Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bumi makin panas, dan sebuah pertemuan akbar pun digelar di Bali pekan ini. Di beberapa ruang yang sejuk di Pulau Dewata itu para pakar dan pejabat dunia berunding tentang cara mencegah agar dunia tidak kian gerah dan semakin kehilangan kehijauannya. Indonesia, yang menjadi tuan rumah acara Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, memang punya peran cukup penting dalam upaya menjaga kondisi dunia agar tak bertambah genting.
Bagaimana tidak. Bertambahnya kadar karbon di udara dituding sebagai penyebab utama naiknya suhu permukaan bumi, dan negeri ini ditengarai berperan besar sebagai salah satu pemasoknya. Dengan predikat sebagai negara yang laju kerusakan hutannya tercepat, Indonesia tak hanya dianggap bertanggung jawab atas menciutnya kapasitas paru-paru dunia, tapi juga dituduh membiarkan kegiatan pembakaran hutan sebagai cara mengubahnya menjadi lahan perkebunan. Di mata para pencinta lingkungan, ini adalah dosa ganda.
Tuduhan para aktivis yang kegiatannya amat didukung negara maju itu tak keliru, namun banyak pemimpin negara berkembang merasa kurang adil. Pasalnya, mayoritas penduduk di negeri tempat hutan tropis tumbuh masih miskin, dan segala upaya untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka tentu didukung. Adapun salah satu cara yang terlihat di depan mata adalah memanfaatkan hutan dengan menjual kayunya atau mengubah lahannya menjadi tempat bertani dan berkebun.
Perbedaan sudut pandang antara negara kaya dan miskin seperti ini yang dicoba dicari titik temunya di Bali. Di satu sisi secara per kapita penduduk negara maju jauh lebih boros ketimbang warga negara berkembang dalam memasok limbah penyebab perubahan iklim, tapi di sisi lain jumlah kaum papa jauh lebih banyak dari yang kaya. Ini berarti dibutuhkan perubahan paradigma yang cukup radikal dalam menyelaraskan upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan memelihara lingkungannya.
Salah satu gagasan baru yang sedang dibahas adalah ihwal pengelolaan hutan tropis. Sebelas negara yang memiliki kekayaan alam ini, termasuk Indonesia, kini menyatakan bersedia mempertahankan fungsi hutannya sebagai paru-paru dunia bila negara-negara lain membantu mereka dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat masing-masing. Konsep Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD) ini pada prinsipnya menyimpulkan bahwa beban menjaga kelestarian hutan tropis harus dipikul bersama oleh semua umat manusia dan tak hanya dipanggul oleh masyarakat tempat hutan ini berada.
Konsep yang dilontarkan sejak 2005 ini pada prinsipnya telah diterima namun perincian pelaksanaannya yang belum tuntas. Bagaimana menghitung nilai ekonomi yang disumbangkan hutan tropis di setiap negara, berapa besar selayaknya dana masyarakat internasional yang harus ditagih, dan bagaimana menentukan besaran urunan tiap negara, adalah contoh butir kesepakatan yang harus dinegosiasikan. Sebagai tuan rumah, Indonesia seharusnya menegakkan prinsip keadilan dan saling hormat sebagai dasar perundingan. Jangan sampai terkesan kesebelas negara berlaku bagai preman yang menyandera dunia tapi sekaligus tidak membiarkan mereka yang kaya disubsidi oleh yang miskin dalam kegiatan memelihara kenyamanan hidup di planet bumi.
Prinsip keadilan yang bermartabat ini sebenarnya sudah diwariskan para pendiri bangsa kendati dalam konteks yang berbeda. Politik luar negeri bebas aktif Indonesia di masa lalu telah berperan besar dalam melahirkan gerakan nonblok yang membuat negeri ini dan banyak negara asing terbebas dari keharusan berpihak dalam konflik perang dingin masa lalu. Tatkala banyak negara lain merasa harus berlindung di payung nuklir blok Barat atau blok Timur, para anggota gerakan nonblok justru berkampanye membangun kawasan yang damai dan bebas dari ancaman senjata nuklir.
Kini, di Bali, pengalaman dan kepiawaian para diplomat anak bangsa dalam “mengayuh biduk di antara dua karang” perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kepemimpinan Indonesia dalam mengajak sepuluh negara pemilik hutan tropis lain untuk menyepakati usulan yang berprinsip keadilan dan kehormatan itu haruslah optimal. Juga kemampuan untuk mengajak anggota masyarakat internasional lain mendukung kesepakatan itu sebagai bagian dari upaya membuat dunia yang lebih baik wajib dimaksimalkan.
Jika kedua hal ini dapat dicapai, masih ada tantangan lain yang tak kalah sulitnya. Itulah kemampuan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah diraih sesegera mungkin. Sebab, pengalaman masa lampau menunjukkan banyak konsep bagus ditelurkan namun tak dapat diterapkan di lapangan.
Sebetulnya, tanpa kesepakatan pun, Indonesia harus tetap menjalankan kewajibannya dalam konsep REDD, yaitu menjaga fungsi hutan sebagai paru-paru umat manusia tanpa mengurangi upaya memerdekakan rakyat dari belenggu kepapaan. Tentu upaya mengajak negara-negara lain untuk turut memikul tugas kemanusiaan ini tak boleh terhenti. Salah satu cara efektif melakukannya adalah dengan menunjukkan keteladanan. Sukses membangun gerakan nonblok memang layak diulang. Kali ini, agaknya, dengan warna yang lebih hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo