang mengesankan sebuah kekacauan.
Maka termaknailah tajuk pertunjukan ini, Tomorrow, As Purposed, hari esok, seperti yang direncanakannya. Sepotong dialog dalam Macbeth, antara Macbeth dan Lady Macbeth, menjelang kedatangan sang raja yang berniat menginap di rumah Macbeth, dan suami-istri yang telah merencanakan pembantaian. Dan kapan ia pergi dari rumah, tanya Lady Macbeth. Tomorrow, as he purposes, besok, seperti direncanakannya, jawab Macbeth. O, tak bakal matahari esok menyaksikannya.
Apakah diremukkannya mangkuk-mangkuk gerabah mensugestikan pembalasan sang korban atas kekejian sang tokoh?
Bagi saya, Tomorrow, As Purposed adalah sajian imaji-imaji. Melati tak menyadur, apalagi menerjemahkan Macbeth (Rendra) menjadi pertunjukan. Ia menciptakan Macbeth dengan bahasanya sendiri. Bila Anda kemudian teringat pertunjukan Rendra karena dulu pernah menontonnya, bukanlah hal yang perlu disoal sejauh semua itu tak membuat pertunjukan tak ternikmati. Tak ada yang baru di bawah matahari, kata kebijakan yang klasik atau klise ini. Dan kata Melati, suatu ketika, disengaja atau tidak, disadari atau tidak, sebenarnya ia selalu meminjam dari karya orang lain. Kali ini ia meminjam dibantu oleh penari (Retno, Cahwati, Hendra Setiawan, Luluk Prasetya, Kristiyanto), paduan suara Voca Erudita dari Universitas Sebelas Maret, serta komponis Jepang, Naoki Iwata.
Bambang Bujono, Pengamat Seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo