Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu Kartini Pudjiarto masih delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti Hadiwati dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono.
Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boe-sono. Keduanya adalah kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode 1880-1905 da-ri perkawinannya dengan Ngasirah. Pa-sangan ini me-miliki delapan anak.
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pu-djiarto itu dipotret pada 1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang Sosro, begitu Kartini memanggil, duduk di sebuah kursi. "Eyang Sosro lebih sering duduk di kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh," ucapnya kepada Tempo pekan lalu.
Ia masih ingat, setiap kali berkunjung ke rumah pang-gung yang dindingnya terbuat dari bambu itu, i-a selalu dicium dan diusap kepalanya. Eyang Sosro se-ring berpuasa. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. "E-yang sering hanya minum air kelapa," tutur Kartini.
Meski separuh lumpuh, Kartono-begitu RA Karti-ni- dan adik-adiknya memanggil-masih menerima ra-tus-an tamu yang datang dengan berbagai kepenting-an-, mu-lai dari sekadar meminta nasihat, belajar ba-hasa asing, hingga mengobati berbagai macam pe-nya-kit.
Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberi-kan air putih dan secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Kartini Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro. "Katanya buat jaga-jaga," ujar Kartini.
Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosro bertulisan "Sugih tanpa banda/ Digdaya tanpa aji/ Nglurug tanpa bala/ Menang tanpa ngasorake" (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.
Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berha-rihari, adalah bagian dari "wajah mistik" Sosrokarto-no-, orang Indonesia pertama yang terjun ke medan- pe-perangan di Perang Dunia I di Eropa sebagai war-ta-wan. Selama 29 tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).
Ia mengembara ke beberapa ne-gara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda, lalu pi-n-dah ke Universitas Leiden, bergaul de-ngan kalangan bangsawan Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada ak-hirnya memutuskan pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad sisa umur-nya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.
Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mi-tra, Jakarta, 1997) menggam-bar-kan- kelebihan Kartono sebagai spi-ri-tualis itu. Pram mengutip ke-saksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto Mangun-kusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi sembuh setelah minum air putih yang diberikan Kartono.
Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang buku Resep-resep Kartini ini, E-yang Sosro cenderung menyen-di-ri, jauh di Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa Tengah.
Rumah pengobatan Pondok Darus-salam milik Sosrokartono merupa-kan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Ba-ngunan itu tepat berada di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa sekarang.
Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuni-nya sudah berganti, begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai sejak 1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9 ketika ditanya tidak tahu bahwa di jalan i-tu pernah ada pondok pengobatan milik Sosrokarto-no-. Mendengar cerita Kayanto, pondok pengobatan mi-lik Kartono diperkirakan menempati deretan ba-ngu-nan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.
Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, masih ingat: Darussalam tak pe-rnah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan. Ia pernah melihat Bung Karno datang menemui Kartono. Saat itu Kartono menggoreskan huruf Alif di atas kertas putih seukur-an prangko dan menyelipkannya ke dalam peci Bung Karno, entah untuk apa. Bung Karno pula, menurut penuturan ayahandanya, kerap datang untuk belajar bahasa kepada Sosrokartono.
Kartono, menurut Kayanto, ti-dak- pernah lepas da-ri sebu-ah tongkat-, beskap berwarna pu-tih le-ngan- panjang, sebuah topi (mi-rip mah-kota) warna hitam, dan me-nga-lungkan tasbih yang menggan-tung hingga dadanya. Janggutnya sebagian sudah memutih, sorot ma-ta-nya tajam, dan lebih banyak diam.
Darussalam, selain menjadi ru-mah pengobatan, juga sebuah perpus-takaan. Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19 Juli 1926 (Surat-surat Adik R.A. Kartini terbit-an PT Djambatan 2005) menceritakan selain mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adik-nya, RA Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di Bandung. "Per-pustakaan ini tidak disebut de-ngan nama yang lazim melainkan me-rupakan lambang dari suatu pe-ngertian baru, suatu cita-cita ba-ru-. Namanya Darussalam, yang be-rarti rumah kedamaian," tulis Kar-tono.
Buku-buku perpustakaan itu di-sumbang oleh dua orang insinyur perusahaan kereta api -Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa. "Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan," ucap Kartono.
Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen te-tap bahasa, sastra, dan budaya Ja-wa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas In-donesia, me-ngatakan Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa Ba-n-dung. Kartono diminta menem-pati gedung itu oleh RM Soerjodipoe-tro, adik Ki Hajar Dewantara. "Eyang Sosro di sana karena di-minta menjadi pimpinan Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasio-nal) milik Taman Siswa," ujar Budya.
Di perpustakaan inilah tokoh pergerakan Indonesia sering berkumpul, termasuk Ir Soekarno. Bung Karno juga diminta mengajar di sekolah itu bersama Dr Samsi dan Soenarjo SH. Gedung ini juga dipakai oleh Partai Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta.
Kepeloporan Kartono sebagai tokoh pendidikan inilah yang hendak dikenang Sukadiah Pringgohar-djoso, mantan Duta Besar RI untuk Denmark (1981-1984). Sukadiah kini aktif sebagai pembina Yayasan Pendidikan Anak Sehat Sosrokartono di Cengkareng Barat, Jakarta. Yayasan ini didirikan oleh Sosrohadikusumo, anak dari Soematri Sosrohadikusumo-adik Kartono. "Kami lebih mementingkan hal-hal konkret: mendidik anak sesuai dengan keinginan beliau dan mengentaskan kemiskinan," ujar Sukadiah.
Kartono tak pernah beku. Di Belanda, selain kuliah, ia menjadi koresponden liputan Perang Dunia I untuk koran The New York Herald, cikal bakal The New York Herald Tribune. Agar bisa lebih masuk ke kancah perang, ia menerima pangkat mayor dari te-n-tara Sekutu, tapi menolak dipersenjatai. Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan adalah ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang (Baca: Wartawan Mooie dari Hindia Belanda).
Sebagai koresponden perang, tulis Mohammad Hatta dalam Memoir, Kartono bergaji US$ 1.250 sebulan. "Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup seba-gai seorang miliuner di Wina. Menurut cerita ia bergaul dalam lingkungan bangsawan," tulis Hatta.
Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa a-sing itu, mudah diterima kalangan elite di Bela-nda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia berbicara da-lam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, "Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol," kata Hatta.
Dengan pengetahuan dan kecakapan berbahasa itu, Kartono memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899, sebelum berangkat ke Batavia untuk memangku jabatannya yang baru. Solichin Salam dalam Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidik-an Sosrokartono, 1979) menyebutkan, dalam pertemu-an tersebut Kartono meminta kepada Rooseboom un-tuk benar-benar memperhatikan pendidikan dan pe-ngajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.
Profesor Dr J.H.C. Kern, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden, kemudian mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Dalam kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai ne-gara itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan.
Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia), Kartono antara lain mengungkapkan: "Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan mem-bikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa E-ropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mere-ka akan saya tantang!"
Keluhuran tradisi itulah yang me-nurut Kartono mesti dipertahan-kan orang-orang pribumi di mana saja berada. Dengan cakrawala pengetahu-an yang terbuka-Kartono meminta pemerintah jajahan agar bahasa Belanda dan bahasa internasional lain diajarkan di Hindia Belanda-kaum pribumi bisa mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga diri mereka.
Setelah 29 tahun melanglang Er-opa sejak 1897, pangeran tampan dari tanah Jawa itu pun pulang. Ia i-ngin men-dirikan sekolah sebagaimana dicita-ci-takan mendiang adiknya, Kartini. Ia juga i-ngin men-di-rikan perpustakaan. Untuk menghimpun mo-dal, pa-da mulanya ia melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda, tapi koran i-tu sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain.
Namun, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon-, Kartono menyatakan kekecewaannya. Sesampai di Jawa, ia telah dicap sebagai komunis oleh pemerintah jajahan. "Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya," tulis Kartono.
"Tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah saya dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham komunis, dulu tidak, sekarang pun tidak. Tidak ada yang lebih saya inginkan daripada bekerja untuk pendidik-an mental sesama bangsa saya, dalam artian yang telah dimaksudkan oleh Kartini," ucap Kartono.
Kartono kemudian menggalang dukungan dari ke-lompok pergerakan di Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di kota ini.
Pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang-orang kelaparan dan diserang berbagai macam pe-nyakit. Kartono pun kemudian men-ja-lan-kan laku puasa bertahun-t-ahun untuk merasakan apa yang juga di-derita saudara-saudaranya. Ia juga men-jadi-kan Darussalam sebagai ru-mah pe-ngobatan.
Cerita air putih, Alif, dan wejang-an-wejangan hi-dup dalam bahasa Jawa, kemudian mengalir dari sini dan menjelmakan Kartono sebagai seorang penyembuh. Walaupun tak memiliki murid, di kemudian hari Kartono memiliki "pengikut". Pagu-yu-ban Sosrokartanan, komunitas pencinta Sosrokartono, kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Di Yogyakarta, paguyuban ini juga membuka rumah pengobatan.
Separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942. Kartono mangkat pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Ia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat makam ibunya Ngasirah dan bapaknya RMA Sosroningrat.
Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpa-sang tulisan huruf Alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata-kata terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (kosong pamrih, jauh dari rasa takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (langgeng, tak kenal duka tak kenal suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).
Yos Rizal S., Nurdin Kalim, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, Ahmad Fikri, Sohirin, L.N. Idayanie
Jejak Sang Intelektual
- Raden Mas Panji Sosrokartono lahir pada 10 April 1877 dan meninggal pada 8 Februari 1952. Ia anak ketiga dari delapan bersaudara putra pasangan Bupati Jepara, RM Aryo Sosroningrat dengan Ngasi-rah. Ia kakak kandung RA Kartini.
- Pada usia 20 tahun, ia mengembara ke Eropa selama 29 tahun. Ia menda-f-tar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Delft, Belanda, lalu pindah ke Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Leiden. Tak merampungkan disertasi, Sosrokartono kemudian terjun sebagai koresponden koran New York Herald.
- Wartawan Rosihan An-war mencatat Sosrokar-to-no sebagai wartawan In-do-nesia yang menjadi kores-ponden pe-rang pertama tatkala pecah Perang Dunia I (1914-1918). Gajinya, se-perti disebut Mohammad Hatta dalam Memoir, mencapai US$ 1.250 sebulan.
- Sesudah perang, ia menerima jabatan sebagai Pegawai Tinggi Kedutaan Besar Prancis untuk Belanda di Den Haag. Ia juga menjadi penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa.
- Sosrokartono menguasai 17 bahasa asing, termasuk bahasa India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Lantaran cakap berbahasa, ia diundang da-lam Kongres Bahasa dan Sas-tra Belanda ke-25 pada 1899. Sosrokartono, dalam pidatonya yang dimuat seluruh koran Belanda saat itu, mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Be-landa yang tak dipenuhi pe-me-rintahan jajahan.
- Pulang ke Indonesia pada 1926, ia dituduh komunis oleh pemerintah jajahan. Sosrokartono kemudian memilih mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama sang adik, RA Kardinah. Kemudian ia menetap di Bandung, mendirikan perpustakaan Darussalam di Jalan Pungkur 7. Di per-pustakaan itulah Sosrokartono kerap didatangi Soe-karno, yang ingin belajar bahasa padanya.
- Ia memiliki bakat supernatural sejak usia 3 tahun. Adik-adik Kartini yang mendengar kisah sang ibu menceritakan, pada suatu hari Sosrokartono mengumpulkan benda-benda mainannya. Waktu ditanya mengapa ia mengumpulkan mainannya, ia menjawab, "Mau pindah ke Jepara." Beberapa bulan kemudian keluarga Sosro-ningrat pindah dari Mayong Rembang ke Jepara lantaran ayah Sosrokartono itu diangkat dari jabatan Wedana Mayong menjadi Bupati Jepara.
- Dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra, Jakarta, 1997), Pramoedya Ananta Toer menuliskan, pada 1930-an seorang dokter Belanda di RSUP (CBZ) Jakarta menulis laporan dalam salah satu koran tentang pengalamannya menyaksikan Sosrokartono menyembuhkan wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi. Wanita itu sembuh setelah minum air putih yang diberikan Sosrokartono.
- Kemampuan menyembuhkan kemudian semakin berkembang ketika Sosrokartono tinggal di Bandung. Ia juga pernah diundang Sultan Langkat untuk mengobati anggota keluarga kerajaan yang sakit. Sisi spiritual Sosrokartono, termasuk memberikan ajaran-ajaran hidup dalam ba-hasa Jawa, di kemudian hari melahirkan para "peng-ikut". Paguyuban Sosrokartanan, komunitas pencinta Sosrokartono, kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo