Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wartawan Mooie dari Hindia Belanda

Sosrokartono dikenal cakap berbahasa dan bergaul. Ia menjadi wartawan perang pertama dari Indonesia yang terjun dalam Perang Dunia I.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DE Mooie Sos atau Sos yang ganteng. Begitulah Raden Mas Panji Sosrokartono dipanggil semasa tinggal di Eropa selama 29 tahun. Panggilan lain: De Javanese Prins atau Pange-ran dari Tanah Jawa.

Kecakapan Sosrokartono dalam berbahasa dan ber-gaul adalah faktor utama yang menyebabkan orang-orang asing cepat berteman dengannya. Sastrawan dan filsuf Belanda Van Eeden (1860-1932) dalam buku hariannya 4 Mei 1915 menulis perihal kekagumannya pada Sosrokartono.

”Ia orang Jawa yang simpatik, sangat terpelajar. Ia sama sekali tidak tertutup atau pendiam. Saya le-bih merasakannya sebagai bangsa saya sendiri daripada gerombolan Eropa yang berkeluyuran di Scheveningen itu,” tulis Van Eeden seperti dikutip Elisabeth Keesing dalam Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan dan Karya Kartini terbitan PT Djambatan perwakilan KITLV pada 1996.

Anak ketiga dari Raden Mas Adipati Ario Sami-ngoen- Sosroningrat dan Ngasirah ini beran-gkat ke Belanda pada 1897, setelah menamatkan- Ho-gere Burger School (setingkat SMA) di Semarang. Menurut artikel Koen-tjo-ro Purbopranoto berjudul Ter na-gedachtenis van Drs. R.M.P. So-srokartono (Pemikiran-pemi-ki-ran Drs. R.M.P. Sosrokarto-no-) yang dimuat dalam maja-lah Bij-dragen tot de Taal-, Land- en Vol-kenkunde vol. 129 (1973), a-wal-nya ia masuk sekolah tek-nik di Delft. Tidak betah, ia pin-dah ke fakultas sastra dan fil-safat di Leiden. Untuk masuk- ke Leiden ia harus menempuh u-jian negara di bidang bahasa La-tin dan Yunani.

Pembimbing utama Kartono di Lei-den adalah Profesor Dr Johan Hendrik Kern, seorang Orientalis-. Ia segera menjadi murid kesayang-an Kern. Meski baru pindah kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di Kongres Sastra Belanda di Gent, Belgia, pada September 1899.

Kartono membawakan pidato Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Hindia Belanda). Seruan patriotik agar Belanda mengajarkan bahasanya lebih luas bagi rakyat Jawa itu dimuat di majalah bulanan Neerlandia sebulan kemudian.

Nama lain seperti Van Vollenho-ven, guru besar ilmu hukum di Lei-den dan ahli Sanskerta Speyer, serta guru besar De Groot dan Niewenhuis ikut mengajarnya, selain juga ahli bahasa Arab dan agama Islam, Snouck Hurgronje. Saat menerima gelar doctorandus dalam bidang sastra dan bahasa, Keesing menyebutkan Kartono memakai topi bulat dan kerah tinggi, laiknya politisi pada masa itu.

Semua literatur tentang Kartono menyinggung kemampuannya yang luar biasa dalam bidang bahasa. Siti Soemandari dalam Biografi Kartini menyebut kemampuan bahasa Kartono mencapai 17 bahasa a-sing. Buku Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi karya Solichin Salam (terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979) menambah sepuluh bahasa Tanah Air ke jumlah itu. ”Kemampuan inilah yang membantu perjalanan hidupnya di Eropa di kemudian hari,” Koentjoro menulis.

Studinya belum lagi selesai ketika Kartono merantau ke Belgia, Jerman, Prancis, Swiss, dan Austria sebagai ko-responden harian Ameri-ka- The New York Herald- se-lama Perang Dunia I (1914-1918). Buku Mono Per-ju-angan Jiwa Besar Kaliber In-ternasional, Drs. R.M.P. So-srokartono karangan Ki Su-midi Adi-sasmita terbitan- 1972 menyebut, Kartono men-jadi satu-satunya maha-sis-wa yang lulus tes koran i-tu. Ia dites menerjemahkan ar-tikel panjang menjadi satu ko-lom berisi 27 kata dalam ba-hasa Inggris, Prancis, dan Rusia.

The New York Herald a-dalah ko-ran yang diterbitkan di New York dan bertahan hidup da-ri 1835 sampai 1924. Pada Perang Du-nia I, koran ini juga terbit dalam e-disi- E-ropa. Surat kabar ini kemudi-an merger dengan The New York Tribune, menjadi The New York He-rald Tribune yang terbit sampa-i h-ari ini.

Ketika bertugas dalam medan perang, Kartono diberi pangkat mayor oleh pihak Sekutu. Tapi ia menolak membawa senjata. ”Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi apa perlunya membawa senjata?” kata Kartono, seperti dikutip dalam naskah Drs. RMP Sosrokartono, Sarjono-Satrya Pinandita karya Amin Singgih.

Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan perang adalah ketika ia memuat hasil perundingan antara Jerman yang kalah perang dan Prancis yang menang perang. Perundingan antara Stresman yang mewakili Jerman dan Foch yang mewakili Prancis itu berlangsung secara rahasia di sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat. Nama penulis berita itu tak disebutkan, selain kode tiga bintang, kode samaran Kartono.

Kemampuan bahasa Kartono juga mengantarnya menjadi juru bahasa tunggal di Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa, tak lama setelah Perang Dunia I usai. Tapi Amin Singgih mengutip kegeraman Kartono terhadap politik organisasi cikal bakal PBB itu, yang ia nilai tak netral. Dia meninggalkan Jenewa, tempat Volken Bond bermarkas, dan pindah ke Prancis untuk menjadi mahasiswa pendengar di Universitas Sorbonne, jurusan psikometri dan psikoteknik.

Kartono tertarik mempelajari ilmu kejiwaan se-telah mendapat rekomendasi dari seorang dokter di Jenewa. Kebetulan dokter itu melihat Kartono menyembuhkan seorang anak kerabatnya, berusia 12 tahun, yang tak sadarkan diri setelah terserang demam tinggi. Sang dokter kemudian menganjurkannya sekolah di Sorbonne.

Tapi Kartono tak lama kuliah di Sorbonne. Pada 1921, pemerintah Prancis mengangkatnya sebagai pegawai tinggi dengan jabatan atase Kedutaan Besar Prancis di Den Haag. Kartono membawa pulang surat pengangkatannya dan menunjukkannya kepada Ki Sumidi pada 1931.

Di periode 1920-an inilah Ki Sumidi menyebut Kartono telah menerima banyak uang hingga puluhan ribu poundsterling. Uang itu tersimpan di bank Swiss. ”Hingga sekarang tak ada yang mengurus,” Ki Sumidi menulis.

Cerita ini paralel de-ngan cerita Dahlan Ab-dullah kepada Mohammad Hatta. Wakil presiden pertama RI itu dalam buku Memoir terbitan Tirta Mas Indonesia pada 1979 menulis, menurut Dahlan, pendapat-an Sosrokartono pada masa itu mencapai US$ 1.250 per bulan. ”De-ngan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai miliuner di Wina,” tulis Hatta.

Namun berita ten-tang- kekayaan di bank Swiss ini berto-lak- belakang dengan per-kara utang Kar-to-no yang disinggung Keesing. Sumber beritanya a-dalah pasangan Abendanon. Dan dari mereka pula be-rita tentang utang-utang Kartono sampai ke Jepara- (baca: Hurgronje dan Sang Kakak yang Malang).

Hatta mengetahui cerita Kartono dalam perjalanan-nya- bersama Dahlan ke Wina pada Januari 1922. Me-nu-rut Dahlan, ada seorang Indonesia yang sudah la-ma- tinggal di Wina, yakni kakak almarhum Raden A-jeng Kartini. Dahlan mengatakan, ”Sosrokartono sangat pintar dan tergolong manusia jenial.”

Dalam Memoir Hatta yang memuat penuturan Dah-lan- juga menyebut bahwa Sosrokartono tak pernah i-kut serta dalam Indische Vereeniging, cikal bakal Per-himpunan Indonesia. Dahlan pun tak merasa per-lu meng-ajak Hatta mengunjungi seniornya itu di Wina.

Padahal di semua literatur tentang Sosrokarto-no, kakak Kartini itu disebut ikut mendirikan Indis-che Vereeniging di Belanda pada awal abad ke-20 itu. Solichin Salam mengu-tip dokumen pendirian Indische pada 1908–berubah nama menjadi Indone-sische Vereeniging (1922) dan Perhimpun-an Indonesia (1925)–yang membubuhkan nama Sosrokar-tono bersama Hussein Djajadi-ning-rat, Noto Soeroto, Notodi-ning-rat, dan Soemitro Kolopa-king di antaranya.

Buku tipis Drs. RMP Sosrokartono, Menumbuhkan- Si-kap Patriotisme, Membangun Karakter Bangsa kar-ya Aksan (terbitan Grasindo, 2005) mengutip saat In-donesische mengi-rim buku Sumbangsih kepada Boe-di Oetomo, nama Sosrokartono terdapat di redak-si- penyusun buku. Namanya juga tercantum dalam daf-tar dewan redaksi harian Bintang Timoer yang terbit di Belanda pada 1903, pimpinan Drs. Abdoel Rivai.

Perjalanan Sosro berakhir di Southampton, Inggris, saat ia menulis surat perpisahan kepada pasang-an- Abendanon dari kapal Grotius, 5 Juli 1925. Surat i-ni beserta dua surat lainnya dimuat di Surat-surat Adik R.A. Kartini terbitan Djambatan 2005.

Dalam surat itu, De Mooie Sos yang tengah berada- da-lam perjalanan pulang ke Jawa memohon maaf tak sempat berpamitan kepada Abendanon- yang tinggal di Amsterdam. Di Jawa, kata Kartono-, ”Sa-ya bertekad memperbaiki dan menyelamatkan ke-hidupan saya. Ada keinginan dan kemauan, dan di a-tas itu ambisi, untuk menyumbangkan pengalaman-pe-ngalaman yang telah saya dapat kepada bangsa saya.”

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus