Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, yang dihadapi tentara Israel di Tepi Barat dan Gaza bukan lagi sel-sel gerilyawan seperti pada 1971. Melainkan anak-anak Palestina, yang menimpuk tentara dengan batu. Itulah intifadah, yang muncul di jalan-jalan di wilayah pendudukan sejak Desember 1987, yang sudah menewaskan ratusan orang -- termasuk tentara Israel. Untuk memadamkan perlawanan dengan batu ini Sharon mengaku punya resep ampuh. Yakni, bukan mempidana para pelaku, yang kebanyakan terdiri dari remaja 14 atau 15 tahun, melainkan menghukum kakak atau orangtuanya. Di Gaza dan Tepi Barat diumumkan, jika seorang anak tertangkap basah menimpukkan batu pada tentara, maka, "Ayah atau abang anak itu akan dibekali sekendi air minum, sekerat roti, sejumlah uang dinar Yordania, sebuah penutup kepala, dan setangkai bendera putih," kata Sharon. "Lalu kami mengangkutnya ke perbatasan Yordania, dan menyuruh mereka menyeberangi perbatasan." "Sudah sekitar 30 orangtua dideportasi dalam dua rombongan terpisah," tutur Sharon dengan suara sombong. "Dan nyatanya penimpukan batu berhenti." Apakah resep Sharon itu memang manjur seterusnya atau tidak, yang pasti ia memang punya pendukung di Partai Likud, dan cukup kuat untuk menggoyang ketua Likud sekarang, Yitzhak Shamir. Februari lalu Sharon, selaku Ketua Komite Sentral Partai, mengundang rapat 3.000 anggota Komite. Inilah taktik Sharon untuk masuk dalam pemerintahan. Soalnya, ia berpendapat politik Shamir pada akhirnya membuka kesempatan lahirnya negara Palestina di Tepi Barat. Maka, Shamir harus dilawan. Pertemuan ini adalah langkah pertama Sharon, untuk merebut kursi perdana menteri. Begitu pertemuan dibuka, langsung Sharon membuat kejutan. Ia mengumumkan pengunduran dirinya dari kabinet. Langkah ini berbahaya. Dengan demikian kabinet koalisi Partai Likud-Buruh terancam bubar. Maka, buru-buru Shamir tampil ke mimbar dan berpidato singkat Shamir mencoba mencari dukungan, agar Sharon tak mendapatkan banyak pengikut. Inilah cara dia menyelamatkan kepercayaan yang diberikan oleh Partai kepadanya. Siapa mendukung dia, harap tunjuk tangan! Satu per satu yang hadir mulai mengangkat tangannya, mendukung Shamir. Tapi sang "Singa Padang Pasir" dengan cepat menyambar mikrofon dan menggebrak meja sambil berteriak, "Siapa yang ingin menghapuskan terorisme? Tunjuk tangan! Siapa yang tak ingin adanya negara Palestina? Tunjuk tangan! Siapa yang mau melindungi Yerusalem? Tunjuk tangan!" Pertemuan pun berubah jadi kacau. Mulai terdengar teriakan teriakan mendukung Ariek Sharon. "Ariek! Ariek! Ariek!" Dan lihatlah, hampir semua orang mengangkat tangannya pertanda berdiri di belakang Sharon. Hanya beberapa minggu setelah pertemuan itu, pemerintah Shamir tumbang. "Saya memang merancang menjatuhkan kabinet," tutur Sharon kemudian. Ia juga tak menyangkal, dalam pembetukan kabinet baru yang tetap dipimpin oleh Yitzhak Shamir -- setelah Partai Buruh gagal membentuk kabinet karena partai keagamaan mencabut dukungannya -- ia punya andil besar. Tapi Ariel Sharon, bekas menteri pertahanan itu, tetap hati-hati melihat sekelilingnya. Ia tahu, selain memiliki ratusan ribu pendukung dan pengikut, banyak juga orang Israel yang membencinya. "Sharon sang pembunuh," tulis serangkaian pamflet yang ditempel di sejumlah pohon sepanjang jalan menuju rumah Sharon, di sebelah timur Gaza, tak lama setelah ia mengundurkan diri, pada 1983. "Mereka kira saya seorang fasis," katanya. "Ada sejumlah artikel bohong tentang diri saya. Tentu saja mendengar hal-hal semacam ini tak enak. Tak mudah tinggal di dalam masyarakat, dan sementara itu anak-anak Anda juga hidup di dalamnya. Tapi penting bagi orang-orang ini mengetahui masa lalu." Dan memang para penentang Sharon memahami dengan baik masa lalu. Karena itu, mereka mengerti benar jika Sharon menjadi pemimpin negara, akan muncul konflik. Para pendukungnya yang setia dan para penentangnya akan menjadikan Israel terpecah-pecah dalam garis-garis yang lebih tajam. Dan hal yang merugikan seperti itu tak cuma datang dari dalam negeri. Amerika Serikat, negeri pendukung utama Israel, punya sikap tak terduga. Paman Sam bisa tak konsisten dalam mendukung negara lain. Dan pada kenyataannya, prinsip-prinsip Sharon sering tak ditenggang oleh pemerintahan Presiden Bush. Bukan hanya mengenai manuver-manuver militernya, tapi juga kebijaksanaan Sharon tentang pemukiman imigran Yahudi di wilayah pendudukan, yang mendapat kecaman keras dari Amerika. Benar, sejumlah Yahudi Amerika mengagumi Sharon. Tapi di antara mereka yang berpandangan liberal dan moderat -- dan mereka merupakan mayoritas -- memandang Sharon sebagai tokoh yang mengerikan. Ketakutan mereka bila Sharon dengan mulus naik ke kursi pimpinan tertinggi, sebagai perdana menteri, semakin besar. Dan ketakutan itu memang beralasan. Sudah bukan rahasia, Sharon sudah punya rencana yang hendak ia laksanakan begitu ia memegang kekuasaan. Antara lain "menyingkirkan" Yasser Arafat dengan cara menculik dan mengadilinya di Israel. Atau, bila cara pertama itu sulit dilaksanakan, Sharon punya alternatif, yakni mengirimkan pasukan khusus untuk membunuh ketua PLO itu. "Ada sejumlah orang yang tak bisa ditenggang oleh masyarakat bebas yang demokratis. Orang-orang itu harus disingkirkan," kata Sharon. Bagi Sharon, menculik Arafat sama sahnya sebagaimana Amerika menyerbu dan menawan Jenderal Noriega dari Panama. Juga sama nilainya dengan upaya Presiden Ronald Reagan, dulu, membunuh pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, dengan mengirimkan pesawat pembom. (Dan Qadhafi selamat, tapi sejumlah orang Libya, termasuk anak angkat sang Muammar, tewas.) Selain itu, ada lagi rencana Sharon untuk mengadu domba orang-orang Palestina. Sharon ingin mempersenjatai bangsa Palestina yang tak menyukai PLO. Rencana tak terpuji itu ia bungkus dengan alasan sok melindungi mereka yang terancam. "Kita harus memberi kesempatan pada penduduk untuk melindungi diri sendiri. Mereka yang perlu diberi kesempatan itu misalnya orang-orang Arab yang siap membela dirinya terhadap pembunuh-pembunuh PLO." Teror yang direncanakan Sharon terhadap orang Arab Palestina tak cuma itu. Ia pun bercita-cita tinggal di sektor muslim di kota tua Yerusalem, bila nanti terpilih menjadi perdana menteri. "Jika saya sudah jadi perdana menteri, dan dapat rumah dari pemerintah, saya ingin tinggal di situ," kata Sharon dengan senyum lebar, sembari duduk santai di apartemennya yang dijaga. Bisa dibayangkan, bagaimana nanti kawasan permukiman muslim itu sehari-harinya akan begitu tegang. Akan ada saja alasan Pemerintah Israel (baca: pemerintahan Sharon) buat mengganggu mereka. Bagaimana jika rencana-rencananya itu membuat marah orang Amerika, dan Paman Sam mengancam mencabut dana US$ 3 milyar per tahun untuk Israel? Sharon cuma angkat bahu. Lalu katanya, Israel sudah harus mulai mengurangi ketergantungannya pada Amerika Serikat untuk hal-hal yang nonmiliter. Lalu bagaimana kalau ia membuat berang orang-orang Arab, yang frustrasi karena perdamaian tak kunjung tercipta? Sekali lagi Sharon mengangkat bahu. "Jika orang Arab menolak, kami akan menunggu," katanya. Tak jelas apa yang ia maksudkan. Yang pasti, sang jenderal memang tak begitu peduli dengan nasib bangsa Arab Palestina. Akhirnya, kata orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan ini, "Butuh waktu panjang sebelum bangsa Yahudi dapat menggantungkan pedang mereka di dinding." Adakah ia melihat krisis Teluk sekarang ini merupakan kesempatan buat Sharon untuk melakukan sesuatu hingga orang Israel bisa menggantungkan pedang di dinding? Itulah tujuannya ketika ia berkaok-kaok agar pasukan Amerika segera saja menggebuk Irak? Adakah Sharon pun memperhitungkan, bila perang pecah di Timur Tengah kini, Israel bisa saja kehilangan pedang untuk selama-lamanya. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo