Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di meja makan itu telah berkumpul- em-pat orang tokoh politik etis Be-lan-da: J.H. Abendanon, C.T. Van De-venter, Profesor Snouck Hurgronje, Profesor Hazeu. Mereka menunggu seorang tamu yang saat itu tengah mengambil program doktor di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Leiden: R.M.P. Sosrokartono, kakak Kartini.
Tiga nama pertama bukanlah orang a-sing- bagi Kartono—nama panggilan So-sro-kartono. Abenda-non (1852-1925) adalah Men-teri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Be-landa dari 1900 sampai 1905. Kartini dan adik-a-diknya sering berkirim surat pada istri Abendanon-. Kartono pun tinggal di rumah Abendanon ketika pertama kali menginjakkan kaki di Belanda pada 1897.
Sedangkan Van Deventer (1857-1915) di-kenal sebagai seorang ahli hukum Belanda yang kemudian mendirikan Yayasan Kartini, yang membuka sekolah bagi putri-putri pribumi.
Profesor Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang orientalis yang baru pulang dari Aceh. Berkat laporan Hurgronje, Belanda kemudian bisa menaklukkan Aceh pada 1905. Setahun kemudian, Hurgronje kembali ke Universitas Leiden dan langsung menjadi pembimbing disertasi Kartono.
Tamu yang dinanti tiba. Kartono muncul dengan berpakaian necis. Maklum, ia anak Bupati Jepara yang sehari-hari lebih banyak bergaul dengan kaum bangsawan. Tamu empat tokoh itu juga dikenal sebagai mahasiswa cerdas yang menguasai 17 bahasa dunia.
Setelah acara makan berakhir, salah seorang dari mereka angkat bicara, ”Tuan Sosrokartono, kami men-dengar Tuan sekarang banyak mempunyai utang. Apabila Tuan mau menyudahkan disertasi Tuan, kami bersama akan membayar utang itu.”
Kartono menjawab tak terduga-duga. ”Maaf Tuan-tuan yang terhormat, utang itu ialah satu-satunya harta saya. Harta saya yang satu-satunya itu akan Tuan-tuan ambil lagi dari saya,” ucapnya. Para pembesar politik etis Belanda itu seketika tak berkata apa-apa. Jamuan makan pun langsung bubar.
Peristiwa undangan makan pada 1906 itu dicatat oleh Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia, dalam bukunya, Memoir. Ha-tta menulis berdasar penuturan sahabatnya, Dahlan Abdullah, yang banyak mengetahui cerita Kart-ono. Benarkah penuturan itu? Apakah masalah utang tersebut kemudian menjadi halangan utama Kartono yang tak pernah merampungkan disertasinya yang berjudul De Middel Javaanse Taal?
Solichin Salam dalam Drs R.M.P. Sosrokart-ono, Sebuah Biografi (1994), yang diterbitkan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, menyebutkan bahwa Hurgronje pernah melontarkan ucapan menyakitkan yang menyebabkan disertasi Kartono berantakan. ”Selama di sini saya masih berkuasa, Sosrokartono tak akan dapat menjadi doktor,” ucap Hurgronje.
Salam tak menyebutkan dari sumber mana kutipan itu berasal. Tapi Amin Singgih, penulis Drs R.M.P. Sosrokartono, Sarjono-Satrya Pinandita, mengutip ucapan yang sama dari Profesor R.M.T. Wreksodi-ningrat (1848-1913) dan R.M. Soemitro Kolopaking, Bupati Banjarnegara (1927-1949) yang pernah sekolah di Belanda pada 1907. Keduanya mengaku mende-ngar langsung dari Hurgronje.
Ucapan itu bermula dari rasa tak suka Hurgronje terhadap pidato Kartono da-lam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 pada 1899, yang menyalahkan pemerintah jajahan tak memperhatikan hak-hak kaum pribumi—termasuk hak mempelajari bahasa Belanda untuk membuka cakrawala pengetahuan mereka. Hurgronje yang berjiwa kolonial, tulis Salam yang juga pernah menulis biografi Bung Hatta (1982), tak senang terhadap Sosrokartono yang terkenal sebagai seorang patriot.
Sikap Hurgronje itu berbeda dengan pembimbing Kartono sebelumnya, Profesor Dr J.H.C. Kern. Kern amat menyayangi Kartono. Profesor ini pula yang mengajak Kartono menjadi pembicara dalam kongres itu. Kern kemudian memasukkan Kartono ke lingkar-an dalam ilmuwan bahasa di Kerajaan Belanda.
Ihwal kedekatan Kartono dengan Kern, juga de-ngan Van Deventer, diungkapkan oleh Roek-mini (1880-1951), adik Kartono dari lain ibu, dalam s-uratsuratnya kepada istri Abendanon. Sebaliknya, Roekmini tak pernah menyinggung soal Hurgronje. Kartono tampaknya tak banyak bercerita soal problem-problem yang ia hadapi di Eropa kepada adik-adiknya.
Kartini sendiri pada 1901—saat itu Kartono baru empat tahun tinggal di Belanda—pernah menyebutkan bahwa kakak kesayangannya, yang semula menjadi pendukung dan penghiburnya, kemudian justru membutuhkan dukungannya.
Surat-surat Roekmini yang dimuat dalam buku Surat-surat Adik R.A. Kartini (dikumpulkan oleh Frits G.P. Jaquet), yang diterbitkan PT Djambatan tahun lalu, banyak menyinggung soal utang-utang Kartono itu. Roekmini menyebut Kartono yang terjerat masalah utang itu sebagai ”kakak yang malang”.
Dalam suratnya bertanggal 21 Desember 1907, Roekmini menceritakan ia tak tega menjelaskan kondisi tak menentu Kartono kepada dua ibunya, yang masih sedih ditinggal Kartini. ”Mereka masih mengi-ra bahwa dia kuliah dengan menerima beasiswa. Mereka akan jatuh sakit kalau mengetahui keadaan sebenarnya Kartono,” tulis Roekmini.
Pada suratnya yang lain (10 Agustus 1910), Roekmini menyebut tindakan Kartono yang berutang itu sebagai ”kelakuan yang buruk”. Roekmini, yang te-ngah menyiapkan mendirikan sekolah Kartini, bahkan menunjukkan kemarahannya pada sang kakak yang dinilai telah mencemarkan nama keluarga. ”Ia begitu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan sesat dan tidak mau memperlihatkan jiwanya yang sebenarnya,” kata Roekmini.
Adik Kartini ini juga menyatakan, kehidupan mewah sang kakaklah yang menyebabkan Kartono selalu kekurangan uang dan bahkan berutang. Ia menduga, Kartono terlalu banyak bergaul dengan para pangeran dari Solo.
Elisabeth Keesing dalam Betapa Besar pun S-ebuah Sangkar: Hidup, Suratan dan Karya Kartini (PT Djambatan, 1999) menyebut Kartono bersahabat de-ngan seorang pangeran dari Pura Pakualaman. Pa-ngeran itu menghabiskan waktu sembilan tahun sebelum menempuh ujian kandidat di Delft. Kartono, yang bersahabat dengan pangeran-pangeran kaya, memaksakan diri hidup dengan biaya tinggi. ”Persahabatan, terutama selama 10 tahun pertama, lebih banyak untuk kesenangan putra raja itu daripada untuk kesenangan Kartono,” tulis Keesing.
Roekmini pada akhirnya menyatakan terima kasih kepada Nyonya Abendanon, yang telah membantu membayar sebagian utang Kartono. Tapi ia amat menyayangkan sang kakak telah memutuskan hubung-annya dengan dua gurunya, Mr Van Deventer dan salah seorang profesornya yang, kata Roekmini, ”selalu menunjukkan simpati padanya”.
Jaquet menduga profesor yang dimaksud Roekmini adalah Kern. Tapi Salam mengatakan persahabatan Kartono dan Kern tetap baik, meski Kern telah pensiun. Kartono bahkan diminta menulis karangan dalam buku album Kern pada ulang tahunnya yang ke-70. Kartono adalah satu-satunya warga Indonesia di antara 280 orang yang menuliskan kesan tentang Kern.
Apakah sang profesor itu adalah Hurgronje? Dalam surat pamitannya kepada Mr Abendanon pada 5 Juli 1925, Kartono mengungkapkan, ia sempat mengunjungi Hurgronje untuk berpamitan. Kartono bahkan menyebut Hurgronje sebagai ”orang yang bersimpati pada kesejahteraan bangsa Jawa”.
Kartono justru mengungkapkan kekesalannya kepada W. Sonneveld—pernah bekerja sebagai sekreta-ris dan direktur di Departemen Kehakiman pada 1916-1917—yang ia sebut sebagai sahabat keluarga-nya. Sonneveld, kata Kartono, telah meluluskan tun-tut-an beberapa kenalan terhadapnya. Kartono pun terpaksa harus membayar biaya perkara gugatan utang-piutang kenalannya hingga tiga kali lipat. ”Tindakannya yang sewenang-wenang telah membawa akibat finansial yang fatal bagi saya dan keluarga saya,” tulis Kartono tentang Sonneveld.
Ia pun merasa diperlakukan Sonneveld—yang mes-ki-pun pernah bertahun-tahun tinggal di Hindia Belanda dan dekat dengan keluarganya—bak seorang kuli. ”Birokrat-birokrat dan otokrat-otokrat yang telah ”jatuh ke atas” (mendapat posisi lebih tinggi) tidak kami butuhkan di Hindia,” Kartono mengungkapkan kegeramannya.
Kartono, yang telah berkali-kali diminta ibu dan adik-adiknya untuk pulang, kemudian memutu-s-kan kembali ke Indonesia. Sesampai di negeri sen-diri, Kartono, yang telah malang-melintang sebagai wartawan di Eropa dan pernah bekerja sebagai pe-nerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa, ternyata tak bisa mendapat pekerjaan apa pun. Ia telah dicap oleh pemerintah jajahan sebagai ”komunis”.
Yos Rizal Suriaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo