Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH melihat-lihat bangunan tua di Kota Kuching sampai tengah siang, bus yang saya tumpangi melaju ke arah Gunung Santubong di Serawak Barat. Kami melewati jalan yang menanjak dan berkelok-kelok. Di kanan-kiri terdapat pepohonan yang besar dan rindang.
Margaret Tan Kui Ing, pemandu wisata dari Malaysia Tourism Promotion Board, menjelaskan rombongan akan dibawa ke Serawak Culture Village (SCV). Inilah kampung budaya yang dihuni oleh suku-suku asli dari pedalaman Serawak, Malaysia.
Perjalanan sejauh 35 kilometer dari Kota Kuching pada pertengahan Mei lalu itu terasa menyenangkan. Sama sekali tidak ada kemacetan. Dan dalam waktu 45 menit, kami sudah sampai ke tujuan.
Memasuki SCV, setiap pengunjung harus membayar 4,5 ringgit Malaysia, sekitar Rp 12.500. Di pintu gerbang, seorang gadis berpakaian encim warna kuning dengan motif bunga warna keemasan menempelkan stiker pada baju pengunjung sebagai tanda masuk. Saya juga diberi buku petunjuk untuk menyusuri kampung budaya.
Bersama rombongan, saya mula-mula menyusuri jalan setapak yang terbuat dari kayu selebar tiga meter. Di sepanjang jalan berjejer pohon-pohon besar dan tinggi. Semilir angin bertiup menyejukkan. Sepasang burung jalak bertengger di atas pohon, tidak jauh dari tempat saya berdiri. "Di sini terdapat aneka jenis burung yang dibiarkan hidup di alam bebas. Menangkap mereka dan mengurungnya sama dengan merusak ekosistem," kata Margaret Tan, yang berusia sekitar 50 tahun.
Pemerintah Malaysia membangun kampung budaya tersebut pada 1990, di atas areal hutan seluas 17 hektare. Tujuannya untuk melestarikan alam, budaya, dan kesenian tradisional di Serawak. Di kawasan ini juga terdapat danau yang cukup besar, seluas 4 hektare.
Dengan luas 124.450 kilometer persegi atau 37,5 persen dari luas Malaysia, Serawak memiliki sejarah panjang. Hampir satu abad lamanya (1841-1941) wilayah yang kaya minyak dan gas alam ini dikuasai oleh Inggris. Sempat jatuh ke tangan Jepang pada 1941-1945, akhirnya Serawak dipegang Inggris lagi dan baru merdeka pada 1963.
Berbagai suku bangsa tinggal di Serawak. Untuk mengenalnya, orang cukup datang ke SCV. Di sana terdapat tujuh rumah adat suku asli, yakni rumah panjang Bidayuh, Dayak Iban, Orang Ulu, rumah tinggi Melanau, rumah Melayu, dan rumah Cina. Di rumah-rumah itulah sebagian suku asli pedalaman Serawak tinggal. "Pemerintah Malaysia memang meminta mereka tinggal di sini. Mereka dapat hidup seperti di kampung asli mereka," ujar Margaret.
Untuk sampai ke rumah adat, pengunjung bisa melalui jembatan bambu. Di bawahnya mengalir sungai kecil yang airnya beriak dan ditumbuhi pohon pandan. Karena jembatan itu kecil, orang harus berbaris satu per satu untuk melewatinya.
Yang pertama saya kunjungi adalah rumah panjang orang Bidayuh. Saat rombongan sampai di halaman, tiba-tiba terdengar suara gong penyambut tamu. Dua gadis Melayu menyambut kami dengan senyum ramah sambil menari. Di belakangnya, beberapa orang tua menabuh gamelan, mengiringi kedua penari.
Setelah menikmati tarian, saya masuk ke sebuah ruang di bagian belakang rumah itu. Di sana terlihat seorang lelaki tua berpakaian hitam duduk bersila di balik jendela. Tangannya mengukir bambu, membuat panah. Dia baru berhenti ketika saya mengajaknya mengobrol. Lelaki itu bernama Sijan, 63 tahun. Dia tinggal bersama istrinya, Anita Tiurmuji, 60 tahun, dan enam anaknya. "Sebenarnya anak saya delapan. Yang dua jadi sopir taksi dan guru ukir dan tidak tinggal di sini," ujar Sijan.
Telah memiliki 10 cucu, si kakek mengaku jarang pulang ke kampung halamannya yang berjarak 110 kilometer dari kampung budaya. Keahliannya membuat panah didapat dari orang tuanya. Bagi orang Bidayuh, panah merupakan lambang kejantanan seorang pria. Dengan menggunakan panah pula mereka biasa berburu babi dan binatang buas di hutan.
Sesudah pindah ke kampung budaya pada 1990, Sijan tak lagi membuat panah untuk berburu, melainkan untuk hiasan. Hasil kerajinan tangan ini dijual di Semenanjung Malaysia. Satu set alat panah besar dijualnya 35 RM atau sekitar Rp 87 ribu. Yang kecil lebih murah, sekitar Rp 30 ribu. Selain itu, dia juga membuat gantungan kunci dari getah kayu dan mengukir batu alam.
Di teras rumah, saya melihat istrinya, Anita, sedang memperagakan cara mengupas kulit padi dengan kisar. Inilah peranti yang terbuat dari kayu bulat dan di tengahnya terdapat lubang. Padi yang akan dikupas dimasukkan ke lubang ini, lalu kisar diputar ke kiri dan ke kanan. Lama-lama beras akan terpisah dari kulitnya. "Kalau mau coba, silakan," kata Anita, yang mengenakan pakaian adat berwarna hitam dengan motif merah.
Saya pun mencobanya menggerakkan kisar itu. Beberapa padi yang saya giling terpisah dari kulitnya. Si nenek pun tertawa bangga. "Menggunakan alat ini memang lebih mudah daripada lesung," ujarnya.
Puas mengobrol dengan Anita dan suaminya, saya lalu melangkah menuju rumah suku Dayak Iban. Jumlah warga suku ini yang paling besar di pedalaman Serawak. Mereka bisa tinggal di sebuah rumah panjang yang memuat 100-150 kepala keluarga.
Di sebuah rumah panjang di SCV, saya bertemu dengan Puan Inoy, 60 tahun, yang sedang menenun. Dia biasa menenun sarung, taplak meja, dan selendang. Kerajinan ini dikerjakan sampai berbulan-bulan. Untuk menenun kain sarung, misalnya, diperlukan waktu sekitar tiga bulan. Ini sebanding dengan harganya yang lumayan mahal, sekitar Rp 1 juta.
"Selain mendapat ringgit dari menjual tenunan, saya juga digaji pemerintah," tutur Puan sambil tersenyum. Lalu dia menawari saya belajar menenun. Saya mencobanya, tapi tangan saya terlalu kaku untuk memasukkan benang ke alat tenun. Beberapa kali mencoba, selalu gagal. "Kalau ada masa lebih banyak, datang lagi kemari, nanti saya ajarkan cara menenun. Menenun itu mudah, kok," katanya.
Di rumah yang sama, di bilik yang lain, saya berjumpa dengan Puan Samoi, 60 tahun. Nenek pembuat kue jala ini dengan tekun meracik adonan tepung beras dan gula merah. Setelah dibentuk mirip bulan sabit lewat cetakan, adonan berwarna cokelat ini lalu digoreng di atas tungku kayu bakar. Sesekali Puan Samoi meniup bambu kecil untuk memperbesar nyala apinya. Kue yang sudah matang ditaruhnya di atas nampan.
Dengan membayar Rp 12.500, saya mendapat dua potong kue jala. Saya mencicipi kue itu di depan Puan Samoi. Sekali gigitan, kue itu hancur, remahnya menempel pada baju. Seorang perempuan setengah baya di samping Puan Samoi tertawa geli melihat cara saya makan. "Kue ini sangat renyah, jadi pelan-pelan mengunyahnya," ujarnya. Saya pun tersenyum. Kue itu mengingatkan saya pada kue kremes yang biasa saya beli di warung-warung di pinggiran Jakarta.
Tiba-tiba Margaret mengingatkan saya untuk melihat rumah tinggi Melanau, yang bentuknya juga panjang. Rumah ini memiliki tiang penyangga setinggi lebih dari tiga meter. Kami masuk melalui tangga yang sedikit curam. Rumah itu tampak sepi, mungkin penghuninya sedang pergi. Perabotnya tak jauh beda dengan rumah Melayu, Bidayuh, dan Iban, terdapat puluhan kamar, peralatan memasak tradisional seperti gerabah, buluh, dan tungku.
Di samping rumah, ada pondok kecil tempat menggiling batang sagu, lengkap dengan tungku pemanas, dan dipan untuk menjemur. Pada bilik yang lain, saya menjumpai ulat sagu yang dikembang-biakkan di dalam sebuah ember kecil yang tertutup. Mereka mengerubuti batang sagu.
Menurut Margaret, ulat sagu ini memiliki kandungan protein yang tinggi dan berkhasiat untuk obat awet muda. "Orang Melanau itu awet muda karena terbiasa makan ulat sagu ini mentah-mentah. Ada yang mau coba?" katanya sambil menyodorkan ulat sagu di tangannya kepada 15 anggota rombongan wartawan dari Indonesia. Saya merinding melihat ulat itu, apalagi membayangkan ulat itu berada di dalam mulut saya. Perut saya langsung terasa mual.
Sesudah menyusuri kampung budaya selama dua jam, badan saya terasa capek. Margaret lalu membawa rombongan memasuki gedung teater berkapasitas 400 orang yang masih berada di kawasan SCV. Di sana kami disuguhi sebuah tarian Ngajat Lesong dari suku Iban. Seorang penari lelaki bertubuh kekar menggigit lesung seberat 20 kilogram, lalu mengangkatnya selama beberapa menit.
"Tarian itu sungguh eksotis, saya menikmatinya," kata Marry, wisatawan asal Australia yang duduk di samping saya. Saya pun menganggukkan kepala sambil tersenyum. Malaysia memang pandai mengemas wisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo