Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA tak sabar melihat pameran kekuatan dalam krisis Teluk. Sebaiknya serang saja Irak, katanya, pada Amerika. Itulah Ariel Sharon, tokoh garis keras Israel yang menghalalkan cara demi tujuan. Maka kembalinya Sharon dalam pemerintahan baru Israel membuat cemas orang Arab, juga sebagian warga Israel sendiri: menteri perumahan ini juga duduk dalam Komite Pertahanan yang lebih menentukan kebijaksanaan militer. Israel tampaknya akan lebih banyak bicara dengan senjata. Joel Brinkley, kepala biro New York Time Magazine di Yerusalem mengikuti turne Sharon ke Gaza beberapa lama lalu. Berikut cuplikan laporannya. DI Hotel Gush Katif, di kawasan pemukiman Yahudi tertua di Jalur Gaza, Ariel Sharon tampak gembira. Ia letakkan sendok makannya, lalu ia senderkan tubuhnya di punggung kursi sambil ia rentanglebarkan kedua lengannya. Kemudian ia lepaskan pandangannya ke luar, ke pantai Laut Tengah. "Pandanglah wilayah cantik ini," kata bekas menteri pertahanan yang dalam kabinet baru Israel, dibentuk Juni lalu, duduk di kursi menteri perumahan ini. "Pohon palem, pasir putih, Laut Tengah yang biru, dan secangkir sop panas. Begitu tenang. Begitu damai," kata mayor jenderal purnawirawan ini, yang duduk kembalinya dalam kabinet Israel mencemaskan orang-orang Arab, juga kelompok moderat Israel. Damai? Ia seolah tak melihat kawat berduri yang direntangkan sampai ke garis pantai untuk menghalangi orang Palestina masuk ke kawasan hotel. Dan sebenarnya hotel itu sudah ditutup -- jarang sekali tamu menginap, karena takut. Intifadah -- perlawanan dengan batu oleh orang-orang Palestina -- itulah yang membuat hotel jadi sepi. Sementara itu, setengah lusin pengawal pribadi, yang menenteng senjata otomatis, yang duduk mengelilingi sang jenderal, asyik menyeruput sop panas. Inilah orang-orang yang membuat Sharon, si "singa padang pasir" dalam pertempuran Israel-Arab 6 hari (1967) dan perang Yom Kippur (1973), merasa damai dan aman. Bukan cuma merasa aman di dalam restoran. Ketika Ariek -- panggilan akrab Sharon -- menjelaskan mengapa Israel tak akan menyerahkan Gaza, wilayah yang dirampas Israel dari Mesir dalam perang 1967, kepada sekelompok orang Palestina, di sebuah tempat di pinggir jalan, dengan cepat para pengawal itu menggertak dan mengarahkan moncong senjata pada dua petani Palestina. Soalnya, dua orang yang bengong dan setengah tidak percaya mendengarkan Sharon itu tiba-tiba, mestinya tak sengaja, melangkah mendekati si penceramah. Senja, ketika Sharon pulang ke rumah pertaniannya di Israel, dua tentara nangkring di menara jaga, di muka pintu depan. Nanti, kata Ariek, bila ia bermalam di apartemennya yang cantik, di sektor Muslim kota tua Yerusalem -- apartemen yang ia beli, untuk menunjukkan bahwa kaum Yahudi bisa menetap di kawasan mana pun yang disukainya -- sekelompok pengawal pribadi berpatroli di gang-gang di bawah jendela ruang tidur Sharon yang tahan peluru. Jika Sharon butuh pertolongan, ia tinggal meniup peluit, yang ditinggalkan petugas keamanan di samping tempat tidurnya. Tokoh garis keras berusia 62 tahun ini memang musuh nomor satu orang Palestina dan mereka yang mencintai damai. Pahlawan dua perang ini bersikeras bahwa Israel tak akan aman jika menyerahkan, seinci sekalipun, kawasan pendudukan. Mereka tetap tak sudi berbagi dengan warga Palestina -- penduduk asli wilayah yang sekarang disebut negara Israel -- kecuali secuil kawasan di garis belakang (berupa kamp-kamp pengungsi kumuh). Yang ditakutkan orang-orang yang cinta damai adalah Sharon, dalam kedudukannya sekarang, siap menanamkan pengaruhnya. Tugas dan wewenangnya dalam pemerintahan sayap kanan PM Yitzhak Shamir -- sebagai menteri perumahan dengan tugas tambahan mengatur pemukiman imigran Yahudi Uni Soviet (yang belakangan ini mengalir deras) dan membangun perumahan untuk orang Israel di kawasan pendudukan -- memang memberinya kesempatan. Soalnya, dua tugas tambahan itu hal yang rawan, yang bisa jadi kartu truf buat Sharon dalam percaturan politik di Israel. Tapi, bagi yang menyimak gerak dunia politik di Israel, bukan itu benar yang membuat Sharon kini menakutkan. Itu cuma kekuatan Sharon yang tampak. Justru perannya di balik layar, itulah yang sangat menentukan. Peran yang menyebabkan bekas perwira intelijen ini dijuluki "perdana menteri bayangan". Konon, ia punya andil besar dalam sejumlah keputusan penting pemerintah. Kini, di saat ketegangan di Timur Tengah meningkat dan Israel makin terbenam dalam konflik dengan sekutu utamanya, Amerika, tak sulit dilihat bahwa tangan Sharon berada di balik layar. Juni lalu, ketika Washington dan Moskow meminta jaminan Israel agar para imigran baru tak dimukimkan di kawasan pendudukan, Sharon menampiknya. Kata dia, bangsa Yahudi punya hak untuk tinggal di mana pun yang dimauinya. Maka ditempatkanlah para imigran Soviet di Tepi Barat, dan tetap memperoleh tunjangan perumahan sebagaimana bila mereka pindah ke Tel Aviv. Sharon pun tak menyembunyikan ambisinya untuk juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan di bidang militer. "Saya rasa, saya tahu banyak bagaimana cara mengontrol teror," katanya, antara serius dan bercanda. Dan tampaknya ia memang "perdana menteri bayangan". Belum sebulan kabinet baru Yitzhak Shamir bekerja, akhir Juni lalu, Sharon sudah duduk dalam Komisi Kementerian Pertahanan -- lembaga yang lebih menentukan kebijaksanaan militer Israel daripada departemen pertahanannya. Inilah awal kembalinya Sharon terlibat dalam masalah keamanan sejak ia mengundurkan diri dari pos menteri pertahanan pada 1983, karena didakwa bertanggung jawab pecahnya perang di Libanon kala itu. Dan inilah awal kecemasan mereka yang tak ingin melihat asap mesiu meliputi Timur Tengah lagi. Dalam krisis Teluk sekarang, kecemasan bahwa Israel -- yang sudah diultimatum oleh Amerika agar tak ikut campur -- lalu tiba-tiba menerjunkan diri dan menimbulkan perang besar, memang terbuka. Sebab "singa padang pasir" ini memang memegang kartu truf. Bila kehendaknya mendapat rintangan, ia tak akan segan-segan menarik dukungan para pengikutnya di Knesset (parlemen Israel). Awal tahun ini, ia membuktikan ampuhnya kartunya. Waktu itu, ia mengundurkan diri sebagai menteri perdagangan dan menyebabkan Partai Likud pecah. Dan akhirnya pemerintah koalisi Likud-Buruh ambruk. Itulah yang menyebabkan ia optimistis bisa sampai ke pucuk pimpinan kabinet. Dan bisa jadi, Sharon tak harus menunggu lama agar impiannya terwujud. PM Shamir, kini 75 tahun, sudah dekat masa pensiunnya. Pemilihan ketua baru Partai Likud bisa terjadi kapan saja dalam tempo dua tahun ini. Sesudah itu, kata Sharon sendiri, "Saya berniat mencalonkan diri untuk kursi perdana menteri." Sebenarnya, sebagai politikus, Sharon sangat fleksibel. Tapi, tokoh bersorot mata dingin dan tajam ini sangat kaku bila yang dipersoalkan menyangkut pandangan nasionalisme militernya. Untuk hal ini, ia sangat sulit dibengkokkan. Maka hal-hal yang ia kemukakan selama bersafari di Jalur Gaza, April lalu, besar kemungkinan akan terwujud bila ia terpilih menjadi pemimpin Israel. Sehari bersama Sharon di wilayah pendudukan, perjalanan dari satu permukiman Yahudi ke permukiman Yahudi yang lain, rasanya tak pernah mendengar ia menyebut-nyebut nasib 700.000 bangsa Arab yang sangat memprihatinkan di sekitar 3.500 Yahudi yang makmur. Hanya satu kalimat Sharon menyinggung mereka dengan nada benci: "Ada mayoritas bisu di sini, yang menikmati kehadiran Israel, karena mereka tahu, nasib buruk datang jika di bawah pemerintahan Arab." Jauh di selatan, di permukiman Rafiah Yam, Sharon tegak di balkon sebuah rumah yang belum rampung. Melindungi mata dari terik matahari, tokoh bertubuh pendek kekar ini menunjuk pada bendera-bendera Mesir yang berkibar di selatan di seberang perbatasan, cuma beberapa ratus meter di depannya. Sebentar ia berpaling ke kamp-kamp pengungsi Palestina di tenggara. Lalu, sambil balik menoleh ke Rafiah Yam, katanya, "Pemukiman-pemukiman membantu perdamaian. Tiap pemukiman merupakan bagian dari suatu rencana. Selalu ada gagasan di belakangnya." Gagasan itu yakni menempatkan keluarga-keluarga Yahudi yang tangguh -- kalau tidak bisa disebut ortodoks -- di garis depan yang paling rawan konflik. Yakni lokasi di mana para orang tua senantiasa menenteng senjata otomatis, jika ke luar halaman rumah. Orang-orang ini, kata Sharon, memiliki "senjata-senjata antitank paling mutakhir," di ruang bawah tanah rumah mereka dan di balai-balai masyarakat. Bila pecah perang, mereka bertugas menghalau musuh, sampai tentara sebenarnya datang. Tapi Sharon lebih menyukai peranan mereka di masa damai: untuk menyumbangkan investasi emosi dan hal yang nyata pada keseluruhan bangsa di Gaza dan wilayah pendudukan lainnya. "Anak-anak, itulah keamanan," Sharon menjelaskan, sambil melambaikan tangannya ke arah sejumlah gerbong trailer yang membentuk lingkaran, bagaikan kereta-kereta keluarga koboi yang istirahat dalam perjalanan di zaman wildwest. Yang membedakannya, lingkaran trailer itu dikelilingi kawat berduri dan menara penjaga. Beberapa keluarga Yahudi tinggal di sana, menunggu pembangunan rumah mereka rampung. Orang-orang ini sangat religius, dalam arti tiap keluarga memiliki anak lebih dari enam orang. "Anak-anak menciptakan motivasi bagi para orangtua dan bagi bangsa untuk mempertahankan daerah ini," lanjut Sharon, ayah dua anak lelaki ini. "Orang tak mau mempertahankan daerah, di mana mereka tak punya tanggung jawab." Inilah strategi seorang menteri perumahan di negeri yang, setidaknya, merasa selalu diancam musuh. Inilah strategi seorang bekas komandan sekolah infanteri yang punya kesempatan untuk menjadi perdana menteri. Kesempatan itu memang ada buktinya. Lihat saja, Sharon meraup 42% suara, saat bersaing dalam pemilihan ketua Partai Likud pada 1984, hanya setahun setelah ia dipaksa mengundurkan diri dari kursi menteri pertahanan. Artinya, namanya memang populer di sebagian besar masyarakat Israel. Sebagian bangsa Israel memang punya pandangan sejajar dengan pandangan Sharon yang keras itu. Misalnya, di pojok sebuah pasar Desa Sde Trumot, di Israel Utara, seorang pedagang daging mengaku pengikut pandangan Sharon. "Ia dapat menciptakan perdamaian dengan bangsa Arab, seperti yang telah dilakukan Menachem Begin. Cuma orang-orang sekuat dia yang mampu menciptakan damai," kata lelaki 50 tahun itu, sambil memainkan mesin hitungnya. Zalman Shoval, anggota parlemen dari Partai Likud, calon potensial sebagai duta besar Israel di Washington, bukan sekutu Sharon. Tapi ia berani meramalkan, "bila negara dalam kondisi krisis dan pemilihan diadakan ketika suasana sedang emosional, Sharon kemungkinan besar menang." Sharon cuma tersenyum dan biji matanya yang coklat muda tampak berbinar, saat ia mendengar analisa semacam itu. "Saya harap waktunya bakal datang, ketika kehidupan berjalan normal di sini," katanya, sembari duduk santai di apartemen di kota tua Yerusalem. "Tapi, seingat saya, dalam 50 tahun terakhir ini, negeri ini tak pernah merasakan suasana normal dalam satu hari pun." Panggung politik Israel, tulis Sharon dalam otobiografi terbarunya, Wanor, semacam roda besar yang terus bergerak. "Satu saat Anda berada di atas, kali lain di bawah. Tapi roda itu terus bergerak," tulisnya. Banyak yang berpendapat, pada roda itu Sharon sekarang ini berada di sekitar pukul 10. Walau musuh-musuhnya menganggap Sharon meriam berbahaya, dalam suasana yang tepat, sikap ekstremnya justru dibutuhkan. Banyak orang Israel percaya, cuma pemimpin paling keras, yang tak mudah ditekuk, yang mampu menciptakan perdamaian dengan pihak Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo