Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan sembarangan memencet hidung orang. Salah-salah bisa diseret ke pengadilan seperti Muhammad Amin, warga Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Hakim pun bingung mau pakai pasal apa untuk mengadili kasus ini. Sebab, kejahatan memencet hidung orang tak ada dalam daftar jenis tindak pidana dalam KUHP kita.
Kisahnya bermula pertengahan Mei lalu. Amin menjemput anaknya, Tomi, di SD Negeri 8 Kendari. Tepat di depan gerbang sekolah, Amin melihat Tomi berkelahi dengan Fauzan Supriadi. Keduanya sama-sama siswa kelas III. Amin pun berniat melerai.
Niat baik Amin itu membuat Fauzan jengkel. Spontan Fauzan memukul perut Amin. Terang saja Amin kaget. Ia pun membalas dengan memencet hidung Fauzan sambil bilang bahwa perbuatannya itu tidak baik. Perkelahian berakhir. Amin pun pulang bersama anaknya.
Amin kaget bukan main ketika keesokan harinya dua polisi berseragam lengkap datang ke rumahnya sambil membawa surat panggilan pemeriksaan. Amin dituduh melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan terhadap Fauzan karena memencet hidungnya hingga berdarah.
"Habis membaca surat panggilan itu, badan saya langsung lemas," kata Amin sembari mengingat perkelahian anaknya di depan gerbang sekolah yang ternyata berbuntut panjang. Rupanya, Fauzan melaporkan perbuatan Amin itu kepada orang tuanya, Supriadi, 40 tahun. Pengaduan itu yang dibawa ke polisi.
Sidangnya digelar 30 Mei lalu. Saat diperiksa hakim, dua saksi, yakni Tomi dan Wa Ode Hanima, Kepala Sekolah SDN 8 Kendari, mengaku tak melihat darah keluar dari hidung Fauzan. Tapi Fauzan bersikeras mengatakan hidungnya terluka dan mengeluarkan darah.
Hakim lantas meminta Fauzan menunjukkan luka di hidungnya. Bocah 9 tahun ini terlihat bingung dan tak bisa memperlihatkan bekas lukanya. Karena tak tahan didesak hakim, Fauzan meninggalkan kursinya dan berlari ke arah orang tuanya yang duduk di kursi pengunjung. Dia menangis tersedu-sedu. Pengunjung sidang pun kontan tertawa.
Di depan hakim, Amin mengakui perbuatannya. "Saya mengaku bersalah, Pak Hakim. Waktu itu saya memang memencet hidung Fauzan, tapi tidak sampai berdarah," kata Amin. Hakim pun meminta ayah Fauzan, Supriadi, 40 tahun, dan Amin berdamai.
Awalnya, Supriadi ogah-ogahan dan mengatakan bahwa anaknya sempat stres dan tak mau makan akibat ulah Amin. Namun hakim tetap mendesak Supriadi hingga dia tak bisa mengelak lagi. Meski keduanya sudah berdamai, hakim tetap mengganjar Amin dengan denda Rp 25 ribu. Tampaknya itulah hukuman yang paling pas untuk dicari-cari. "Bingung aku menghadapi kasus ini. Di KUHP enggak ada itu pasal yang mengatur soal kasus pencet-pencet hidung," kata Pak Hakim.
Kedutaan Apa Kuil?
Gedung di Jalan Tun Razak, Kuala Lumpur, itu bukan kuil. Tapi beberapa orang Hindu tampak berhenti dan menunduk, lalu menyembah. Petugas keamanan kedutaan awalnya sempat bingung, sebelum akhirnya tahu bahwa patung Arco Kubolo, yang berada di pintu gerbang, adalah penyebabnya. Gedung itu tak lain adalah kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia.
Hikayat keberadaan patung itu bermula pada pertengahan 2004 lalu. Atas persetujuan Duta Besar RI untuk Malaysia, KPH Rusdihardjo, Kepala Bidang Perhubungan Abadi Sastrodiyoto memesan beberapa patung ke Indonesia. Tujuannya untuk promosi pariwisata dan memajang ikon daerah yang ada di Indonesia.
Duta Besar, kata Abadi, memang juga punya rencana untuk merapikan wajah kedutaan. Terutama di bagian depan, seperti pagar, taman, lantai depan, dan fasilitas mes dua lantai sebagai penampungan bagi TKI yang bermasalah. Intinya, biar kedutaan lebih cerialah.
Patung yang dipesan antara lain Wisnu Kencana dari Bali, Loro Blonyo dari Yogyakarta, Arco Kubolo dari Jawa Tengah, kepala reog dari Jawa Timur, cenderawasih atau patung Asmat dari Irian, dan ondel-ondel dari DKI Jakarta. Cuma, patung yang datang baru dua jenis, yaitu Arco Kubolo dan Loro Blonyo.
Penempatannya, kata Abadi, juga memperhatikan fungsinya. Arco Kubolo memiliki arti penolak bala. Karena itu, ia dipasang di depan pintu masuk. Loro Blonyo, yang artinya penunggu ruangan, ditempatkan di galeri kedutaan. Patung Arco Kubolo itulah yang membuat orang Hindu yang melintas di depan pintu kedutaan berhenti sejenak.
Daryadi, pegawai keamanan kedutaan, mengisahkan pengalamannya. Malam-malam ada orang India Hindu yang berhenti dan menyembah patung itu. Pria 41 tahun itu memberanikan diri bertanya. "Si India Hindu itu berkata, patung seperti itu ada juga di tempat kami sembahyang," kata pegawai yang sudah 11 tahun bekerja sebagai petugas keamanan kedutaan.
Warga sekitar, Sivakumar, mengatakan orang India Hindu menyebut patung seperti Arco Kubolo itu Muniandi, yakni simbol dewa dalam agama Hindu yang bertugas menjaga keselamatan di jalan raya. Biasanya, kata pria 35 tahun ini, orang Hindu yang taat akan berhenti sebentar untuk memberi sembahan saat berpapasan dengan patung itu, meski dari jarak jauh.
Abadi Sastrodiyoto sendiri mengaku bingung mendengar cerita itu. "Kalau memang betul patung itu disembah-sembah, tentu kita kerepotan karena KBRI ini bukan kuil," katanya. Kini, karya seni kiriman Gubernur Jawa Tengah itu sudah dipindahkan ke dalam gedung.
Abdul Manan, Dedy Kurniawan, Taufik Salengke
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo