Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiap hari tampak antrean panjang di Bilawal House, rumah bekas Perdana Menteri Benazir Bhutto di Karachi, yang dijaga ketat. Yakni setelah Benazir dipecat dari jabatan perdana menteri, 6 Agustus lalu, dan kembali tinggal di situ. Bilawal House, itulah sebuah rumah besar dikelilingi tembok tebal setinggi tujuh meter dengan gulungan kawat berduri di atasnya. "Nyonya Benazir Bhutto sedang merancang strategi baru untuk kembali ke panggung politik," kata Nahreed, sekretaris pribadinya. Tampaknya itu tidak mudah. Bukan karena lawan yang harus dihadapinya adalah Ghulam Mustafa Jatoi, 59 tahun, perdana menteri sementara dari Partai Rakyat Nasional. Jatoi -- tokoh yang sebenarnya pernah bahu-membahu dengan Benazir, dan ibunya memimpin Partai Rakyat Pakistan setelah ayah Benazir dihukum mati -- sudah melangkah jauh. Ia sudah menyiapkan pengadilan istimewa untuk mengusut pejabat-pejabat dalam pemerintahan Benazir yang dituduh korupsi. Sasaran akhirnya adalah kesaksian dari para pejabat itu, bahwa Asif Zardari menyalahgunakan kekuasaan istrinya. Bila memang nanti terbukti, sulit bagi Benazir tampil dalam pemilu yang direncanakan diadakan 24 Oktober nanti. Dekat setelah menjabat perdana menteri sementara, Jatoi menyatakan, "Siapa pun yang terbukti terlibat korupsi tak sah mencalonkan diri dalam pemilu." Bila memang Zardari sampai diajukan ke pengadilan, ini tentu merugikan citra Benazir dan partainya, setidaknya dalam pemilu mendatang. Selain itu, popularitas Benazir memang merosot tajam. Ini terutama sehubungan dengan nama baik suaminya. "Dia lebih berpengaruh sebelum bersuami daripada sekarang," kata Ibrahim Khan, seorang wartawan di Islamabad. Suara-suara memang santer menyebut-nyebut Zardari, pengusaha real estate dan lain-lain, sering menerima 10-% komisi. Juga dari para ulama, pemimpin wanita di negeri Islam itu banyak ditentang. "Ia dikuasai oleh suami dan ayah mertuanya," kata Ghafur Ahmed, tokoh Partai Jamiat-I-Islami. Ahmed hendak mengatakan, karena itulah ia tak mengambil tindakan terhadap suaminya. Pun Benazir dituduh oleh para ulama menghalang-halangi diberlakukannya perubahan dalam undang-undang Pakistan yang memungkinkan syariat Islam berkedudukan lebih tinggi. Sebenarnya ini bukan salah Benazir. Presiden Ghulam Ishaq Khan yang membubarkan rencana perubahan itu, setelah lolos dari senat dan hampir masuk ke parlemen. Tapi memang, kerusuhan di Provinsi Sind -- provinsi tempat tinggal Benazir -- antara kaum minoritas pendatang Mohajir dan warga setempat, seperti dibiarkan saja. Dalam Mei dan Juni lalu saja ratusan korban jatuh, tapi Benazir tak menyetujui dikirimkannya tentara lebih kuat. Tentara jadi jengkel. Tapi kini pun, setelah Benazir tak berkuasa, ternyata tentara tak bisa cepat menguasai keadaan. Rabu pekan lalu, di Karachi, tiba-tiba saja seorang Reed, 57 tahun, kepala sekolah dasar swasta di Beirut, yang Mei lalu dibebaskan setelah selama 44 bulan disandera di Libanon. Menurut Reed, bagi orang Arab, sandera dipakai untuk memaksa "pengetua" musuh agar mau berunding. Tak ada faktor tak terhormat dalam kasus seperti itu di dunia Arab," kata Reed. "Karena itu pula, saya tak setuju dengan sikap pemerintah Amerika yang selalu tak sudi berunding dengan para penahan sandera," kata Reed. ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo