Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Indonesiana

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bus 'Kesurupan' di Paiton

BANGKAI bus ternyata bisa bikin orang kesurupan. Ini dialami sekitar 50 mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan Universitas Hang Tuah, Surabaya, Kamis dua pekan lalu. Saat itu, para mahasiswa angkatan 2002-2003 ini sedang pulang menuju Surabaya setelah mengikuti studi kenal lapangan di Situbondo (Jawa Timur) dan Bali.

Menjelang magrib, bus tumpangan mereka melewati bangkai bus AO Transport, yang terbakar dan merenggut nyawa 54 siswa SMK Yayasan Pembinaan Generasi Muda (Yapemda) I Sleman, Yogyakarta, di Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, 8 Oktober 2003. Tiba di sekitar sana, bus yang mereka tumpangi harus merambat naik karena jalan mendaki tajam. Nah, kesempatan ini dimanfaatkan mahasiswa Anjar memotret bangkai bus maut yang teronggok di pinggir jalan.

Tapi Desyane langsung melarangnya. "Jangan memotret," teriak mahasiswa angkatan 2002 asal Maluku itu, yang mengaku mampu menjenguk dunia lain. "Saat itu saya melihat banyak roh korban kecelakaan menangis dan berteriak minta tolong," tutur Desy.

Tapi larangan Desy, 21 tahun, tak digubris. Anjar tetap memotret, dan, anehnya, saat itu juga Desy kesurupan. Ia mengomel terus dan tubuhnya bergerak tak keruan. Dalam sekejap, lima mahasiswi lain ikut kemasukan. Mereka berteriak-teriak histeris dan akhirnya pingsan. Anehnya, Anjar hanya ketakutan. Ia tidak ikut kesurupan.

Sialnya, pengemudi bus ikut panik. Apalagi hanya ada seorang dosen yang ikut bersama anak-anak asuhannya. Rekan-rekannya yang lain telah mendahului. Bus "kesurupan" itu akhirnya berhenti di sebuah masjid di Paiton, lalu mendaulat seorang kiai agar turun tangan. Setelah Desy dipisahkan dari lima rekannya yang Islam—ia ditangani rekannya yang seiman—doa pun dipanjatkan. Mereka baru siuman setengah jam kemudian. "Saya masih trauma mengingat peristiwa itu," tutur Desy.

Mutung 'Haz Way'

KENDARAAN bermotor berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah memang keharusan. Tapi bila rombongan kendaraan pejabat tinggi seperti Wakil Presiden Hamzah Haz yang melakukannya, itu baru rruarr biasa. Itu bukan karena mesin Mercedes bernomor polisi B-2 itu ngadat, tapi suasana hati sang petinggi yang lagi keki.

Gara-garanya, selaku orang nomor dua di republik ini, Hamzah dianggap tak tahu aturan dan sok kuasa. Sebab, ketika ribuan kendaraan lainnya terjebak kemacetan, ia dan rombongan justru leluasa nyelonong ke jalur busway, Senin pekan lalu.

Gara-garanya yang sejati adalah unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, ditambah pemberlakuan busway, yang mengirim kemacetan ke hampir semua ruas jalan di Jakarta. Nah, ketika iring-iringan Wapres hendak lewat, Pak Polantas berkeputusan meminjamkan "jalur Bang Yos" itu kepada Pak Haz. Ini memang bagian dari prosedur tetap. Sebagai orang amat penting (VVIP), yang tengah tergopoh ke tempat tugas negara, ia harus mendapat layanan bebas hambatan.

Tapi kalangan LSM, seperti YLKI, langsung mengecamnya. Para seteru politik Hamzah bahkan seperti mendapat kesempatan. Mereka menjadikan "kesalahan" Hamzah dan rombongan itu senjata serang ke arah lawan. Saat rapat kerja dengan Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar, misalnya, Djoko Susilo, anggota Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR dari Fraksi Reformasi, menyarankan agar Hamzah ditilang. Sedangkan Effendy Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa ingin agar Hamzah meminta maaf kepada publik. "Jangan anggap ini persoalan sepele," cetusnya.

Namun yang paling membuat Hamzah mutung tampaknya pernyataan Sutiyoso. "Siapa pun tidak boleh lewat busway, tidak pandang bulu!" kata Gubernur DKI Jakarta dukungan PDI Perjuangan itu dengan gagah.

Hamzah "membalas" dengan cara sendiri. Kepada ajudan dan para pengawalnya, ia memerintahkan agar semua iring-iringan kendaraan Wapres berhenti begitu terkena lampu merah. Rabu siang pekan lalu, misalnya, mobil Hamzah tampak stop di lampu merah di depan Bank Bumi Daya, Jalan Imam Bonjol. Juga di muka Patung Kereta Kencana dan di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan.

Sore harinya, ketika meninggalkan Istana Negara menuju kediaman resmi di Jalan Diponegoro, rangkaian kendaraan Wapres juga berhenti di lampu merah di perempatan Jalan Imam Bonjol di depan Hotel Mandarin. Padahal, menurut prosedur, Wapres dan rombongan boleh terus melaju. Wuss!

Menurut Hamzah, mandek di depan lampu merah akan terus dilakukannya sampai ada clearing dari pejabat publik. Setelah jelas bahwa ia memang selaku Wapres boleh bebas menembus lampu merah (apalagi di lampu kuning dan hijau), "Baru saya enggak berhenti (lagi) di lampu merah," ujarnya. Wuss, wusss…!

Sudrajat, Sapto Yunus, Agus Raharjo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus