Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pendidikan mendorong perguruan tinggi mengembangkan alat kesehatan untuk mengatasi Covid-19.
Ada yang membuat robot pembasmi kuman sampai ventilator agar pasien tak masuk ke ruang ICU.
Alat kesehatan yang dikembangkan perguruan tinggi akan diproduksi oleh BUMN.
RAK bersusun empat itu berjalan mondar-mandir di bagian Intensive Care Unit Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya. Ia bergerak dari satu kamar ke kamar lain sambil membawa obat-obatan, makanan, dan kain lap dengan kendali jauh dari seorang operator. Rak yang dinamai Robot Medical Assistant ITS-Airlangga alias Raisa itu buatan Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya. “Robot tersebut menggantikan tugas perawat mengantarkan kebutuhan pasien,” kata juru bicara satuan tugas penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Rumah Sakit Universitas Airlangga, Alfian Nur Rosyid, Selasa, 28 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raisa baru dipakai di Rumah Sakit Unair. Robot yang diluncurkan pada 14 April lalu itu diciptakan untuk meminimalkan kontak antara perawat dan pasien Covid-19. Dengan begitu, pemakaian alat pelindung diri yang jumlahnya menipis bisa lebih dihemat dan risiko penularan penyakit akibat virus corona ke tenaga medis bisa diminimalkan. “Raisa setara dengan empat perawat,” ujar Wakil Rektor ITS Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Kealumnian Bambang Pramujati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan satu-satunya alat yang diciptakan ITS. Perguruan tinggi tersebut juga memperkenalkan robot Ultra Violet ITS-Airlangga alias Violeta, sepuluh hari seusai peluncuran Raisa. Robot setinggi sekitar satu setengah meter itu bertugas membasmi kuman di ruang perawatan yang sudah ditinggalkan pasien.
Violeta menggunakan enam lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 200-300 nanometer. Dengan menyalakan lampu tersebut selama 10-15 menit, virus dan bakteri yang tertinggal di ruangan akan hancur. Violeta juga bisa digunakan untuk mensterilkan moda transportasi, seperti bus dan gerbong kereta, asalkan tak ada orang masuk saat alat itu bekerja. “Karena sinar ultravioletnya bisa memicu kanker,” kata Bambang.
Tim dosen dari Telkom University dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung menggarap purwarupa wahana serupa bernama Autonomous UVC Mobile Robot (AUMR). Pengembangannya dipimpin Angga Rusdinar dari Fakultas Teknik Elektro Telkom University. Anggotanya Irwan Purnama dari Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI, Kemas Muslim Lhaksmana dari Teknik Informatika Fakultas Teknik Informatika Telkom University, dan Ratih Asmara Ningrum dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Menurut Irwan, alat sejenis sudah dipakai di Cina untuk mematikan virus corona. Pengujian terhadap AUMR di laboratorium biosafety level 3, koridor, juga clean room di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, menunjukkan robot tersebut bisa membunuh hampir 80 persen bakteri. AUMR telah diperkenalkan ke Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet, Jakarta, serta Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin dan Rumah Sakit Umum Pindad, Bandung. Rencananya ia akan ditempatkan di Wisma Atlet. “Untuk membasmi virus di sana,” ucap Irwan.
Kepala Satuan Tugas Kesehatan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Mayor Jenderal TNI Bambang Dwi Hasto membenarkan kabar bahwa robot tersebut pernah diujicobakan di Wisma Atlet. Namun saat ini AUMR masih akan disempurnakan oleh penelitinya. “Karena belum dikalibrasi,” ujarnya.
Sementara ITS dan Telkom University mengembangkan robot untuk membantu para tenaga medis, dosen Institut Teknologi Bandung, Syarif Hidayat, bersama timnya menggarap ventilator yang bisa dibawa-bawa bernama Ventilator Portabel Indonesia alias Vent-I. Alat ini sudah lolos uji Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan pada 21 April lalu. “Sudah mulai diproduksi. Targetnya akhir minggu ini bisa dibuat 100 unit dan langsung diedarkan untuk donasi,” tutur Syarif, Senin, 20 April lalu.
Vent-I merupakan kolaborasi riset bersama dosen di ITB, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dan dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin. Alat tersebut rencananya digunakan untuk membantu pernapasan bagi pasien Covid-19 dengan gejala pneumonia ringan supaya pasien tak sampai masuk ke ruang ICU gara-gara kesulitan bernapas.
Ventilator portabel seberat kurang dari lima kilogram ini, kata Syarif, tak sekompleks ventilator rumah sakit, sehingga mudah dipakai dokter atau perawat tanpa tenaga operator khusus dan bisa dipakai di mana saja. Penelitian yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 100 juta ini didanai oleh Yayasan Pembina Masjid Salman ITB dan penggalangan dana publik (crowd funding). Vent-I rencananya akan diproduksi oleh perusahaan pelat merah, antara lain PT Dirgantara Indonesia dan PT LEN.
Teknisi memperagakan penggunaan ventilator portabel Vent-I di ITB Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/4). TEMPO/Prima mulia
Menurut Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia Muhammad Ridlo Akbar, tim mereka sedang mengurus izin produksi dan izin edar Vent-I sekaligus melakukan uji klinis. Rencananya pekan ini perusahaannya mulai memproduksinya. “Milestone pertama kami 500 unit per minggu,” ujarnya.
Tim Universitas Indonesia juga mengembangkan ventilator portabel. Menurut ketua tim, Basari, alat bantu napas tersebut dirancang untuk digunakan pasien di ambulans dalam perjalanan ke rumah sakit atau ketika dipindahkan dari ruang observasi ke kamar isolasi. Ventilator bernama Covent-20 itu hasil kolaborasi para peneliti dari Fakultas Teknik UI, Fakultas Kedokteran UI, Rumah Sakit Universitas Indonesia, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta, dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta.
Direktur Utama PT Indofarma Arief Pramuhanto mengatakan perusahaannya telah bekerja sama dengan UI untuk memproduksi Covent-20. Alat tersebut sudah lolos uji dari BPFK, tinggal diproses nomor izin edarnya di Kementerian Kesehatan. “Paling cepat minggu depan sudah kami daftarkan,” ucapnya.
Harga Covent-20, kata Arief, akan lebih murah 30-40 persen dari harga ventilator pada umumnya yang beredar di pasar, yang berkisar Rp 300-500 juta, karena sekitar 70 persen komponennya bisa didapatkan di Indonesia. Teknologinya pun tak rumit. Rencananya, dalam tahap awal, mereka akan memproduksi 300-400 unit per bulan.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nizam, mengatakan selama ini kebutuhan peralatan kesehatan di Indonesia sangat bergantung pada impor. Ketika pandemi terjadi, ketergantungan pada negara lain tersebut berdampak serius pada kemampuan penanganan Covid-19 di Tanah Air. “Karena itu, kami mendorong para peneliti di perguruan tinggi untuk melakukan riset alat kesehatan, pengembangan alat perlindungan diri bagi tenaga kesehatan, dan berbagai peralatan yang dapat membantu mitigasi Covid-19,” tutur Nizam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo