Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengais Data, Mencari Angka

Para peneliti menciptakan pemodelan untuk menaksir kasus positif corona yang terjadi di Indonesia. Diperkirakan terjadi sejak pekan kedua Februari.

2 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Data dan simulasi Covid-19 dipandang dari Pendekatan model Matematika oleh Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB dan KK Matematika Industri dan Keuangan FMIPA ITB. TEMPO/ Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah kampus memperkirakan kasus Covid-19 lebih tinggi dari angka yang dirilis pemerintah.

  • Para peneliti dari ITB dan UI sulit mencari data dan hanya bersumber dari keterangan pemerintah.

  • Riset para peneliti di kampus dipakai sebagai rujukan pengambilan keputusan oleh pemerintah.

DUA pekan setelah kasus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 terdeteksi di Indonesia, Hendra Gunawan “menyentil” para koleganya di Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung. Guru besar matematika ITB itu mempertanyakan kenapa mereka tak kunjung menerbitkan kajian akademis terkait dengan wabah corona. “Kok, kita tak ada publikasi sama sekali mengenai pandemi ini,” kata peneliti di Pusat Pemodelan ITB, Nuning Nuraini, menirukan ucapan Hendra, pada Selasa, 28 April lalu.

Ketika Hendra bertanya tentang riset pagebluk corona itu, Nuning dan tim sebenarnya sedang menyiapkan makalah ilmiah mengenai Covid-19. Mereka berencana memaparkan prediksi kenaikan kasus corona di Indonesia dalam jurnal akademik. Tapi menulis riset di jurnal butuh waktu panjang. Hendra berharap Nuning dan timnya segera merilis hasil riset.

Nuning dan para peneliti di Pusat Pemodelan Matematika akhirnya membuat pemodelan Covid-19 dengan versi yang lebih sederhana. Mereka menggunakan formula yang dikembangkan F.J. Richards, ilmuwan Imperial College London, untuk memperkirakan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia. Metode F.J. Richards dipilih karena terbukti akurat memprediksi fase endemis sindrom pernapasan akut parah atau SARS di Hong Kong pada 2003. “Di hampir semua negara terinfeksi, data terlapor pasti lebih rendah ketimbang kasus corona yang riil di lapangan,” ujar pakar matematika epidemiologi itu.

Sejak memulai riset, Nuning mengaku kesulitan memperoleh data kasus corona. Satu-satunya statistik yang tersedia dan bisa diolah tim ITB hanyalah angka pasien yang diumumkan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto. “Kami akhirnya memakai data pemerintah dengan asumsi angka-angka itu benar,” tutur Nuning.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nuning Nuraini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengambil data resmi pemerintah pada 2-7 Maret 2020, Nuning merampungkan makalah pemodelan dalam waktu dua hari. Ia meminta bantuan Hendra Gunawan memeriksa penelitian yang hasilnya dipublikasikan pada 15 Maret lalu itu. Nuning dan timnya memprediksi ada 8.000 kasus positif corona di Indonesia pada pertengahan April 2020. Penelitian itu menimbulkan kehebohan. Saat hasil riset dipublikasikan, angka positif baru mencapai 117 kasus. “Tak menyangka riset sederhana itu menjadi viral,” ucap Nuning.

Perhitungan Nuning hampir tepat. Pada pekan ketiga April, sedikitnya ada 7.000 kasus positif. Pada 24 April, angka kasus menembus 8.200. Seiring dengan penambahan data jumlah pasien yang dirilis resmi oleh pemerintah, Nuning memperbarui risetnya. Dengan data sepanjang 2-20 Maret, dia memperkirakan ada 60 ribu kasus positif corona pada pengujung Mei. Saat puncak wabah itu, penambahan kasus positif bisa mencapai 2.000 pasien per hari.

Belajar dari minimnya data di pemerintah pusat, Nuning dan koleganya meminta akses data yang komprehensif ketika pemerintah Jawa Barat mengajak berkolaborasi. Dari pemerintah Jawa Barat, tim ITB tak hanya memperoleh angka kasus positif, tapi juga peta sebaran pasien di setiap kota dan kabupaten. Tim penanganan Covid-19 Jawa Barat juga menyediakan statistik rapid test yang sudah diselenggarakan.

Dengan kelengkapan data itu, tim ITB memberikan rekomendasi ke Gedung Sate—kantor Gubernur Jawa Barat—ihwal pelaksanaan tes massal pada rapat 24 April lalu. Mereka menyarankan pemerintah daerah yang angka kasus positifnya tinggi, seperti Depok, Bandung, dan Kabupaten Cimahi, memperbanyak tes cepat. Dalam perhitungan Nuning, daerah tersebut memerlukan 40-70 ribu tes cepat per hari agar bisa mengetahui tingkat penularan yang sebenarnya.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengakui sejumlah kebijakan yang ia ambil selama pandemi Covid-19 selalu disertai saran dari para pakar di kampus. Menurut dia, pemerintah Jawa Barat melibatkan tim dari ITB dan Institut Pertanian Bogor untuk menangani wabah virus corona. “Pembatasan sosial berskala besar di daerah kami termasuk salah satu rekomendasi dari para peneliti di kampus,” ujar Ridwan.

Sejumlah akademikus Universitas Indonesia juga membuat pemodelan Covid-19. Dipimpin pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Pandu Riono, tim UI membuat prediksi kasus virus corona jauh sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama dan kedua pada 2 Maret lalu. “Kami curiga virus sudah beredar di Indonesia pada pertengahan Januari sampai Februari,” katanya.

Seperti yang dialami Nuning dan tim ITB, Pandu kesulitan memperoleh data awal. Tim UI akhirnya memutuskan mencari statistik alternatif. Mereka berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, yang sudah memantau penduduk yang terindikasi terjangkit Covid-19. Pada pekan kedua Januari, tercatat sepuluh pasien dalam pengawasan dan dua orang dalam pemantauan.

Pandu Riono

Menggunakan rumus pemodelan yang diperkenalkan Neil Ferguson, profesor di Imperial College London, hasil riset menunjukkan pasien positif sudah ada pada pekan kedua Februari. Menurut Pandu, jumlahnya terus melonjak hingga lebih dari 3.000 pasien pada awal Maret—sesaat sebelum kasus pertama diungkap. Pandu dan timnya memperkirakan ada lebih dari 2 juta kasus positif Covid-19 selang tiga bulan dari terungkapnya kasus pertama. Ledakan angka itu berpotensi terjadi jika pemerintah tak mengintervensi.

Berkolaborasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pandu dan timnya juga membandingkan angka kasus positif dengan fasilitas dan alat kesehatan yang tersedia. Dari Bappenas, tim UI mendapat pasokan data jumlah ruang isolasi, ranjang perawatan, mesin bantu pernapasan, dan tabung oksigen. Hasilnya, ketersediaan ranjang di semua rumah sakit di Indonesia tak akan cukup menampung pasien Covid-19 dengan asumsi pemerintah tak turun tangan sama sekali.

Menurut Pandu, dengan intervensi ketat sekalipun, kapasitas ideal tempat tidur yang ada di 132 rumah sakit rujukan corona—sekitar 20 ribu ranjang—tak mampu menangani ledakan pasien yang diperkirakan mencapai 25 ribu orang. Pemetaan ini, Pandu menjelaskan, sangat penting dalam perumusan kebijakan pemerintah. “Kalau pemerintah tak bisa mencegah penularan, setidaknya mereka bisa mencegah kematian dengan mengetahui kesiapan sarana kesehatan yang dimiliki,” ucap Pandu.

Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Pungkas Bahjuri Ali mengungkapkan, Pandu dan tim UI sudah memaparkan risetnya dalam rapat dengan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada 27 Maret lalu. Menurut Pungkas, kajian Pandu merupakan riset yang penting untuk melihat kesiapan infrastruktur kesehatan menghadapi pandemi. “Dengan adanya riset dari tim UI, pemerintah bisa segera menyiagakan dan menambah alat kesehatan untuk mengantisipasi wabah besar seperti Covid-19 ini,” tutur Pungkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus