Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senjata Lima puluh tahun yang lalu, di pertanian komunal di barat Palestina, Ariek Sharon muda bertugas menimbun senjata-senjata keluarga dengan kotoran hewan di kandang ternak, jika pasukan Inggris datang. Ibunya, Vera, tidur dengan sepucuk pistol di bawah ranjang. Ayah Ariek, Samuil, seorang imigran Rusia di Palestina, dikenal sangat keras kepala. Ia petani belepotan lumpur, dan terbiasa berkotor-kotor. Keluarga Sharon sesekali menggunakan lumpur dan kotoran sapi untuk memplester dinding kamar-kamar mereka. Samuil sering bertengkar dengan petani lainnya, di moshav (pertanian kolektif). Sharon senang menceritakan kesukaan ayahnya menanam alpukat, walau para Moshavenik lain mengejek penanaman buah yang tak dikenal itu. Tapi Samuil, selalu merasa lebih pintar ketimbang orang lain, mengatakan bahwa alpukat adalah "buah masa depan". Dan ternyata ia benar. Salah satu hasil pertanian terbesar Israel adalah alpukat. "Masa itu besar dampaknya pada pertumbuhan saya," kata Sharon kini. Kenyataannya, sang anak pun tumbuh sekeras kepala sang ayah. Bekas menteri pertahanan, Ezer Weizman, dalam bukunya berjudul Perang untuk Damai menulis: "Dua puluh lima tahun berpengalaman di bidang militer, Sharon tak pernah merasa berbuat salah dalam kebijaksanaan militernya." Itulah pendapat Weizman sebelum ia meninggalkan Partai Likud dan menjadi pemimpin bersuara lantang di Partai Buruh. Dan, sebelum Sharon menjebloskan Israel dalam Perang Libanon, setahun kemudian. Peristiwa Libanon, suatu invasi yang mulanya bertujuan menghapuskan basis-basis gerilya Palestina dari Libanon Selatan, ternyata berakhir di luar dugaan semua orang, kecuali Sharon. Atas perintah menteri pertahanan, yaitu Sharon, pasukan Israel pun memporak-porandakan Beirut Barat, wilayah yang berdasarkan konsensus para perwira Israel tak akan disentuh. Komisi penyelidik pemerintah menyatakan bahwa Sharon secara tidak langsung bertanggung jawab atas insiden tragis dalam peristiwa yang menewaskan 460 pengungsi Palestina oleh sejumlah milisi Kristen di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut itu. Tentang peristiwa Libanon itu, kata Sharon kini, "Saya tetap merasa bangga ikut terlibat dalam upaya penting menghancurkan teroris." Tapi mengapa ia lalu mengundurkan diri? "Saya cuma kambing hitam pemerintah. Saya harus meninggalkan departemen pertahanan bukan karena perang di Libanon. Orang memutarbalikkan kenyataan. Umpama kata kaum Arab Ktisten itu tidak membunuh Arab Muslim pada malam di tahun 1982 dulu itu, saya rasa saya bakal muncul sebagai salah orang terkuat di Israel." Bagi seorang Sharon, yang sudah angkat senjata terhadap Arab begitu tubuhnya kuat menyangga senapan, mempermasalahkan benar salahnya taktik memang agak aneh. Bukan cara, tapi tujuan yang penting -- pembalikan susunan kalimat yang sama saja artinya dengan tujuan menghalalkan cara. Perlawanan Arab terhadap Yahudi dimulai pada pertengahan tahun 1930-an, saat Sharon belum mencapai umur 10 tahun. Ketika itu, keluarga dan para tetangganya harus senantiasa bersiaga menghadapi serangan pihak musuh. Pada 1945, tiga tahun sebelum Israel berdiri, Sharon naik bis sepanjang jalan ke Gaza, menuju tempat latihan di kamp militer rahasia "Haganah". Dalam perjalanan, kenang Sharon, ia membawa "pentungan kayu yang berat di kedua tangan". Sharon bertahan di jajaran militer selama dua dekade lebih. Ia menunjukkan kepemimpinan yang menonjol dan kariernya cepat menanjak. Dalam Perang Enam Hari, tahun 1967, dan dalam Perang Yom Kipur, tahun 1973, Sharon muncul sebagai komandan terbesar Israel dan dijuluki "singa padang pasir". Kata orang, penilaian yang jujur datang dari musuh. Maka simaklah kata Ezer Weizman, yang tak suka pada Sharon, dalam bukunya, "Ariek Sharon bisa jadi komandan tempur terbesar di masa kita ini. Yang dilakukannya di angkatan bersenjata dua puluh tahun lalu, tetap tinggal sebagai warisan militer mendasar, yang dihormati dan diakui hingga kini." Sumbangan Sharon terbesar yakni keberaniannya yang amat luar biasa. Pada 1954, ketika itu Sharon perwira intelijen berusia 26 tahun, dua tentara Israel tersesat masuk wilayah Yordania secara tak sengaja, dan akhirnya ditangkap. Beberapa hari kemudian, tutur Sharon kini, komandan distrik Utara, Moshe Dayan, melemparkan gagasan untuk menangkap dua tentara Yordania agar bisa dilakukan pertukaran tahanan. Sore itu juga, Sharon bersama seorang rekan perwira merancang rencana untuk menarik beberapa orang Yordania ke wilayah Israel. Mereka menemukan 4 orang tentara Yordania yang sedang patroli di bibir Sungai Yordan. Dengan suara ramah, Sharon memanggil mereka. Lalu kata Sharon dalam bahasa Arab, bersediakah mereka membantu mencarikan sapi yang nyasar di sekitar situ? Tentara Yordania, yang terbujuk oleh orang Israel yang berbahasa Arab ini, menyeberangi sungai, duduk-duduk dan mengobrol dengan Sharon di bawah pohon. Merasa tidak mampu menangani 4 tentara sekaligus, Sharon memancing-mancing agar di antara mereka segera pergi untuk mencari "sapi yang hilang". Benar saja, dua tentara Yordania segera berdiri dan melakukan pencarian. Ketika kedua tentara itu sudah jauh, Sharon dan rekannya langsung menyergap dua tentara Yordania yang tinggal. Semua ini hanya berlangsung dalam beberapa jam setelah Dayan melemparkan gagasannya. Dalam otobiografinya, Dayan, jenderal bermata satu yang meninggal pada 1981, menulis tentang insiden ini: "Saya sudah lupa peristiwa itu secara rinci, soalnya kejadiannya sudah lama sekali. Tapi ada dua hal yang tak dapat saya lupakan: teguran keras kepala staf waktu itu, yakni tentang cara dua tahanan itu dibekuk, dan betapa saya terpesona pada cara itu, yakni cara Ariek." Lebih dari satu dasawarsa setelah peristiwa itu, Sharon "menolong" Israel dalam peristiwa penting lainnya. Duduk di mobil pengangkut tentara di dekat Terusan Suez pada akhir perang 1967, Sharon baru saja mendengar berita direbutnya Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pada saat itu pula, seperti dikenang Sharon, ia memutuskan bahwa bangsa Yahudi harus memulai pemukiman di tanah pendudukan itu. Dari Sinai, Sharon mengirim kawat instruksi kepada komandan sekolah infanteri agar segera memindahkan basis dari Netanya, sebuah pelabuhan Israel, ke wilayah Yordania yang baru direbut, yakni di Nablus, di Tepi Barat. Walau terjadi silang pendapat soal pemukiman militer pertama ini, Sharon memindahkan sekolah-sekolah polisi dan militer lainnya ke Tepi Barat, karena "untuk mengamankan bagian wilayah ini adalah penting menancapkan kaki sesegera mungkin dengan mendirikan permukiman Yahudi." Pada sebuah petang, April atau tiga bulan lalu, sebelum kekerasan meledak di Jalur Gaza -- setelah seorang Yahudi yang, konon, berotak miring membantai 7 pekerja Arab -- Sharon dan rombongan pengawalnya mengendarai mobil menuju permukiman di daerah pendudukan yang ia bantu pendiriannya. Sang jenderal menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menunjuk dari jendela mobil ke menara yang dilingkari kabel - istrik. Menara itu dilindungi beton-beton -- cukup kuat untuk menahan sebuah tank -- yang tampaknya dimaksudkan untuk mencegah sabotase gerilyawan PLO. "Itu bikinan jenderal lain, bukan saya," katanya dengan nada mencela. "Saya kira ada cara lain yang lebih efektif untuk mencegah teror." Di kampung Malim di kamp pengungsi Jabalya, di Gaza, di mana banyak penduduk tidur bersama ternak mereka di satu ruangan, Mohammad Abu Abel, pria 45 tahun, masih ingat bagaimana cara Sharon mencegah teror. Yakni rumah-rumah orang Palestina yang rata dengan tanah, dan hilangnya ratusan warga desanya, dua puluh tahun yang lalu. Kini, kata Abu Habil dengan geram, "Jika Sharon kembali ke sini tanpa pengawal, nasib yang menghadangnya cuma satu: mati." Pada 1970-an, Sharon menjadi komandan wilayah ketiga, termasuk membawahkan Jalur Gaza. Dari daerah pendudukan ini, ketika itu, kerap muncul gerilyawan-gerilyawan yang menyusup dan menyerang ke dalam wilayah Israel. Lusinan warga Israel tewas, dan Sharon memutuskan, sudah tiba waktunya untuk melancarkan "pembersihan". Yang dilakukannya dalam waktu singkat, dengan gaya campuran antara kecerdasan dan kebrutalan. "Filosofi saya: jika itu seorang teroris, langsung bunuhlah dia," kata Sharon. "Tapi biarkan mereka yang tak terlibat dalam tindak kekerasan dalam kehidupan normal." Kebanyakan bangsa Arab, di Gaza, hidup di kamp-kamp semacam Jabaliya, tempat tinggal sekitar 60.000 bangsa Palestina, yang mengungsi dari Israel ketika pecah perang kemerdekaan Israel tahun 1948. Kamp-kamp itu berupa blok-blok sempit, yang cuma berjarak beberapa meter satu sama lainnya. Kondisi itu, menurut Sharon, menyulitkan patroli. Ia punya jalan keluar yang baik. Dan inilah jalan keluar yang baik itu, yang dikisahkan oleh Abu Habel, salah seorang penghuni kamp yang selamat. Pada malam 1 Agustus 1971, tentara Israel menggedor pintu rumah Abu Habel, dan memerintahkan seluruh keluarga Habel -- semua ada 17 orang -- untuk segera mengosongkan rumah dalam tempo 24 jam. "Saya tanya, ke mana kami harus pergi," Abu Habel mengenang. "Mereka mengatakan kami bisa pindah ke Syria, Libanon, Yordania, atau ke Sinai. Tentara itu mengatakan rumah kami akan diratakan, agar mereka bisa membangun jalan baru. Esok harinya, tentara datang dengan buldoser dan meratakan rumah Abu Habel bersama 20 rumah lainnya pada deretan itu. Di kamp ini dan 7 kamp lainnya, PBB membangun gang-gang sempit, membujur dari selatan ke utara. Untuk memudahkan patroli tentara Israel, kata Sharon, ia membangun jalan-jalan besar membujur dari timur ke barat. Benar, itu memudahkan tentara Sharon berpatroli, tapi membuat Abu Habel dan ratusan warga lainnya tak beratap sama sekali. "Saya melihat Sharon di sana, mengawasi pembuldoseran rumah-rumah kami," kenang Abu Habel. Kata Abu pula, ia dan keluarga-keluarga yang kehilangan rumah "terus berdiri menyaksikan di tempat, tak beranjak semili pun, sebelum rumah-rumah itu berubah jadi puing halus." Lalu mereka diangkut dengan truk oleh para tentara itu dan diturunkan di muka barak-barak tanpa listrik dan sumur. Padahal, kata Sharon, permukiman pengganti dilengkapi listrik dan air minum. Baru setelah bertahun-tahun, Abu Habel dan rekan-rekan senasibnya bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumah baru. Itulah rumah yang lebih patut disebut gubuk dengan atap seng. Di gubuk-gubuk itulah keluarga mereka tinggal dalam kepapaan. Di muka rumah Abu Habel kini, anak-anak telanjang bermain-main di bak bandi bekas yang sudah tak dipakai. Seorang pemuda tampak asyik menyerok kotoran hewan, lalu ia tumpuk di bawah jendela sebuah dapur. Warga Palestina di Gaza tentu tak akan melupakan kekejaman Sharon. Sementara itu, Sharon cuma nyengir senang ketika menceritakan salah satu kebijaksanaannya terhadap warga tanah pendudukan. Suatu hari, sebuah perahu nelayan Libanon terdampar di pantai Gaza. Enam orang tampak melompat keluar dan cepat menghilang. Ketika warga Arab Gaza datang melihat-lihat, mereka menemukan koran, makanan, dan artikel yang jelas asal Libanon di dalam perahu. Di saat itulah sebuah helikopter Israel meraung-raung di udara. Tentara Sharon pun menyisir pantai, dan melakukan pencarian dari rumah ke rumah untuk menangkap "teroris Libanon" yang baru mendarat itu. Sebenarnya, perahu nelayan itu sengaja ditangkap pasukan Israel, kata Sharon, dan orang-orang di dalamnya adalah agen-agen intelijen Israel sendiri yang menyamar sebagai nelayan Libanon. "Tampak kesibukan, para tentara berteriak-teriak, helikopter meraung-raung," kenang Sharon dengan gembira. Para agen yang menyamar juga sempat mengguyur lengan mereka dengan darah ayam, agar tampak terluka. Segera pihak Arab mengira "orang-orang ini adalah orang-orang seperjuangan yang penting," tutur Sharon. "Tiga hari kemudian, kelompok perlawanan orang-orang Palestina secara rahasia menemui mereka untuk mengucapkan selamat datang," tutur Sharon lebih lanjut. "Dan ketika mereka berkumpul di sebuah rumah, mereka kami bunuh semuanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo