IA lahir di desa Polewali (Mandar, Sulawesi Selatan) tahun
1929, bulan Agustus. Tanggalnya lupa. Daeng Patompo begitu sibuk
dan memang pelupa. Banyak cerita tentang Walikota Ujung Pandang
ini. Seorang anggota staf yang cukup dekat dengannya mengisahkan
misalnya: beberapa kali terjadi supir Walikota buru-buru
disuruhnya menjemput si isteri sepulang menghadiri suatu malam
resepsi. Karena temyata begitu Patompo sampai di rumah dan
bersiap-siap hendak tidur, dia baru ingat bahwa sewaktu
menghadiri undangan tadi ia datang bersama nyonya. Dan dia lupa
mengajaknya pulang bersama.
Haji Muhammad Daeng Patompo memang dibanding 5 tahun sebelumnya,
sekarang tampak cepat menua. Garis-garis mulai jelas di
wajahnya, akibat 24 jam tiap hari yang tegang. Dengan geli drs.
H.M. Said, Sekretaris Daerah Kotamadya Ujung Pandang, mengingat
masa-masa permulaan jabatan Patompo sebagai walikota. "Tak
jarang jam satu malam, saya ditelepon pak Patompo untuk
mengadakan rapat staf saat itu juga, lebih-lebih kalau dia
menemukan fikiran-fikiran baru" kata Said. Patompo mengakui hal
itu: "Karena waktu itu dan bahkan hingga sekarang otak saya tak
pernah mau tidur dan berputar-putar terus mencari anggaran untuk
membangun kota ini". Dengan cukup yakin ia meramalkan dirinya
sebagai "tidak akan berusia panjang". Mengapa? Jawabnya:
"Sebagai walikota jabatan saya akan berakhir tahun 1978.
Sedangkan masa pensiun saya baru pada tahun 1984. Sehingga kalau
pemerintah masih memberi kepercayaan kepada saya untuk
tugas-tugas baru, setelah menjabat walikota saya masih memiliki
masa kerja 6 tahun. Dengan kebiasaan saya mencurahkan segenap
tenaga dan fikiran dalam tugas, berarti selama itu pula saya
akan memberikan semua yang ada pada diri saya untuk berhasilnya
tugas-tugas itu. Karenanya saya merasa usia saya tak begitu
panjang. Bahkan mungkin tak sempat menikmati masa pensiun saya".
Mempunyai 6 orang anak (3 lakilaki dan 3 wanita) dari 3 orang
isteri yang pertama bercerai, kedua meninggal -- Muhammad Daeng
Patompo dikenal sebagai anak yang nakal di lingkungan
keluarganya. Merasa bahwa karena kenakalannya menyebabkan dia
tak disenangi keluarga, suatu hari di tahun 1942 dia melarikan
diri dari desa kelahirannya menuju kota Makassar (waktu itu).
Pada sebuah keluarga dia menumpang hidup. Di sini dia adalah
pencuci piring, penyapu kebun dan bertindak sebagai pelayan.
Tetapi dengan begitu pula Patompo bersekolah hingga
menyelesikan kelas 6 HIS. Orang yang pernah ditawan Belanda di
Nusa Kambangan ini, kini berpangkat kolonel. Meskipun ketika
pertama kali menjadi pejabat walikota (tahun 1964) masih
berpangkat kapten. Bertempat di rumah dinasnya yang bertingkat
dua menghadap ke selatan Makassar, pertengahan bulan Maret lalu
telah terjadi tanya jawab berikut ini dengan TEMPO.
Tanya: Pak Patompo dikenal sebagai walikota yang ulet dan
bekerja keras. Apa dorongan kerja bapak?
Jawab: Di samping sudah jadi sifat saya, ada cerita khusus.
Suatu ketika di tahun 1957 sebagai komandan peleton saya
ditugaskan menumpas gerombolan Kahar Muzakkar di daerah Camba.
Kembalinya, di sebuah tempat kita dihadang gerombolan dengan
kekuatan 10 kali lebih besar. Dalam pertempuran semua anak buah
saya gugur, hanya tinggal saya sendiri meskipun terkena tembakan
di pangkal tangan -- tapi tak berdarah. Saya menyesal dan merasa
bersalah, mengapa saya tidak mati bersama anak buah saya. Saya
shock, 6 bulan lamanya hilang keseimbangan berfikir. Tapi dengan
tekad saya harus menunjukkan kepada anak-anak buah saya bahwa
saya yang masih hidup ini tidak percuma. Sejak itulah saya
berkeyakinan bahwa saya harus bekerja keras. Saya tak ingin
menyia-nyiakan kematian mereka, sekaligus juga sisa hidup saya
yang mereka tinggalkan.
T: Selama 12 tahun lebih menjabat walikota, pekerjaan apa yang
bapak anggap paling berhasil?
J: Terutama soal kebersihan kota. Tapi yang penting saya sudah
menyediakan kebutuhan pokok warga kota, yaitu pendidikan,
kesehatan, perumahan, listrik dan air minum.
T: Bagaimana tentang sarana lain?
J: Karena terbatasnya biaya dan peralatan, saya belum mampu
membuat jalan yang benar-benar permanen. Yang ada sekarang
kekuatannya hanya untuk 5 tahun. Inipun sering rusak, karena
Kotamadya hanya memiliki wals berkekuatan 8 dan 15 ton, sedang
jalan-jalan itu sering dilalui truk bermuatan 20 hingga 30 ton.
Soal lainnya memang saya akui masin kurang. Karena itu saya tak
pernah mengatakan pembangunan Kotamadya Ujung Pandang selesai
dan sukses 100%, paling-paling saya katakan hanya 75% Karena
kita harus melangkah satu-satu. Satu sukses, baru menyusul yang
lain. Saya tahu para olahragawan dan seniman kota ini menangis
kekurangan sarana. Tapi pendirian saya, lebih baik seekor burung
di tangan dari pada 10 burung di udara. Namun saya janjikan,
dalam tahun ini juga kota ini sudah memiliki gedung kesenian dan
sarana-sarana olahraga yang lengkap. Sehingga di akhir masa
jabatan saya tahun 1978, saya akan menyerahkan kota ini kepada
pengganti saya dalam keadaan lengkap. Dia tinggal memelihara dan
meneruskan saja.
T: Barangkali bapak mempunyai problim-problim yang cukup ruwet?
J: Tentu saja. Kalau ada istilah total football, tak mustahil
ada pula istilah "total problem". Soal keterbatasan anggaran,
ini biasa, tak saya pusingkan. Hanya tinggal bagaimana kita
menggali dari sumbernya sebanyak mungkin. Problim pokok saya
adalah karena masyarakat belum sepenuhnya menyadari dirinya
sebagai wajib pajak. Di sini baru sekitar 60% saja wajib pajak
yang sadar. Dan kalau saya sudah berhasil menyadarkan yang 40%
lagi, alangkah bahagianya warga kota ini.
T: Saya harap bapak berumur panjang dan sempat menikmati masa
tua. Apakah bapak punya rencana khusus setelah tiba masa
pensiun? Sebagai pengusaha swasta misalnya?
J: Tidak. Dalam masa pensiun saya mau menikmati hidup. Tak mau
bicara kalau tak perlu. Tak mau baca koran. Paling-paling hanya
membaca buku. Itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini