KALIMAT itu pendek saja: ''Kamoe lake referendum." Kalimat yang berarti ''kami minta referendum" tadi ditulis di gardu-gardu ronda, di jalan, di tiang-tiang listrik. Ia keluar dari mulut perempuan, laki-laki, dan anak-anak, dari mulut mahasiswa dan para orang tua. Di Banda-aceh, 10 November lalu, ratusan ribu orang berkumpul untuk meneriakkan tuntutan referendum. Dan gemanya bergetar kuat, dari Sabang sampai Merauke.
Ya, tiba-tiba saja tuntutan untuk lepas dari ''kungkungan pusat" seperti gaung yang memantul di dinding-dinding bukit, sahut-menyahut. Di Irianjaya, 1 Desember lalu, bendera bintang kejora Papua Merdeka dikerek bersama Merah Putih. Di Kalimantan Timur, DPRD setempat, 8 November 1999 lalu, menuntut agar Jakarta memberlakukan pemerintahan berbentuk federal. Di Riau, tokoh masyarakat setempat juga meneriakkan permintaan bentuk negara federal.
Disintegrasi? Indonesia terancam perpecahan? Itulah yang kemudian muncul di benak banyak orang. Pada saat yang sama, seolah-olah ide negara kesatuan—bagi sebagian orang di sebagian daerah—adalah ide yang keliru karena menindas ide bentuk negara lain dan, karena itu, harus dilumpuhkan. Itu setidaknya di mata Abdullah Sjafii. ''Selama ini, kami hidup dalam penjajahan Indonesia-Jawa," kata Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu. GAM jelas ingin merdeka dari Indonesia.
Bila ucapan Sjafii didengar Muhammad Yamin, tentu tokoh nasional itu menangis dalam kuburnya. Dialah yang di awal-awal masa kemerdekaan menekankan perlunya Indonesia memilih konsep negara kesatuan. Menurut Yamin, dasar kesatuan atau unitarisme berasal dari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. ''Empat ratus tahun lamanya bangsa Indonesia yang berasal satu kebudayaan dipecah-belah oleh kekuasaan imperialisme, dengan berakibat kemerdekaan nasional menjadi hilang. Kedaulatan rakyat baru hidup kembali setelah persatuan memuncak karena disusun dan dipupuk oleh anggota bangsanya sendiri," kata Yamin. Indonesia bagi Yamin adalah ''sebuah bangsa yang didasarkan pada kerajaan-kerajaan yang ada di kepulauan nusantara, terutama Sriwijaya dan Majapahit."
Yamin didukung Sukarno. Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Sukarno membela konsep negara kesatuan ini dengan menegaskan bahwa apa yang disebutnya nation adalah Indonesia dengan wilayah-wilayah yang kita kenal selama ini. ''Sumatra, Jawa, Sunda, Kalimantan, atau Sulawesi bukan nationale staat (negara bangsa). Hanya Indonesia secara keseluruhan adalah nationale staat," kata Sukarno berapi-api.
Sejak saat itulah konsep negara kesatuan seperti menjadi berhala yang tidak bisa diganggu gugat. Pernah memang federalisme diberlakukan dalam wujud Republik Indonesia Serikat (RIS), pada 1949-1950. Tapi konsep itu dinilai gagal dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. RIS dianggap sebagai wujud keinginan Belanda untuk melemahkan Indonesia dan mengembalikan kekuasaan Belanda atas Indonesia.
Pasca-RIS—di zaman Orde Lama Sukarno dan Orde Baru Soeharto—pembicaraan untuk mempersoalkan bentuk negara persatuan seperti terkubur. Sakralisasi terhadap UUD 1945, monopoli negara terhadap tafsir undang-undang dasar, serta dominasi militer dan birokrasi dalam kehidupan bernegara menutup semua pintu ke arah dipersoalkannya negara kesatuan.
Padahal, banyak pertanyaan belum terjawab, seperti: didasarkan pada apakah negara kesatuan itu sebenarnya? Pada wilayah yang ditinggalkan Belanda? Pada kawasan yang dulu menjadi kekuasaan Sriwijaya atau Majapahit? ''Jika dulu Spanyol jadi menukar Filipina, daerah jajahannya, dengan Indonesia, wilayah Indonesia bisa sampai Filipina," kata Benedict Anderson dalam sebuah wawancara dengan TEMPO. Spanyol, seperti kita tahu, menjajah Belanda ketika Negara Kincir Angin itu menjajah Indonesia. Jika barter tanah jajahan itu terjadi, sangat mungkin Cory Aquino sekarang adalah warga Indonesia dan pahlawan Filipina Jose Rizal dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dengan kata lain, Ben Anderson mau bilang bahwa wilayah sebuah bangsa itu sumir dan sangat mungkin didefinisikan ulang.
Kini, 54 tahun berselang setelah perdebatan di BPUPKI usai, daerah-daerah negara kesatuan Indonesia bergolak. Tuntutan merdeka dipekikkan di mana-mana. Apa yang mesti dilakukan?
Jika hal ini ditanyakan kepada Amien Rais, Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu akan bilang bahwa solusi yang baik—dan dialah yang pertama kali bicara—adalah membuka kembali wacana soal federasi. Amien agaknya berniat menembus kebekuan selama ini: bentuk kesatuan seperti tak mungkin diganggu gugat. Amien bukan mutlak setuju bentuk federasi. Ia setuju mendiskusikannya. Agaknya, Amien tahu persis, secara teknis, menerapkan federalisme—yang terdiri atas negara federal dan negara bagian dengan otonominya yang penuh—bukan persoalan mudah. Misalnya soal batas tiap-tiap negara bagian itu. Dalam konteks negara kontinental, pembagian wilayah itu lebih mudah. Tapi untuk Indonesia, yang berbentuk kepulauan, penetapan ''tapal batas" akan menjadi persoalan sendiri. ''Menentukan batas wilayah laut 12 mil untuk level internasional saja Indonesia masih sangat kerepotan. Bagaimana dengan level Indonesia?" kata ekonom Adrian Panggabean kepada wartawan TEMPO Leanika Tanjung.
Persoalan lain: atas dasar apa negara-negara bagian itu dipisahkan satu dengan yang lain? Etnis, bahasa, ekonomi, atau batas politik? Atau kita setuju saja dengan batas provinsi yang sekarang yang dibuat Orde Baru itu? Itu artinya ada 26 negara bagian kelak (minus Timor Timur)? Banyak pekerjaan rumah yang harus dijawab.
Tapi federalisme memiliki pesona sekaligus kecemasan tersendiri. Dalam beberapa kasus seperti Amerika Serikat, Australia, atau Malaysia, federalisme memberikan ruang yang cukup bagi negara bagian untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, selain terjaminnya pembagian hasil kekayaan daerah-pusat dengan adil. Ada contoh bagus, ada contoh buruk. Federasi Uni Soviet remuk pada akhir 1980-an akibat gagal dalam menerapkan konsep federasi ini. Tujuan untuk mendesentralisasi kekuasaan gagal. Yang ada malah terpusatnya kekuasaan di tangan Rusia. Kondisi ini diperburuk dengan dipakainya sistem komunisme yang memberikan pembenaran terhadap dominannya peran partai dalam mengatur segi-segi kehidupan bermasyarakat.
Dengan semua risiko federasi, mengapa bukan bentuk negara kesatuan ini saja yang dipertahankan? Bukankah ''rusaknya" ide kesatuan ini disebabkan oleh pemerintahan yang korup dan serakah? Banyak orang setuju negara kesatuan dipertahankan, lebih-lebih mereka yang khawatir terhadap federasi. Tapi kompromi tetap harus dilakukan dengan maraknya tuntutan ''merdeka" beberapa daerah. Dan otonomi daerah—melalui Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah—adalah hasil kompromi itu. Jakarta rupanya mengartikan tuntutan daerah yang bergolak sebagai upaya menuntut ''pembagian kekuasaan" yang kini timpang.
Maka, menurut Menteri Negara Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, kedua undang-undang tadi mengakhiri pemusatan kekuasaan oleh Jakarta. Kelak, gubernur daerah tidak lagi didrop dari pusat, seperti yang lazim terjadi selama ini. Daerah dianggap sebagai sebuah entitas yang otonom.
Namun, UU Nomor 22/1999 masih menyimpan ganjalan untuk daerah. Upaya membatasi kekuasaan pusat pun agaknya belum sepenuhnya bisa dilakukan. Lihat pasal 7 undang-undang tersebut. Di samping kekuasaan pusat untuk mengatur bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama, ada disebut ''dan kewenangan pusat lainnya." Kewenangan ''lainnya" ini di mata banyak pengamat bisa diartikan ''banyak kewenangan lain", yang mungkin saja dicantumkan untuk memaksakan kehendak Jakarta atas daerah. ''Hal seperti inilah yang tidak jelas," kata Zaim Saidi, peneliti dari Public Interest Research and Advocacy Center.
Urusan politik mungkin bisa cepat diberesi. Tapi urusan keuangan akan seret. Ekonom Iwan Jaya Azis melihat persoalan keuangan akan muncul karena berdasarkan UU Nomor 25/1999 hanya 25 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diserahkan pusat ke daerah: 10 persen untuk provinsi, sedangkan sisanya untuk kabupaten atau kota madya. Untuk daerah penghasil minyak, jumlah itu sedikit lebih besar, yakni 15 persen. Sedangkan daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas) mendapat 30 persen. Artinya, kekayaan daerah sebenarnya belum sepenuhnya kembali ke daerah seperti yang diharapkan selama ini. Tidak aneh kalau tokoh-tokoh masyarakat daerah meradang. ''UU Otonomi Daerah itu penipuan di balik selimut," kata Yoni Lukas, salah seorang penggagas berdirinya negara Borneo Merdeka.
Dengan pengaturan seperti UU Nomor 25 Tahun 1999 ini, jika kelak jadi diterapkan, niscaya gugatan daerah terhadap dominasi Jakarta belum bisa dijamin akan mereda. Ketidakpuasan akan tetap merajalela.
Dan ketidakpuasan mendorong daerah untuk berpikir merdeka sama sekali dari Jakarta. Ini juga sebuah alternatif yang perlu dipikirkan Jakarta—meski, bagi sebagian orang, skenario ini dianggap mengerikan. Namun, jika cara pandang Benedict Anderson tentang batas wilayah sebuah bangsa diikuti, pilihan kemerdekaan sebuah daerah bukanlah kemustahilan. Sebuah bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan anggota masyarakat tersebut. Artinya, secara teoretis, redefinisi terhadap wilayah dan keanggotaan sebuah bangsa bisa saja dilakukan dan dilakukan lagi.
Dampak ekonominya? Iwan Jaya Azis tidak khawatir terhadap dampak ekonomi pemisahan daerah dari pemerintah pusat ini. Menurut dia, dampak terbesar jika skenario ini terjadi adalah posisi strategis Aceh—untuk menyebut salah satu contoh—dan Indonesia di Asia Tenggara akan berubah. Yang akan bereaksi adalah investor-investor asing yang memasukkan modal ke Indonesia. Bagaimana dengan kas pusat yang selama ini disumbang daerah, misalnya gas dan minyak dari Aceh? Iwan yakin itu bisa ''ditomboki" alias ditutup oleh pusat. ''Contohnya, sewaktu harga minyak anjlok pada 1980-an, Indonesia langsung mengubah target penerimaan dari migas menjadi nonmigas," kata Iwan kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO.
Jakarta rasanya harus berani meladeni permintaan untuk berbicara lagi tentang bentuk negara dalam sebuah proyek bernama Indonesia ini: mau memilih federal, tetap kesatuan dengan otonomi luas, atau hidup sendiri-sendiri. Menutup wacana bentuk negara ini jelas bukan jalan bijak. Toh, Jakarta bukan si katak dalam tempurung yang pura-pura tak mendengar suara tembakan di Aceh atau Irianjaya.
Arif Zulkifli, Dwi Wiyana, Edy Budiyarso, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini