Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Horor Ugo Untoro

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya adalah kematian sang kuda. Hewan berkaki empat yang bernama Badai Lembut itu pada 2005 sekarat: tersengal-sengal, menggelepar-gelepar, keluar dengking dan ringkik dari mulutnya. Hati Ugo tersayat. Sosok jantan itu akhirnya menyerah pada pisau-pisau, kekejaman manusia. Dari situ lahirlah pada 2007 pameran yang membuat jagat seni rupa Indonesia terbelalak: Poem of Blood.

Ugo Untoro, seniman-perupa 37 tahun, menghadirkan horor tentang nasib kuda di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta pada Maret 2007 dan Galeri Nasional Jakarta pada April 2007. Tak mengusung keelokan bentuk sosok kuda di atas kanvas, ia menghadirkan citraan kuda lewat bagian tubuh kuda setelah dibantai di rumah jagal.

Poem of Blood adalah sajak tentang kuda setelah disembelih secara kejam. Di ruang pameran, Ugo menyajikan bagian-bagian tertentu pahanya, menjadikannya onggokan tubuh yang menggelembung dan digantung-gantung.

Yang gila, pada masing-masing ”tubuh” itu terlihat ada cap identitas—tanda yang dihasilkan oleh cap besi panas. Siapa pun penonton yang menghadiri pameran Ugo dapat membayangkan saat para pemilik kuda itu menyelomotkan besi panasnya yang berujung tipologi huruf kepada tubuh-tubuh kudanya. Kulit dan sebagian daging terbakar, asap mengepul, bau gosong, kemudian lengking, ringkik kesakitan. Sebuah penyiksaan terjadi.

Penonton juga bisa melihat jasad kuda yang teronggok, hanya menyisakan bokongnya yang utuh mencuat, ditopang dua kaki kering dan kaku pada lintasan pacuan buatan. Sedangkan bagian lainnya hanya tersisa kulit yang layu dan kisut. Kepalanya yang tak lagi berisi dengan mata bolong tersuruk dengan moncong menghunjam gundukan pasir yang penuh jejak kaki kuda. Penonton akan merasakan campur-baur rasa ngeri, jijik, dan kasihan.

Secara keseluruhan, pengunjung lewat pameran Ugo itu bisa merefleksikan betapa kuda menjadi korban kehadiran mesin transportasi modern. Sejak munculnya mobil, kuda tersingkir dari jalanan. Termasuk menggunakan boneka dan diorama dalam karyanya, Ugo menggambarkan kenyataan ini—melalui seonggok sosok kuda yang sudah tak jelas lagi bentuknya, terkapar di atas aspal di tengah jalan.

Bagi Ugo, kuda adalah penemuan yang sangat canggih dalam peradaban. Dan, ”Kecantikan, kegagahan, kecepatan, kesetiaan, dan kepekaan yang semuanya mewakili nafsu manusia,” kata lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini. Dari hewan liar, kuda dididik untuk tunduk pada kebutuhan manusia: dari alat tunggang tradisional, penghela alat pertanian, kereta angkut, pos, hingga alat perang. ”Dengan kuda, kekejaman manusia lebih cepat dan efektif,” ujarnya.

Ironis, keperkasaan kuda itu terbungkus oleh kelicikan dan nafsu membunuh manusia, dan manakala makhluk ini tak lagi sanggup membawakan angkara murka itu, ia pun dicampakkan. Ada karya Ugo tentang kuda yang tidak berdaya: kulitnya keriput, keempat kaki bertopang pada as roda dari kayu. ”Kuda menjadi saksi bisu kekejaman manusia,” katanya.

Dan terminal dari semua kekejaman ini adalah rumah jagal. Ugo memanfaatkannya. Dari rumah jagal di Kecamatan Imogiri, Yogyakarta, misalnya, ia memperoleh 22 kulit kuda utuh dari ujung kaki hingga moncongnya seharga Rp 200 ribu per ekor. Tukang sate di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, menghidangkannya menjadi sate daging kuda, tapi Ugo memanfaatkannya untuk karya seni rupa.

Bagian lain yang menarik dari karya Ugo adalah ketika ia menampilkan sejumput bulu cokelat tua yang terbenam dalam kekukuhan lima lapis beton masif. Ugo bermain-main dengan persepsi visual, seolah di dalam beton itu terkubur tubuh kuda.

Inilah pertama kalinya pameran di Indonesia yang sebagian besar mediumnya menggunakan bagian tubuh makhluk hidup dengan efek citraan yang nyaris mendekati suasana yang diinginkan kreatornya. Suasana horor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus