Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tari-Animasi & Seekor Anjing

A-Soon Dance Company, kelompok tari asal Korea, menutup Art Summit 2007. Menggabungkan animasi dan tari.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sorot lampu yang jatuh ke permukaan lantai itu membentuk sosok putih orang-orangan. Dalam gelap sosok itu berjalan kemudian bangkit dan berdiri tegak di dinding sebelah kiri panggung. Begitu jangkungnya, sampai-sampai penari yang melihatnya harus menengadahkan muka.

Sosok animasi itu terus berjalan, melangkahkan kakinya. Dan ketika berhenti tiba-tiba, sebuah layar besar di dinding tengah menyala menampilkan tayangan agak kabur. Sebuah film yang mengetengahkan boneka bayi mengobrak-abrik kota.

Itulah penampilan A-Soon Dance Company, yang menggabungkan tari dan teknologi animasi. Panggung luas tanpa set apa pun membuat para penari dapat bergerak leluasa. Dinding-dinding panggung dilapisi layar sehingga di mana pun dapat disorotkan video. Di beberapa bagian juga dilapisi plastik seperti pelat tembaga, sehingga bayangan penari dapat terpantul.

Sedari awal penari bergerak—dalam gempuran mixing musik elektrik, sinyal bunyi, suara dari berbagai frekuensi. Beberapa kritikus menengarai, seni pertunjukan kontemporer Korea dua dasawarsa terakhir dipenuhi tren kebudayaan Internet. Banyak muncul kolaborasi seniman video dan penari. Ini semua diawali pada 1980-an, ketika Nam June Paik, seniman video terkenal yang sering menampilkan instalasi televisi, terlibat dalam dunia tari.

Koreografer Ahn Ae Soon, 47 tahun, yang disebut-sebut semula bertolak dari dunia tradisi, adalah bagian dari gelombang tari berkultur Internet itu. Malam itu, di Graha Bakti Budaya, menutup perhelatan Art Summit, penonton dapat melihat betapa dalam pertunjukan Ahn Ae Soon antara koreografi dan tayangan videonya sama kuatnya. Video bukan sekadar ilustrasi tari.

Tontonan itu berjudul White Noise. Dalam khazanah ilmu akustik, white noise berarti sinyal suara yang memiliki energi yang sama di setiap frekuensi. Karya ini bertolak dari pengamatan Ahn Ae Soon, begitu banyak suara, bertumpuk-tumpuk di ruang publik perkotaan, dari yang bising sampai yang lemah, sayup-sayup, dan betapa masyarakat tidak sensitif terhadap polusi suara ini.

Ia mengangankan suatu kondisi white noise—ketika semua suara dapat bersintesis dan mencapai titik netral. Ia membagi karyanya ini menjadi sembilan bagian. Di bagian pertama, koreografinya melukiskan bagaimana sesungguhnya bagian bising itu adalah percakapan-percakapan yang mengawasi tindak-tanduk, gerak-gerik, person-person dari tempat yang tidak diketahui.

Penonton melihat mula-mula sembilan penari berlari ke sana-kemari. Suasana seperti simpang-siur, cerai-berai. Gerakan mereka intens tapi mekanis. Tiba-tiba suara sirene meraung, dari atas lampu sorot membentuk lingkaran-lingkaran berwarna biru mengacaukan panggung. Mereka rebah.

Ketika penari bangkit, musik elektrik dengan nuansa pukulan-pukulan tabla mengurung ruangan. Mereka berjalan ke sana-kemari, lalu kembali lari ke berbagai penjuru, tanpa berbenturan satu sama lain. Kemudian raung sirene muncul lagi. Pada saat jatuh mereka mengelompok, dan ketika berdiri mereka membentuk kerumunan, merapat satu sama lain. Dari atas variasi sorot lampu membuat badan mereka seperti dialiri listrik.

Lalu di dinding terjadi permainan kotak-kotak pendar cahaya. Serentetan adegan muncul: seorang duduk sendiri dengan sebuah laptop, lima penari dengan kaca beroda yang diterangi dua neon yang dapat disorong ke sana-sini menggiring seorang penari lainnya masuk ke ceruk di dinding. Dan di situ sendirian, ia menari seperti terperangkap cahaya merah.

Menjelang tengah, muncul animasi lagi. Kali ini, di layar tampil grafik beberapa robot. Video itu menampilkan robot tersebut saling memukul. Terdengar bunyi bak piring pecah. Kita bagai menyaksikan dunia hologram. Lalu dari samping kanan panggung tiba-tiba muncul robot kecil—betulan—yang bisa menggerak-gerakkan tangannya.

Sampai pada bagian ini, seluruh pertunjukan kesannya adalah hiper-realitas. Baru sesuatu yang ”natural” terjadi, ketika di panggung muncul seekor anjing, yang dibawa oleh seorang berkacamata hitam, berjaket kulit, menampilkan sosok petugas keamanan yang dingin (anjing dan pelatihnya ini disewa dari angkatan udara kita).

Seorang penari laki-laki dengan badan seolah terbebat bergerak bebas mendekat, menjauh lelaki dan anjing hitam itu. Gerak-gerik tangannya seperti terluka, apalagi ketika ia mundur jauh. Panggung digempur musik elektrik yang me-remix Carmina Burana karya Carl Orff. Penari itu bergerak seolah ingin masuk ke sebuah kawasan tapi selalu terhalang penjaga dan anjing. Penjaga itu membawa anjing dari sudut ke sudut.

Adegan ini senapas dengan adegan lain yang memperlihatkan seorang penari menyorong-nyorongkan kepala di dinding dan ternyata di layar tampil segala apa yang diperbuatnya. Tatkala ia memutar-mutar kepalanya, menjejak-jejakkan kakinya, semua terpampang dilayar. Seolah-olah menunjukkan bahwa di mana-mana ada kamera tersembunyi.

Menjelang akhir, berdentam musik disko, diiringi cahaya yang bergerak, yang berputar-putar, para penari seolah tengah melantai di ruang diskotek. Musik itu mendadak berganti dengan lagu nasional, yang membuat para penari langsung menyilangkan tangan di dada memberikan penghormatan.

Seperti adegan awal, mengakhiri pertunjukan, sembilan penari A-Soon Dance Company muncul di panggung. Kali ini ditambah dengan sepuluh penari dan awak teater Indonesia yang dicomot dari IKJ dan Bulungan. Panggung padat. Mereka bergerak, berjalan cepat, tergesa-gesa, tapi tetap tak bersentuhan.

Selama 70 menit penonton digedor terus-menerus oleh sensasi visual, gerak abstrak, dan campur-baur bebunyian. Mungkin terlalu banyak yang hendak dikatakan oleh Ahn Ae Soon, sehingga artikulasi idenya tak tajam. Animasi kartunnya memang menarik, meski sayangnya belum terjadi dialog antara sosok animasi dan penarinya. Tayangan animasi seolah hanya untuk transisi adegan ke adegan. Bila ada interaksi antara animasi dan penari, mungkin tontonan akan lebih kuat.

Bagaimanapun, malam itu, di penghujung Art Summit kita mencicipi salah satu tren tari mutakhir yang berkembang di Korea Selatan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus