Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ia "tak akan berusia panjang"

Wali kota ujung pandang, patompo, dikenal kreatif. wawancara tempo dengan patompo, mengatakan, bekerja keras untuk mengenang anak buahnya yang gugur waktu disergap gerombolan kahar muzakkar 1957. (kt)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA lahir di desa Polewali (Mandar, Sulawesi Selatan) tahun 1929, bulan Agustus. Tanggalnya lupa. Daeng Patompo begitu sibuk dan memang pelupa. Banyak cerita tentang Walikota Ujung Pandang ini. Seorang anggota staf yang cukup dekat dengannya mengisahkan misalnya: beberapa kali terjadi supir Walikota buru-buru disuruhnya menjemput si isteri sepulang menghadiri suatu malam resepsi. Karena temyata begitu Patompo sampai di rumah dan bersiap-siap hendak tidur, dia baru ingat bahwa sewaktu menghadiri undangan tadi ia datang bersama nyonya. Dan dia lupa mengajaknya pulang bersama. Haji Muhammad Daeng Patompo memang dibanding 5 tahun sebelumnya, sekarang tampak cepat menua. Garis-garis mulai jelas di wajahnya, akibat 24 jam tiap hari yang tegang. Dengan geli drs. H.M. Said, Sekretaris Daerah Kotamadya Ujung Pandang, mengingat masa-masa permulaan jabatan Patompo sebagai walikota. "Tak jarang jam satu malam, saya ditelepon pak Patompo untuk mengadakan rapat staf saat itu juga, lebih-lebih kalau dia menemukan fikiran-fikiran baru" kata Said. Patompo mengakui hal itu: "Karena waktu itu dan bahkan hingga sekarang otak saya tak pernah mau tidur dan berputar-putar terus mencari anggaran untuk membangun kota ini". Dengan cukup yakin ia meramalkan dirinya sebagai "tidak akan berusia panjang". Mengapa? Jawabnya: "Sebagai walikota jabatan saya akan berakhir tahun 1978. Sedangkan masa pensiun saya baru pada tahun 1984. Sehingga kalau pemerintah masih memberi kepercayaan kepada saya untuk tugas-tugas baru, setelah menjabat walikota saya masih memiliki masa kerja 6 tahun. Dengan kebiasaan saya mencurahkan segenap tenaga dan fikiran dalam tugas, berarti selama itu pula saya akan memberikan semua yang ada pada diri saya untuk berhasilnya tugas-tugas itu. Karenanya saya merasa usia saya tak begitu panjang. Bahkan mungkin tak sempat menikmati masa pensiun saya". Mempunyai 6 orang anak (3 lakilaki dan 3 wanita) dari 3 orang isteri yang pertama bercerai, kedua meninggal -- Muhammad Daeng Patompo dikenal sebagai anak yang nakal di lingkungan keluarganya. Merasa bahwa karena kenakalannya menyebabkan dia tak disenangi keluarga, suatu hari di tahun 1942 dia melarikan diri dari desa kelahirannya menuju kota Makassar (waktu itu). Pada sebuah keluarga dia menumpang hidup. Di sini dia adalah pencuci piring, penyapu kebun dan bertindak sebagai pelayan. Tetapi dengan begitu pula Patompo bersekolah hingga menyelesikan kelas 6 HIS. Orang yang pernah ditawan Belanda di Nusa Kambangan ini, kini berpangkat kolonel. Meskipun ketika pertama kali menjadi pejabat walikota (tahun 1964) masih berpangkat kapten. Bertempat di rumah dinasnya yang bertingkat dua menghadap ke selatan Makassar, pertengahan bulan Maret lalu telah terjadi tanya jawab berikut ini dengan TEMPO. Tanya: Pak Patompo dikenal sebagai walikota yang ulet dan bekerja keras. Apa dorongan kerja bapak? Jawab: Di samping sudah jadi sifat saya, ada cerita khusus. Suatu ketika di tahun 1957 sebagai komandan peleton saya ditugaskan menumpas gerombolan Kahar Muzakkar di daerah Camba. Kembalinya, di sebuah tempat kita dihadang gerombolan dengan kekuatan 10 kali lebih besar. Dalam pertempuran semua anak buah saya gugur, hanya tinggal saya sendiri meskipun terkena tembakan di pangkal tangan -- tapi tak berdarah. Saya menyesal dan merasa bersalah, mengapa saya tidak mati bersama anak buah saya. Saya shock, 6 bulan lamanya hilang keseimbangan berfikir. Tapi dengan tekad saya harus menunjukkan kepada anak-anak buah saya bahwa saya yang masih hidup ini tidak percuma. Sejak itulah saya berkeyakinan bahwa saya harus bekerja keras. Saya tak ingin menyia-nyiakan kematian mereka, sekaligus juga sisa hidup saya yang mereka tinggalkan. T: Selama 12 tahun lebih menjabat walikota, pekerjaan apa yang bapak anggap paling berhasil? J: Terutama soal kebersihan kota. Tapi yang penting saya sudah menyediakan kebutuhan pokok warga kota, yaitu pendidikan, kesehatan, perumahan, listrik dan air minum. T: Bagaimana tentang sarana lain? J: Karena terbatasnya biaya dan peralatan, saya belum mampu membuat jalan yang benar-benar permanen. Yang ada sekarang kekuatannya hanya untuk 5 tahun. Inipun sering rusak, karena Kotamadya hanya memiliki wals berkekuatan 8 dan 15 ton, sedang jalan-jalan itu sering dilalui truk bermuatan 20 hingga 30 ton. Soal lainnya memang saya akui masin kurang. Karena itu saya tak pernah mengatakan pembangunan Kotamadya Ujung Pandang selesai dan sukses 100%, paling-paling saya katakan hanya 75% Karena kita harus melangkah satu-satu. Satu sukses, baru menyusul yang lain. Saya tahu para olahragawan dan seniman kota ini menangis kekurangan sarana. Tapi pendirian saya, lebih baik seekor burung di tangan dari pada 10 burung di udara. Namun saya janjikan, dalam tahun ini juga kota ini sudah memiliki gedung kesenian dan sarana-sarana olahraga yang lengkap. Sehingga di akhir masa jabatan saya tahun 1978, saya akan menyerahkan kota ini kepada pengganti saya dalam keadaan lengkap. Dia tinggal memelihara dan meneruskan saja. T: Barangkali bapak mempunyai problim-problim yang cukup ruwet? J: Tentu saja. Kalau ada istilah total football, tak mustahil ada pula istilah "total problem". Soal keterbatasan anggaran, ini biasa, tak saya pusingkan. Hanya tinggal bagaimana kita menggali dari sumbernya sebanyak mungkin. Problim pokok saya adalah karena masyarakat belum sepenuhnya menyadari dirinya sebagai wajib pajak. Di sini baru sekitar 60% saja wajib pajak yang sadar. Dan kalau saya sudah berhasil menyadarkan yang 40% lagi, alangkah bahagianya warga kota ini. T: Saya harap bapak berumur panjang dan sempat menikmati masa tua. Apakah bapak punya rencana khusus setelah tiba masa pensiun? Sebagai pengusaha swasta misalnya? J: Tidak. Dalam masa pensiun saya mau menikmati hidup. Tak mau bicara kalau tak perlu. Tak mau baca koran. Paling-paling hanya membaca buku. Itu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus