Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan politik selalu berhubungan dengan sains.
Kampus bisa terlibat dalam membuat solusi menangani pandemi.
Kebijakan berbasis saintifik adalah bagian dari penanganan corona.
PANDEMI virus corona (Covid-19) membuat hampir semua negara kalang-kabut menghadapinya. Persoalan menjadi sangat serius karena yang dihadapi adalah ketidakpastian baru. Pandemi Covid-19 menjadi disrupsi sehingga kita perlu mengenali, mengatasi, dan mencegahnya agar ketidakpastian ini segera berakhir. Di sini sains semestinya menjadi “senjata” untuk membongkar ketidakpastian tersebut. Bagaimana sains dan masyarakat sains bisa berperan penting di era ketidakpastian ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan: Antara Sains dan Politik
Dalam suasana krisis seperti ini, yang selalu ditunggu publik adalah kebijakan pemerintah sebagai intervensi negara. Kebijakan dibuat tidak dalam ruang hampa, tapi dalam ruang yang tidak lepas dari konteks sejarah, kebudayaan, struktur sosial, ekonomi, hukum, dan kontestasi kepentingan. Tugas politik adalah meramu berbagai unsur dan ragam kepentingan tersebut agar tujuan bernegara tercapai. Karena itu, kebijakan berada dalam ranah politik. Bagaimana sains bisa menjadi landasan pokok sebuah kebijakan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mempertimbangkan bobot sains dan bobot politik dalam kebijakan publik, paling tidak kita mengenal tiga tipe kebijakan. Tipe pertama, kebijakan berbasis “politik maksimal-sains minimal”, yaitu suatu kebijakan yang lebih mengedepankan pertimbangan politik daripada sains. Artinya, kebijakan tidak didasari oleh pertimbangan saintifik yang kuat, tapi pada afirmasi sebagian golongan masyarakat dan akomodasi kepentingan para pihak. Isu keadilan, pemerataan, atau stabilitas sosial-politik menjadi bahan utama pertimbangan dalam tipe kebijakan ini.
Tipe kedua, kebijakan berbasis “politik maksimal-sains maksimal”, yang berarti kebijakan merupakan hibridisasi pertimbangan politik dan sains. Di Amerika Serikat, penentuan kuota penangkapan ikan didasarkan pada kombinasi pertimbangan sains dan kepentingan para pengusaha perikanan. Awalnya pengusaha mengusulkan jumlah ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch) adalah X, dan para saintis dengan berbasis pada metode pendugaan stok ikan memberikan rekomendasi Y.
Akhirnya pemerintah memutuskan angka Z yang merupakan resultante dari X dan Y. Forsyth (2002) dalam buku Critical Political Ecology juga mempertajam postulatnya: bila kebijakan pengelolaan sumber daya alam hanya berbasis sains, yang terjadi adalah ketidakadilan; sementara bila hanya berbasis politik (akomodasi kepentingan), yang terjadi adalah ketidakakuratan. Forsyth mengingatkan, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, sains dan politik sulit dipisahkan karena yang hendak diwujudkan adalah keadilan dan keakuratan.
Tipe ketiga, kebijakan berbasis “politik minimal-sains maksimal”, yaitu suatu tipe kebijakan yang didominasi sains dengan sejenak mengesampingkan pertimbangan politik. Umumnya kebijakan ini muncul dalam suasana darurat penuh ketidakpastian yang mengancam keselamatan manusia. Pandemi Covid-19 adalah situasi yang cocok dengan prasyarat jenis kebijakan ketiga ini. Saat ini yang terjadi adalah ketidakpastian dan sains semestinya menjadi tumpuan dalam kebijakan intervensi menuju kepastian.
Penularan virus hanya bisa dideteksi dan dijelaskan secara saintifik, bukan oleh pertimbangan politik. Kapan pandemi Covid-19 mencapai puncak dan berakhir tidak bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan para aktor politik, tapi oleh sains. Artinya, sains sudah waktunya ditempatkan sebagai landasan utama intervensi agar akurasi terjaga. Dalam suasana darurat dan penuh ketidakpastian ini, akurasi menjadi sangat vital karena menyangkut keselamatan. Karena itu, situasi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi sains, dan kepercayaan pemerintah kepada sains akan sangat menentukan kualitas kebijakan yang diambil.
Peran Sains
Setiap bencana baru umumnya melahirkan pengetahuan dan inovasi baru. Momentum ini semestinya sekaligus makin menyadarkan masyarakat sains betapa riset harus membumi dan berorientasi solusi. Ini yang disebut sebagai riset transformatif, yakni riset yang bisa dirasakan hasilnya untuk mempercepat proses perubahan sosial yang diharapkan. Karena itu, dalam merespons disrupsi Covid-19, ada sejumlah agenda yang patut dipertimbangkan.
Pertama, era ketidakpastian menuntut kekuatan kolaborasi antar-ilmuwan sebagai modal bagi munculnya invensi dan inovasi baru. Karena itu, konsorsium riset Covid-19 yang bersifat interdisiplin dan transdisiplin harus segera dikembangkan baik level global, nasional, maupun lokal. Karena pandemi Covid-19 adalah masalah global, mau tidak mau konsorsium global menjadi penting.
Kolaborasi memungkinkan pertukaran pengetahuan para ilmuwan lintas negara, dan ini akan memberikan sumbangan penting bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan baru. Pergerakan kolaborasi ilmuwan global ini bisa didorong dari asosiasi-asosiasi ilmuwan dunia. Beberapa organisasi seperti Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) bisa menjadi inisiator. Setiap perguruan tinggi pun memiliki jaringan global tersendiri yang harus dikapitalisasi.
Kolaborasi juga mesti dikembangkan pada level nasional dan lokal. Di sini kolaborasi memerlukan konduktor yang memimpin orkestrasi riset para ilmuwan Indonesia, dan perlu pembagian tugas antarlembaga riset dan ragam perguruan tinggi sesuai dengan kompetensinya agar riset lebih terfokus dan tidak tumpang-tindih. Dalam skala lebih kecil, kolaborasi di tingkat provinsi sangat diperlukan untuk memecahkan masalah lokal. Bila setiap provinsi didampingi perguruan tinggi lokal tentu akan berdampak pada peningkatan kualitas kebijakan daerah dalam mengatasi Covid-19.
Kedua, perlu sebuah peta jalan riset untuk menghasilkan pengetahuan baru ataupun inovasi unggul, baik yang bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang. Dalam jangka pendek, riset-riset diperlukan untuk menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru buat mengenali karakteristik virus, memprediksi kapan pandemi akan mencapai puncak dan kapan akan berakhir, serta jenis intervensi apa saja yang diperlukan untuk mempercepat berakhirnya pandemi dan antisipasi ke depan. Termasuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, seperti hubungan manusia dan hewan dalam penularan virus corona sebagaimana muncul akhir-akhir ini.
Sementara itu, dalam hal inovasi, kini mulai berkembang ragam kategori inovasi: (a) inovasi peralatan dan pelayanan medis (disinfektan alami, alat pelindung diri, ventilator portabel, alat tes cepat, robot untuk melayani pasien); (b) inovasi metodologi deteksi (alat rapid test dan pengujian laboratorium); (c) inovasi obat-obatan (penemuan obat herbal, obat anti-corona, dan penemuan vaksin), serta masih banyak inovasi jangka pendek dan menengah.
Kekuatan riset yang berorientasi inovasi ini akan menjadi tumpuan pemecahan masalah pandemi Covid-19. Ketika dunia berebut masker, alat tes, dan alat pelindung diri, sebenarnya menggambarkan betapa kemandirian teknologi kesehatan sangat penting. Inovasi-inovasi yang kita bangun mesti berorientasi pada kemandirian sekaligus mengurangi ketergantungan pada bangsa lain. Inovasi-inovasi inilah yang menjadi tumpuan bangkitnya industri kesehatan nasional.
Ketiga, perlu peran masyarakat sains dalam mengedukasi masyarakat. Masyarakat sains dituntut memberikan informasi yang akurat tentang Covid-19. Saat ini informasi mengalir begitu deras dan perlu kemampuan mengoreksi informasi tidak akurat yang beredar sehingga beredarnya hoaks bisa ditekan. Peran edukasi masyarakat adalah pintu awal untuk pemberdayaan masyarakat dalam kerangka program pencegahan.
Kini mulai berkembang istilah pencegahan berbasis masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat akan menjadi garda depan dalam pencegahan. Para akademikus punya peran penting untuk hadir di tengah-tengah masyarakat dalam situasi seperti ini, tidak hanya mengedukasi, tapi juga—yang lebih penting—menginspirasi, membangun optimisme, dan membangun kebersamaan menyikapi bencana ketidakpastian ini.
Sekali lagi, pandemi Covid-19 adalah momentum sains untuk berperan sebagai sumber pengambilan keputusan dalam kebijakan publik. Saatnya sains selalu hadir dengan solusi konkret. Masyarakat sains (peneliti dan akademikus) harus mampu menunjukkan sebagai kaum pembelajar yang lincah dan tangguh merespons setiap ketidakpastian baru. Sebab, ketidakpastian bisa datang kapan saja, respons cepat menciptakan solusi adalah kunci lolos dan memasuki kepastian baru.
BOGOR, 8 APRIL 2020
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo