Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Macbeth, Silat Hutan, dan Serigala Berkoteka

Selama sepekan, mulai 30 Oktober sampai 5 November, Indonesia Dance Festival (IDF) 2016 berlangsung. Dengan tema kurasi "Tubuh Sonik" (Sonic Body), perhelatan tari internasional yang telah berumur 24 tahun ini menyajikan berbagai kelompok yang menginteraksikan tubuh dengan berbagai kemungkinan bunyi. Ada yang mengembalikan tubuh kepada suasana purbawi pinggir sungai, ada yang menalikan tubuh dengan detak-detak suara otomatis robot-robot kecil, ada yang menggali keprimitifan tubuh dengan musik techno. Tak ketinggalan performance dengan konser knalpot. Juga karya Shakespeare yang ditafsirkan dengan paduan suara Gregorian yang anggotanya terlibat sebagai aktor. Ikuti laporan Tempo.

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba Tian Rotteveel, komponis asal Belanda itu, melucuti pakaiannya sendiri. Ia berdiri telanjang bulat hanya mengenakan sepatu kets di depan penonton yang jaraknya begitu dekat. Di tengah bebunyian musik elektronik underground yang berdentam-dentam dari subwoofer loudspeaker, Tian lalu mengenakan koteka. Ia berjongkok dan mencoreng bibir, telinga, alis, dan pipinya dengan pewarna. Ia seolah-olah turis yang ingin terlibat dalam perang suku pedalaman.

Wa wa wa. Tian menirukan tempo musik techno psychedelic sembari menunjuk Darlene Litaay agar juga segera mengenakan koteka. Dalam pertunjukan ini, penonton ditempatkan duduk di atas panggung proscenium. Hanya empat baris bangku terdepan dari kursi penonton yang boleh diisi. Volume keras musik techno olahan Tian karena itu membuat getarannya amat terasa di tubuh penonton.

Pentas di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, itu diawali suasana santai. Tian dan Darlene mengenakan celana panjang dan kaus saling memperdengarkan lagu dari telepon seluler masing-masing. Suara lagu dari ponsel itu mereka redam-redamkan dengan gelas kertas. Terdengar ada suara nyanyian Papua dari ponsel mereka. Darlene lalu membongkar noken, tas tradisional Papua yang terbuat dari kulit kayu. Ia kemudian mengenakan rok rumbai pendek. Dan mengecat muka.

Tatkala memakai koteka, mereka seperti kalap. Wa wa wa. Wa wa wa. Peti hitam beroda tempat loudspeaker ditaruh mereka dorong ke sana-kemari. Mereka menggeber plastik di atas pengeras suara hingga membuat suara semakin bergetar dan seperti semburat-semburat. Wajah mereka berpendar. Ternyata pewarna yang mereka coretkan di muka adalah fosfor.

Puncaknya adalah Tian mengenakan topeng kepala serigala. Dalam genangan sorot lampumerah,ia menjadi manusia serigala yang berkoteka dan bersepatu kets. Darlene menyeret kipas angin dan mengembuskan angin ke tubuh manusia serigala itu. Yang arkaik, yang urban, yang primitif menjadi saling-silang. Setelah chaos itu selesai, dengan tenang Darlene membacakan sepucuk surat ke penonton, menceritakan perjalanan mereka berdua di Papua.

n n n

Masih segar dalam ingatan bagaimana beberapa orang kikuk menyaksikan pementasan Darlene dan Tian pada 3 November lalu itu. Masih terngiang-ngiang bagaimana ingar-bingar musik yang sangat urban itu mengiringi sosok ganjil: manusia serigala bertubuh bule dan berkoteka. "Kami mengundang beragam penyajian koreografer yang menampilkan interaksi tubuh dan bunyi. Maka tema kuratorial kami 'Tubuh Sonik'," ujar Maria Darmaningsih, Direktur Program IDF.

Sebelumnya, untuk pertama kali IDF menggelar pertunjukan outdoor di lokasi yang jauh dari TIM atau Gedung Kesenian Jakarta. Tepatnya di hutan kota Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus. Bertajuk "Pre-Opening IDF" di situ digelar koreografi Phase karya Jefriandi Usman dan Suluk Sungai karya Abdullah Wong. Tiga bus dari TIM membawa para penulis, seniman, dan wartawan ke hutan kota tersebut. Sampai di Jalan Karang Tengah Raya, bus berhenti dan panitia membagikan jas hujan murahan warna-warni.

Acara diawali dengan tawasulan. Abah Choeruddin atau Bang Idin—jawara Betawi yang dikenal merawat hutan kota Pesanggrahan—memimpin doa kepada Nabi, para Khulafaur Rasyidin, dan para kiai leluhur Jakarta. Tak banyak yang tahu tepian Sungai Pesanggrahan sebetulnya adalah situs arkeologis. Di situ Abah banyak menemukan artefak seperti kapak perimbas. Tak banyak yang tahu di kawasan Pesanggrahan terdapat kuburan para leluhur Jakarta.

Dan hujan pun betul-betul turun tatkala pertunjukan Jefriandi dimulai. "Baru pertama kali ini saya menonton pertunjukan tari dalam hujan," kata Joseph Ginting, sutradara teater dari Institut Kesenian Jakarta. Tapi, di bawah guyuran hujan, gerak silat Jefriandi Usman seolah-olah menemukan rumahnya kembali. Silek yang merantau dari tanah asalnya kembali ke pangkuan alam. Daun-daun, desahan angin, rinai hujan, dan lumpur adalah rahim yang melahirkan jurus-jurus silat yang ditarikan duet Maria Bernadeth Aprianti (biasa disapa Etty Kajol) dan David Fitrik.

Kedua bekas murid Gumarang Sakti itu sama sekali tak mempedulikan licinnya lantai. Kuda-kuda mereka kokoh. Pentas itu merefleksikan Padusi atau ibu. Nuansa ratapan musik Piter Slayan dan Syahrial dengan vokalis Yuyun mampu membawa remang-remang pohon-pohon yang basah memiliki jiwa. Pertunjukan itu seperti bukan hanya ditonton oleh ratusan penonton berjas hujan, tapi juga roh-roh hutan yang tak kelihatan. "Mereka" ikut berdesak-desakan atau mengawang menyaksikan pentas dari sela-sela ranting. "Rebana kami ganti dengan komposisi tepukan tangan agar makin alamiah ," kata M. Aidil Usman, penata artistik.

Pertunjukan kedua: Suluk Sungai. Penonton dibawa turun ke bagian bawah yang curam. Dan, sampai di lokasi, penonton menatap sebuah kubangan besar berukuran 25 x 8 meter yang dialiri air Sungai Pesanggrahan. Di situ, di atas tunggul-tunggul pohon ranggas, empat orang terbungkus kain kotor meringkuk seperti janin atau embrio. Segera panorama ini membawa kita ke suasana surealis. Apalagi cahaya memendarkan warna lumpur menjadi samar-samar kekuningan serta berkas-berkas cahaya yang terkena hujan seperti menimbulkan kabut tipis. Sementara ratusan penonton memenuhi empat sisi kubangan, "janin" di atas tunggul kayu itu tetap diam total. Kita seperti diseret ke alam lain. Apalagi tidak ada musik yang mengganggu karena musik adalah sunyi alam sendiri dan suara soundscape aliran sungai yang ditangkap kondensor. "Magis. Betul-betul kena situasi hening awal pentas ini," kata Suprapto Suryodarmo, tokoh meditasi gerak dari Solo, yang hadir.

Hujan semakin deras. Dari sebuah pohon, turun sosok berkostum putih. Ia adalah penari Poppy Parisa. Perlahan ia masuk ke air lumpur. Ia menyabet-nyabetkan selendangnya ke air dan kemudian ke arah "janin". Begitu terkena, para aktor membuka bungkusan kain. Kita melihat ada tali terikat di kaki mereka ke tunggul pohon. Mungkin itu imaji embrio dengan tali plasentanya. Empat aktor itu perlahan berdiri. Dzatmiati Sari, aktor perempuan, mengucapkan serangkaian kalimat filosofis tentang ke-aku-an manusia. Dan tatkala ia mengucapkan: "Kita adalah entah, kita adalah entah…, yang tak pernah berkesudahan," langsung semua aktor menjatuhkan diri ke belakang, ke air. Menciprati penonton.

Dalam genangan air berlumpur, lalu mereka seolah-olah melepaskan tali yang membelenggu. Mereka melakukan perlawanan pada batang kayu. Dalam posisi kaki terikat tunggul, mereka mengambil gelondongan kayu lain dan menyeret-nyeretnya dengan posisi konflik satu sama lain. Mereka kemudian meraih sebuah stick bambu dan memukul sekeras-kerasnya tunggul-tunggul itu. Mereka membebat mata dengan kain hitam dan melanjutkan pertempuran. Di akhir pertunjukan, Wong memainkan buka-tutup aliran sungai. Lambat-laun air selutut yang menggenangi kubangan surut menjadi lumpur-lumpur. "Pertunjukan ini sebenarnya bisa lebih mencekam bila teks tidak verbal," kata pengamat teater Halim H.D.

Wong mengatakan berbulan-bulan ia menempa para aktornya agar memiliki stamina. "Tatkala menjatuhkan diri ke belakang itu, punggung terasa sakit sekali, makanya selama tiga bulan kami berlatih menjerembapkan diri ke lumpur dari ketinggian," ujar Wong. Menurut Wong, mereka bahkan sempat berdoa memohon restu di makam Rendra agar diberi kekuatan. "Setelah berdoa di makam Rendra di Cipayung, Depok, kami berjalan kaki kembali ke hutan Pesanggrahan. Dari makam Rendra, kami pulang pukul 4 pagi sampai hutan pukul 9 pagi," katanya.

Unsur suara yang tak terduga juga dihadirkan Melati Suryodarmo dalam karyanya, Tomorrow as Purposed, yang menjadi opening IDF di Teater Jakarta pada 1 November lalu (lihat "Teater Suasana Melati"). Melati terinspirasi naskah Macbeth karya Shakespeare. Terutama bagian bagaimana tukang sihir menujumkan Macbeth menjadi raja. Dalam pertunjukannya, ia menyajikan gabungan unsur performance, tari, teater, yang bergerak ke idiom-idiom pembunuhan. Ada adegan menghunjamkan pisau, ada adegan paku yang bertebaran dari celana aktor (lambang pembersihan peracunan).

Ia melibatkan paduan suara Voca Erudita dari Universitas Sebelas Maret, Solo. Para anggota paduan suara ini tidak berdiri statis selayaknya sebuah paduan suara. Mereka menyanyi bertutup kerudung membawa parang lambang anarki massa sampai menjadi kerumunan cenayang yang membawa pot jampi-jampi. Mereka menyanyi bahkan dalam posisi tidur. Suara paduan suara yang gerejawi ini berselang-seling dengan adegan yang sunyi tanpa musik sama sekali.

Interaksi tubuh dan bunyi yang lebih personal disajikan Rianto lewat pentas Medium di Teater Luwes pada 2 November lalu. Dramaturg pertunjukan ini adalah sutradara Garin Nugroho. Rianto, penari lengger yang tinggal di Tokyo, seorang diri melakukan perjalanan ke dalam tubuh sendiri. Garin Nugroho menuturkan, sebagai dramaturg, ia hanya mengarahkan gerakan-gerakan Rianto sesuai dengan struktur perjalanan tubuh Rianto. Sejak tubuh di desa, tubuh maskulin-feminin lengger, sampai tubuh sosial yang bersinggungan dengan kehidupan internasional. Duduk bersimpuh, dengan alat musik sederhana, penari Cahwati mengiringi eksplorasi tubuh Rianto. Harus diakui bebunyian mulut Cahwati sangat kuat. Ia menirukan suara kendang atau gending Jawa yang mengentak, dlang gentak, dlang gentak..., haakee…, haakee…, tatkala Rianto menjadi bergerak maskulin..

Sesekali Cahwati memukul kemanak, atau klontongan sapi atau klintingan, untuk memperkuat gerak Rianto. Cahwati juga seperti merapalkan bait-bait mantra pengundang indang atau roh. Eksplorasi tubuh Rianto mencapai puncaknya ketika ia bergerak seperti kesurupan, melenting ke sana-kemari tak terkontrol.

n n n

Pendekatan interaksi bunyi dan tubuh yang disajikan oleh Anthony Hamilton dan Alisdair Macindoe dari keseluruhan rangkaian IDF tampak lain daripada yang lain. Dua penari asal Australia itu bergerak merespons suara dari 64 instrumen robotik yang mereka buat sendiri. Pertunjukan mereka pada 4 November di Gedung Kesenian Jakarta berjudul Meeting itu mulanya diliputi kekhawatiran Kedutaan Australia akan adanya kerusuhan demo. Sampai pukul 6 sore, jalan menuju GKJ di depan Stasiun Gambir masih ditutup polisi. "Tapi Anthony tetap melaksanakan pertunjukan, ada kerusuhan atau tidak," kata Nungki Kusumastuti dari IDF.

Di panggung, kita melihat lingkaran 64 mesin kecil. Instrumen itu sebuah kotak kayu dengan pensil yang bisa mengetuk-ngetuk sendiri di lantai dengan birama yang berbeda. Kedua penari tersebut berdiri di tengah-tengah lingkaran. Mereka menampilkan gerakan yang seirama dengan ketukan otomatis pensil pada lantai. Sebelum pertunjukan dimulai, pembawa acara meminta hadirin mematikan ponsel. Jika ketahuan ada penonton yang ponselnya menyala, pertunjukan akan dihentikan. Agaknya sinyal akan mengganggu kekuatan ketukan. Ritme ketukan konstan seperti detak metronom. Hitungan ketukan kelompok pensil yang berbeda itu menyusun sebuah komposisi tersendiri. Bunyinya kletik kletik tapi kompleks. Instrumen itu dibuat oleh Alisdair. Ide pembuatan timbul karena tatkala latihan ia sering melihat Anthony mengetuk-ngetukkan pensil di meja untuk menandai tempo.

Kita melihat gerakan Anthony dan Alisdair sangat terikat pada suara robot itu. Anthony tidak melakukan gerakan bebas sama sekali. "Mesin menjadi elemen yang sama pentingnya dengan koreografi itu sendiri," ucap Anthony. Tapi justru itu memunculkan ekspresi yang unik. Gerak yang diekspresikan keduanya pasti sulit karena harus eksak. Tangan, tubuh, dan kaki diseiramakan dengan ketukan pensil, yang memiliki hitungan berbeda. Kadang kita melihat ada gerak stakato pada tangan tapi tubuh bergerak lain. Dalam workshop, Anthony mengajarkan membuat partitur hitungan gerakan berbeda pada tiap anatomi tubuh. "Kami tidak punya kebebasan, terkunci dalam sistem ini," katanya. Konsep gerak mesin ini diciptakan setelah Anthony merenungkan hubungan manusia dengan teknologi. "Teknologi memberi kita banyak kemungkinan, tapi juga kita menjadi tak bisa lepas darinya sekarang."

Berbeda dengan koreografi Anthony yang terikat mesin, pertunjukan musikus Korea Selatan, Park Je-chun, berjudul Do You Want Me, sepenuhnya spontanitas. Di gedung Graha Bhakti Budaya, ia meminta dibuatkan panggung seperti catwalk berbentuk T dengan dimensi 13 x 2,7 meter dan 9 x 2,7 meter. Di ujung catwalk, ia menaruh drum. Tujuh penari dari Indonesia dan Korea dengan berbagai latar belakang akan menari di catwalk, sementara ia merespons dengan pukulan drumnya.

"Saya bermain drum membelakangi penonton. Saya hanya bisa melihat penari. Tapi penonton bisa melihat penari dan saya," kata Chun. Dan dia menggebuk drum tanpa henti sepanjang 90 menit. Sama sekali tak ada partitur. "Semua berdasarkan improvisasi. Kadang saya mengikuti gerak mereka atau mereka mengikuti saya," ujar seniman ini. Memang entakan drumnya kadang-kadang terlihat tak pas dengan gerakan. Dari penari Indonesia, yang tampak paling kuat adalah Hary Ghulur. Bagian yang semarak justru tatkala anak-anak "breakdance" Animal Pop yang tadinya duduk di kursi penonton tiba-tiba menyeruak ikut meloncat ke atas catwalk merespons gebukan "beduk Barat" Chun.

Betapapun banyak penonton menilai bahwa gebukan Park Je-chun tak variatif, pengamat musik Franky Raden melihat musik Chun khas Korea. Gebukan drum Chun, menurut dia, kuat unsur "Korean grip", ritme musik tradisional Korea. Chun memang pernah belajar musik tradisi Pansori di Universitas Chung An. "Dia memang melakukan improvisasi, tapi secara makro strukturnya jelas," ujar Franky.

n n n

Pertunjukan yang segar adalah karya Andara Moeis yang mengeksplorasi sistem bernama magic square. Sistem ini dipakai penari Eropa tersohor Anne Teres de Keersmaeker. Anggie—panggilan akrab Andara—pernah belajar selama empat bulan di Performing Arts Research and Training Studios (PARTS), sekolah yang didirikan Anne Teres di Brussels.

Magic square atau bujur sangkar ajaib adalah permainan matematika. Bentuknya berupa susunan bilangan dalam suatu bujur sangkar berkotak sembilan. Dalam susunan tersebut, jumlah bilangan sebaris sama untuk semua baris. Juga bilangan sekolom sama untuk semua kolom serta jumlah bilangan sediagonal sama untuk kedua arah diagonalnya. Menurut sejarahnya, persegi ajaib itu telah dikenal sejak sebelum Kaisar Yu (2200 Sebelum Masehi) di Cina. "Dari sistem magic square ini, saya berusaha menyusun koreografi," kata Anggie. Menurut Anggie, dalam koreografinya, gerak muncul bukan karena untuk menampilkan keindahan, tapi sebagai fungsi dari sistem.

Di Teater Luwes, Anggie membuat pola lingkaran-lingkaran di lantai yang beririsan dan persegi-persegi yang berdempetan. Lingkaran dan bujur sangkar itu mungkin sebagai patokan bergerak dua penarinya: Davit Fitrik dan Akiyoshi Nita, penari Jepang. Kita melihat David dan Akiyoshi berhadapan, lalu berlari seperti berlomba mencapai sudut tertentu, atau berlari memutar berlawanan arah kembali pada satu titik. Gerak keduanya seperti dua pion yang mengisi bidang-bidang. "Mereka seperti bermain teka-teki silang. Ini hal baru menemukan cara lain berkoreografi," kata Anggie.

Gerak David dan Akiyoshi terlihat santai dan sportif. Mereka seperti anak-anak muda yang tengah bermain-main di lapangan basket. Padahal arah gerakan mereka dengan perhitungan. Cara meloncat ke depan atau mundur yang dilakukan David, misalnya, sama sekali berbeda dengan caranya bergerak dengan teknik silat di hutan Kali Pesanggrahan saat menarikan karya Jefriandi Usman, Phase. Menurut Anggie, dengan sistem ini, seorang penari dituntut keluar dari kebiasaan geraknya. Bagi dia dan David, sistem ini memang baru. Tapi Akiyoshi Nita, yang sudah bergabung tiga tahun di PARTS, sudah terbiasa berpikir secara sistematis dan logis.

Di Teater Luwes, 4 November, juga ditampilkan karya Eri Ersandi, Fitri Anggraini, dan Nihayah. Eri, koreografer muda Yogya, membuat sensasi dengan karya yang menyajikan percikan-percikan api. Eri membawa perancah dalam karyanya yang berjudul Pintu Manusia. Dalam kegelapan, para penarinya mengelas besi-besi itu hingga melentikkan bunga api ke mana-mana. Yang juga menyajikan api adalah Aguibo Bougobali Sanou dari Burkina Faso—tapi lembut. Para penonton yang memasuki pentas di Teater Kecil diberi lilin dan korek gas. Dia akhir pertunjukan, ia meminta lilin dalam kegelapan dinyalakan bersama.

Sesi penutupan IDF pada 5 November meriah dan meneror. Dua kelompok Filastine dan Punkasila, komunitas seni rupa dan musik eksperimen yang berkolaborasi dengan Fitri Setyaningsih, menggelar pentas berurutan. Filastine terdiri atas duo Grey Filastine asal Spanyol dan Nova Ruth, arek Malang yang merupakan putri gitaris Elpamas, Totok Emmanuel Tewel. Pentas musik komputer mereka di Graha Bhakti Budaya dilengkapi dengan multimedia yang canggih. Karena menggunakan sorot-sorot lampu yang mengarah ke penonton, pentas ini tak diperuntukkan bagi mereka yang mengidap epilepsi. "Tapi di mana unsur tarinya pertunjukan ini?" kata seorang penonton. Sebenarnya video mapping yang menampilkan gambar-gambar cepat gerakan kaki dari rekaman para pekerja di kawah sampai aneka perjalanan Nova ke Eropa dan Mesir yang merekam berbagai peristiwa riuh dapat dimasukkan sebagai unsur tari dalam musik.

Begitu keluar dari pertunjukan Filastine, penonton langsung disergap kegaduhan Rough Machine/Soft Power karya Fitri dan kelompok Punkasila. Di jalanan di depan Graha Bhakti Budaya, mendadak datang rombongan sepeda motor membawa bendera. Sirene meraung-raung. Tambur dipukul keras-keras. Beberapa orang mengegas-ngegas sepeda motor yang knalpot panjangnya dilepas. Inilah konser knalpot yang dipimpin "konduktor" Darius Kesminas, seniman Australia. Dari awal sampai akhir, ada seorang orator berteriak-teriak berpidato: Kami tidak tertarik dengan undang-undang Tuan, partai politik Tuan. Bayar saja kami, beres semua. Dalam koreografi Fitri ini seolah-olah ada penangkapan-penangkapan demonstran. Mereka diborgol, dipaksa telentang di jalan. Fitri seakan-akan merefleksikan kekacauan demo sehari sebelumnya di depan Istana.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti, Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus