Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebujur Sajak di Peti Mati

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di batu nisan, Zen Hae meletakkan sebujur sajak. Ia tak menulis tentang kematian yang hening atau perkabungan yang murung. Ia justru bicara tentang berisik kota. Tentang aneka macam suara di jalan-jalan, di saluran-saluran radio dan televisi, di terminal, di rumah-rumah perempuan penggoda, di obrolan-obrolan kafe. Juga di rumah-rumah kita yang penuh sumpah serapah: Hai, anak jadah! Sampai berjumpa lagi di neraka! (sajak ”Taman Kanak-kanak”).

Ya, di peti mati, penyair 37 tahun itu membaringkan sepotong sajak. Dan arwah-arwah bergentayangan akan merawikannya begini: la haula wa la quwwata/ sajak si anjing gila (”Sebujur Sajak”).

Maut. Inilah tema yang menonjol dalam buku puisi Zen Hae, Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, Mei 2007). Imaji-imaji kota. Ini pula yang riuh muncul di sekujur sajaknya. Sebanyak 44 sajak yang dituangkan selama 15 tahun (1992–2006) pekat dengan idiom, imaji, dan ekspresi kekerasan. Khas kehidupan urban. Maut dan sensasi-sensasi kekerasan itu menyerbu pembaca puisinya tanpa henti.

Pembaca, misalnya, disuguhi ungkapan seperti: ”Kami menyiram kubur mereka dengan api, cuah!”, ”tidurlah, buyung setelah kuletuskan pistol ini!”, ”Kurindu taring runcing, liur asin, daging koyak…”, ”idih, eyang kayak robocop”. Kekerasan dan kebisingan dalam puisi-puisinya itu terasa memantulkan pengalaman sang penyair yang lahir, tinggal, dan besar di Jakarta. Kota-kota di kumpulan puisi ini muncul sebagai kota ramai, tapi dengan mobilitas hampa.

Tema ini memang bukan hal baru dalam sejarah puisi Indonesia, tapi yang menarik adalah bagaimana Zen Hae tak menampilkan ”alam” sebagai antipoda ”kota”. Ia tak menunjukkan citraan-citraan tentang kampung yang pastoral sebagai lawan dari gebalau kota. Panorama kabut yang ia saksikan terakhir kali pada 1988 di Kembangan, kampung Betawi tempat ia tinggal, misalnya, tak muncul sebagai sesuatu yang melankolik, tapi justru mematikan. Begitu pula dengan ”hujan”, ”malam”, ”laut”, ”ombak”, ”angin”.

Alam dalam puisi Zen, kata kritikus sastra Arif B. Prasetyo, sama jahanamnya dengan kota. Mereka keranjingan tindak kekerasan: malam jatuh dengan ubun terluka, hujan menombaki senja, ombak bagai kelebat mandau. Ini kelebihan Zen. Ia telah keluar dari bayang-bayang tradisi puisi lirik Indonesia yang dibangun sejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, hingga Sapardi Djoko Damono yang tak beranjak dari alam yang pastoral. ”Ini sebuah prestasi dan kontribusi penting untuk sastra Indonesia,” kata Arif.

Zen memang mengakui tak lagi terpesona menampilkan alam yang ”indah, permai, damai” dalam puisi-puisinya. Alam dan kampung baginya adalah ”alam dan kampung yang porak-poranda.” ”Aku lirik dalam puisi saya juga sepenuhnya tersedot oleh kehidupan kota,” ucapnya.

Ketika mengusung tema maut pun Zen memilih menampilkan sisi lain dari kematian. Bila sajak Subagio Sastrowardoyo Dan Kematian Makin Akrab menyuguhkan episode maut sebagai sesuatu yang khidmat, tenang, mengendap-endap pelan, atau penuh persiapan, sebaliknya Zen tak peduli. Mati boleh datang diam-diam atau bergegas. Surga atau neraka bukan soal. Bagi Zen, mati, sebagaimana hidup, juga sebagaimana kota, penuh hiruk-pikuk. Seperti sebuah karnaval atau permainan, penuh warna-warni. Meriah, kadang tragis, tak jarang pula begitu jenaka.

Panorama lain dalam sajak-sajak Zen adalah menyelinapnya fiksi dalam puisi. Muatan-muatan kisah itu muncul dalam citra-citraan kota yang kental. Melalui metafora-metafora tentang pemburu paus, misalnya, Paus Merah Jambu ”bertutur” tentang pengembaraan sebuah sajak. Kitab Pelarian ”berkisah” tentang Yunus yang bersemayam di mulut ikan besar. Pohon-pohon Fredy ”terinspirasi” dari kisah Fred Krueger, hantu bermuka kisut dalam film A Nightmare on Elm Street (1984) karya Wes Craven.

Puisi-puisi ”naratif” itu tak terjebak menjadi sebuah ”cerita”. Ia bukan cerpen dalam kemasan simbolik yang pendek. Kilatan-kilatan imaji tetap tampil dominan. Tapi memang nalar fiksi dalam puisi Zen dibangun dengan ketat. Ia membuat riset yang mendalam tentang kehidupan para pemburu paus. Ia membuka seluruh kitab suci sebelum menuangkan kisah Yunus dalam Kitab Pelarian.

Ini menjelaskan mengapa pemilik nama lengkap Nur Zain Hae ini begitu ”irit” menulis puisi. Selama 15 tahun, Zen cuma punya 60 puisi. Tahun lalu, ia bahkan hanya menulis dua puisi. Tak seperti penyair lain yang gampang menangkap sebuah suasana, kata Zen, ”Saya perlu waktu lama untuk merekonstruksinya menjadi sebuah bangunan puisi yang utuh.”

Paus Merah Jambu merupakan buku puisi tunggal pertama Zen. Tiga tahun lalu ia menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (Kata Kita).

Di sebujur sajak Zen Hae itu kita menemukan ”alam jahanam”, ”suara-suara riuh kota”, juga ”fiksi dalam puisi”. Kita pun menemukan ”si anak jadah” yang menyalakan neraka untuk ibu-bapaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus