Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebon Pala I, Tanah Abang. Hujan tumpah pada pertengahan Desember lalu. Kisah 1.001 Malam mengalir di rumah almarhum Teguh Karya. Aktor-sutradara Slamet Rahardjo dan seorang sutradara Australia, Robert Draffin, mempresentasikan hasil latihan mereka dengan cara menyajikan sebuah cerita dari Bagdad bersama mahasiswa-mahasiswi Institut Kesenian Jakarta. Malam itu, suasana rumah Teguh Karya bak sebuah pertunjukan tradisi di rumah-rumah Bali. Antara penonton dan pemain saling berdekatan, akrab dan intim.
Tatkala Putri Shahrazad (diperankan penari Ratna Listi) tenggelam dalam kemurungan dan dongengnya menjadi gelap, Slamet Rahardjo tiba-tiba muncul menjadi jin. Dengan dada yang telanjang, perut buncit, rambut awut-awutan dan tangan yang bergerak seperti penari legong, Slamet membuat suasana terasa hidup dan kuat. Diiringi perkusi yang dimainkan Inisisri dengan bagus, malam itu, yang sebetulnya merupakan bagian dari lokakarya, tetap terasa sebagai sebuah proses pencarian yang tak pernah padam.
Gairah ingin melahirkan karya yang ”lain” adalah sebuah prasyarat utama menjaga elan kesenian. Hal-hal demikian yang menjadikan majalah ini setiap tahun tetap berusaha menyediakan halaman untuk mencatat karya-karya yang dianggap terbaik. Tiap tahun kami senantiasa menantikan kejutan-kejutan baru, gagasan-gagasan yang bernas di lapangan kesenian.
Yang menjadi patokan utama adalah kesegaran sekaligus kematangan dalam mengolah karya. Seperti edisi-edisi tahun sebelumnya, untuk memilih karya-karya tahun ini kami banyak meminta pertimbangan pengamat seni dan sastra, misalnya kritikus seni rupa Bambang Bujono yang sudah lama kami kenal karena dia juga mantan wartawan senior Tempo, dosen filsafat Universitas Indonesia Doni Gahral Ardian, kritikus sastra Arief Bagus Prasetyo.
Selain itu, kami sendiri di redaksi, yang biasa sehari-hari bertugas melakukan peliputan dan editing seni dan film, antara lain Seno Joko Suyono, Yosrizal Suriaji, Leila S. Chudori, R. Fadjri, Idrus F. Shahab, Akmal Nasery Basral juga menyelenggarakan diskusi internal menyeleksi sejumlah tokoh di bidangnya masing-masing. Pada akhir November kami sudah memiliki nama dan karya-karya yang kami anggap layak yang kemudian kami perdebatkan dengan para tamu kami itu.
Setelah serangkaian diskusi yang panas, kami akhirnya membuat pilihan. Untuk seni rupa, kami memilih pameran tunggal Poem of Blood karya Ugo Untoro yang pernah diselenggarakan di Galeri Nasional sebagai karya terbaik seni rupa 2007. Dibanding bidang seni lain, seni rupa bisa disebut sebagai bidang yang paling menyerap isu-isu global terbaru dan kesenian yang paling luwes menggunakan teknologi media yang tercanggih.
Seni rupa adalah bidang yang juga menjadi bagian utama dari pasar. Balai-balai lelang di Hong Kong, Singapura, Jakarta menjadi forum yang mengejutkan bagi karya perupa muda Indonesia. Tiba-tiba, sebuah karya, tanpa diduga, bisa dibeli dengan harga sedemikian tinggi. Itu memperlihatkan pasar seni rupa kita tak bisa diprediksi. Turun-naiknya harga penuh anomali. Kami menganggap di tengah suasana mutakhir yang menempatkan karya-karya seni rupa sebagai obyek dan permainan investasi harus ada sebuah pameran alternatif; pameran yang kokoh dan tidak kompromistis sama sekali.
Karya Poem of Blood adalah karya yang sangat provokatif. Ugo menggunakan medium yang belum pernah digunakan siapa pun di negeri ini: bangkai kuda. Potongan-potongan bagian tubuh kuda ini menjadi obyek dan materi pamerannya. Dan siapa pun yang menyaksikan pameran ini akan merasakan bahwa Ugo bukan orang yang asing dengan kuda. Dari kecil ia memang penyayang kuda. Kini pun di rumahnya di kawasan Dusun Kersan Tirtonimolo, Kasihan, Bantul, ia memiliki tiga ekor kuda.
Orang bisa mengatakan pameran itu sebuah pameran yang sadistik, sebuah fragmen pembantaian dan penjagalan. Tapi pameran ini mengingatkan kita akan sebuah cerita bagaimana suatu hari saat menyaksikan seorang sais kereta berkali-kali mencambuk kudanya yang tak mau berjalan. Dari pinggir jalan Nietzsche tiba-tiba berlari, memeluk leher kuda itu erat-erat seraya berlinang air mata, merenungkan betapa kejamnya manusia. ”Mungkin ini pameran seni rupa terbaik selama 10 tahun terakhir,” kata Bambang Bujono.
Dunia film adalah dunia yang masih saja penuh dengan perseteruan dan perkelahian. Di antara riuh rendah para sineas dan birokrat perfilman, tahun ini produksi film Indonesia menunjukkan jumlah yang cukup menggembirakan. Tercatat lebih dari 50 buah film Indonesia yang beredar. Jadi, bisa dikatakan setiap pekan ada satu film Indonesia yang baru. Pemain seperti Lukman Sardi atau Shanty kerap memegang peran penting dalam dua atau tiga film berbeda. Meski demikian produktifnya dunia sinema kita, masih terlihat betapa minimnya tema yang disodorkan. Tahun 2007 bisa dikatakan sebagai tahun film horor.
Di tengah film-film horor yang menjadi tema terlaris untuk tahun ini, masih ada produser dan sineas yang menghasilkan film-film serius yang tetap menghibur seperti Naga Bonar Jadi 2 (Deddy Mizwar), 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza), The Photograph (Nan T. Achnas), Get Married karya Hanung Bramantyo, Maaf, Saya Menghamili Istri Anda (Monty Tiwa), dan Kala karya Joko Anwar. Keenam film inilah yang kami pilih sebagai film-film yang layak tonton, layak Tempo, dan layak dibicarakan dan bahkan dimasukkan sebagai nominasi film terbaik seandainya Festival Film Indonesia tahun ini diikuti oleh semua produser dan sineas (maksudnya jika tak ada heboh boikot dan lain-lain itu).
Nyatanya, FFI sudah sulit untuk dijadikan barometer film kita karena tidak semua sineas berpartisipasi. Maka, Tempo meneruskan tradisi tahunan kami untuk memilih Film Terbaik pilihan kami. Hal-hal yang menjadi parameter penilaian kami adalah penyutradaraan, sinematografi, seni peran, dan skenario. Setelah menyaksikan semua film-film itu, kami menganggap film Naga Bonar Jadi 2 yang mendapat nilai tertinggi. Kami menganggap meski sosok Nagabonar versi Musfar Yasin (penulis skenario) dan Deddy Mizwar masa kini sudah berbeda dengan konsep Nagabonar yang lahir dari Asrul Sani sebagai kreatornya, misi utama Asrul tetap terjaga, yaitu satire terhadap realitas sosial.
Kekuatan Deddy Mizwar sebagai aktor dan sutradara dalam film ini sulit untuk tak membuat film ini sebagai yang terbaik tahun ini. Film ini memiliki skenario dengan plot cerita yang jelas, lancar, bermisi, dan jenaka, dan dimainkan oleh aktor yang menampilkan seni peran yang terbaik.
Untuk sastra, buku kumpulan puisi tahun ini, Paus Merah Jambu karya Zen Hae, kami tahbiskan sebagai karya sastra terbaik 2007. Pesaing terdekat buku ini adalah kumpulan puisi Mardi Luhung berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu dan Galigi kumpulan cerpen karya Gunawan Maryanto.
Paus Merah Jambu karya Zen kami anggap menarik karena beberapa hal. Mantan wartawan majalah Tiras ini mampu menyuguhkan citra alam dengan kebisingan kaum urban. ”Citra alamnya tidak lagi romantik,” kata Arief Bagus Prasetya. ”Itu sebuah pencapaian.” Zen bisa keluar dari tradisi imajinasi warisan penyair senior yang selalu menampilkan alam sebagai sesuatu yang romantis, sendu, dan syahdu. Imajinasi Zen tentang ikan-ikan, sungai, jukung, boneka, selalu rimbun dengan citra. Aku percaya orang kidal itu jelmaan arwah raja ikan /datang dari kampung orang berlidah pedang/ ia akan mabuk: tangannya kejang, ekornya bergetar, perpusaran.
”Selain itu, Zen lebih dari pada itu. Ia sesungguhnya juga mampu menampilkan maut tak seperti pada citra umum ,” demikian Arief Bagus Prasetya menambahkan.
Kami menganggap, tahun ini, seni pertunjukan (tari-teater) dan musik, belum ada yang benar-benar menyodok. Semakin banyak penari kita yang terlibat dalam pertunjukan besar bertingkat internasional, namun setiba di Tanah Air belum melahirkan karya-karya yang betul-betul kuat. Beberapa dari dunia tari yang tercatat cukup menonjol adalah Hartati atau Fitri Setyaningsih. Sementara dalam teater, pertunjukan Teater Kosong: 1 Hari 11 Mata di Kepala pimpinan Radhar Panca Dahana cukup mencuri perhatian. Beberapa adegan pertunjukan ini menampilkan benda, gelas, meja yang bergerak sendiri mengikuti emosi aktor. Sayang, pertunjukan ini belum optimal; sementara pertunjukan 1.001 Malam di atas juga masih sebuah lokakarya. Semoga, bila drama ini terealisasi tahun depan, pertunjukan itu akan menjadi pertunjukan yang tangguh.
Ketika kami menurunkan edisi ini, pesta besar Festival Teater Jakarta masih berlangsung. Semoga ada dari penampil-penampil yang mampu menyuguhkan gebrakan, sehingga akan menumbuhkan semangat bagi pelaksanaan festival tahun depan yang punya kemungkinan akan diperluas menjadi festival teater nasional. Di dunia film, kami juga menyampaikan doa (yang belum juga dikabulkan). Mudah-mudahan film-film tahun depan jauh lebih bervariasi hingga euforia film horor sudah memiliki ”kawan” dari genre lain, misalnya drama, thriller, komedi, atau bahkan film sejarah atau politik.
Demikianlah pembaca, tiga yang terpilih dari kami tahun ini adalah mereka yang terbaik: kuda, naga, dan paus....
Tim liputan Tokoh Seni dan Arsitektur Penanggung Jawab: Yos Rizal Suriaji Pimpinan Proyek: Seno Joko Suyono, Ahmad Taufik Editor: Bina Bektiati, Idrus F. Shahab, Leila S. Chudori, Puti Setia, Amarzan Loebis Penulis: Ahmad Taufik, Akmal N. Basral, Bina Bektiati, Irfan Budiman, Nunuy Nurhayati, Raihul Fadjri, Seno Joko Suyono, Widiarsi Agustina, Yos Rizal Suriaji Penyumbang Bahan: Febrianti, Bernarda Rurit, Kukuh S. Wibowo, L.N. Idayanie, Heru C.N. Foto: Arif Fadillah, Ramdani, Muradi, Bismo Agung Desainer: Anita Lawudjaja, Kiagoos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo