Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menguji Wewenang Menteri

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang ketidaklayakan proyek reklamasi pantai Jakarta kandas

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pesan pendek yang masuk ke telepon genggam Nabiel Makarim, Rabu pekan silam, sungguh menusuk hati. Isinya mengabarkan bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup itu kalah dalam perkara proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta yang digelar di pengadilan tata usaha negara. Dia dinilai tidak berwenang mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proyek raksasa ini. Nabiel hanya bisa mengelus dada. "Saya sakit hati," katanya.

Di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sang Menteri memang kalah telak. Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003 yang dikeluarkannya dianggap tidak sah. Surat keputusan ini menyatakan bahwa rencana kegiatan reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta tidak layak berdasarkan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di situ juga dicantumkan pelarangan kepada sejumlah instansi untuk memberikan izin pelaksanaan proyek reklamasi pantai utara. Nah, oleh majelis hakim yang dipimpin Edy Nurjono, surat keputusan tersebut dinilai cacat hukum dan, karena itu, harus dicabut.

Alasannya? Kebijakan Nabiel dianggap bertubrukan dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta. "Sebagai bawahan presiden, seorang menteri seharusnya mendukung kebijakan atasannya," ucap hakim dalam amar putusannya.

Kekalahan Nabiel bermula dari gugatan enam perusahaan yang dilayangkan pada Mei tahun lalu. Mereka adalah PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, PT Manggala Krida Yudha, Bakti Bangun Era Mulia, dan PT Taman Harapan Indah. Keenam perusahaan ini telah mendapat izin dari Badan Pelaksana Reklamasi Pantura untuk melakukan reklamasi. Munculnya kebijakan Nabiel membuat mereka merasa dirugikan karena pengurukan yang sudah dilakukan mesti dihentikan. "Kerugiannya cukup besar," ujar Didi Irawadi Syamsudin, kuasa hukum enam perusahaan tersebut, tanpa menyebutkan nilainya. Ia menuturkan, seharusnya, jika sudah direklamasi, lahan itu akan segera bisa dijual dan sebagian uangnya akan dipakai untuk menyubsidi nelayan yang biasa beroperasi di sana.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim membeberkan bahwa wewenang untuk melaksanakan reklamasi berada pada pundak Gubernur DKI Jakarta, yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Disebutkan dalam Keppres No. 52/1995, gubernur bertindak sebagai kepala badan pengendali reklamasi. Itu sebabnya Nabiel dinilai tidak berwenang melarang sejumlah instansi untuk memberikan izin kepada enam perusahaan tersebut berkaitan dengan proyek reklamasi. Menurut majelis hakim, wewenang Menteri Negara Lingkungan Hidup hanya sebatas mengeluarkan amdal dan memberikan masukan kepada presiden.

Diakui oleh Nabiel Makarim, keenam perusahaan tersebut sudah mengantongi hasil amdal DKI Jakarta. Hanya, ia menegaskan bahwa reklamasi pantai sepanjang 32 kilometer tersebut melibatkan pula Provinsi Banten dan Jawa Barat. Itu sebabnya kewenangan untuk menguji dampak lingkungan proyek tersebut sebenarnya berada di Komisi Amdal Pusat, di bawah Kementerian Lingkungan Hidup.

Kewenangan Menteri Lingkungan Hidup berkaitan dengan amdal dijamin oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Di situ dinyatakan bahwa sang menteri berwenang menetapkan keputusan ketidaklayakan proyek dari hasil analisis dampak lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup juga bisa meminta sejumlah instansi menolak mengeluarkan perizinan.

Sejak awal, Nabiel tak mengerti kenapa keenam perusahaan itu menggugat keputusan yang dibuatnya. Soalnya, yang menjadi obyek kebijakan yang dituangkan dalam surat keputusan tersebut adalah rencana kegiatan reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta yang diprakarsai Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Baik dalam urusan amdal maupun perizinan, perusahaan-perusahaan itu berhubungan langsung dengan badan pelaksana tersebut. Jadi, "Keputusan menteri itu tidak ada hubungannya dengan keenam proyek milik penggugat," kata Nabiel.

Dengan sejumlah alasan itu, akhirnya Kementerian Lingkungan Hidup memutuskan untuk mengajukan banding. "Keputusan ini seperti melucuti kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup," ujar Muhamad Assegaf, penasihat hukum Nabiel. Di mata dia, putusan itu sama dengan menghilangkan kewenangan menteri untuk mencegah hal yang membahayakan. Padahal ancaman sudah di depan mata, dalam proyek reklamasi dibutuhkan tanah 330 juta meter kubik untuk pengurukan. Tanah ini akan diambil dari lokasi di luar Jakarta.

Putusan hakim juga bisa menciptakan preseden yang buruk: hasil amdal dapat dianulir oleh sidang peradilan. Padahal, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Longgena Ginting, dokumen amdal merupakan dokumen ilmiah yang semestinya tidak bisa digugat lewat pengadilan. Jadi, "Pengadilan telah mengadili sesuatu yang bukan kewenangannya," ujar Longgena. Ia juga mengungkapkan bahwa gugatan keenam perusahaan tersebut salah alamat. Seharusnya mereka menggugat badan pelaksana proyek tersebut karena desain amdalnya tidak disetujui oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Putusan pengadilan itu tidak menutup jalan menuju perundingan. Keenam perusahaan tersebut menyatakan masih bersedia duduk satu meja dengan Menteri Lingkungan Hidup. "Jika Menteri menyiapkan konsep redesain, mari kita bahas bersama," ujar Didi Irawadi.

Akhirnya Nabiel pun bersedia menempuh jalan damai. Syaratnya satu: para pengusaha itu tidak bersikukuh pada desain awal yang sudah dinilai tak layak amdal.

Juli Hantoro, Andi Dewanto (Tempo News Room)


Impian Sepanjang 30 Kilometer

Inilah proyek yang mengundang silang sengketa. Lewat reklamasi, tepi Pantai Utara Jakarta akan dimajukan sepanjang sekitar 30 kilometer dari wilayah Tangerang sampai Bekasi. Untuk pengurukan pantai, diperlukan lahan sekitar 2.500 hektare.

Kelak, kawasan hasil reklamasi akan dibagi tiga:

  1. Zona Barat: Pantai Indah Kapuk, Pluit, Pantai Mutiara, dan Muara Angke, diproyeksi untuk permukiman.
  2. Zona Tengah: Sunda Kelapa, Ancol, Kemayoran, diperuntukkan bagi kawasan perdagangan.
  3. Zona Timur: Tanjung Priok, direncanakan untuk pelabuhan, gudang, dan pusat distribusi

Dampak yang muncul:

  • Diprediksi, perubahan garis pantai akan menaikkan suhu air laut sekitar 3-4 derajat Celsius. Ini bisa mengancam flora dan fauna di Teluk Jakarta.
  • Air sungai yang bermuara di pantai akan melamban dan endapan lumpur akan kian menumpuk.
  • Bisa menimbulkan konflik sosial karena nelayan tradisional di kawasan tersebut bakal tergusur.

Jejak Sengketa

19 Februari 2003
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, mengeluarkan Surat Keputusan No. 14 Tahun 2003 tentang ketidaklayakan kegiatan reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Dasarnya, proyek seluas 2.700 hektare sepanjang 32 kilometer itu tidak lolos analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

14 Mei 2003
Enam perusahaan pelaksana proyek reklamasi pantai utara, terdiri dari PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT Jakarta Propertindo, menggugat Kementerian Lingkungan atas keluarnya keputusan tersebut.

20 Agustus 2003
Empat lembaga swadaya masyarakat—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)—berdiri di belakang Nabiel. Mereka meminta intervensi dengan mengajukan diri sebagai tergugat. Permintaan ini disetujui hakim.

3 September 2003
Forum Pantai Tuntutan Rakyat (Pantura), yang anggotanya terdiri dari para warga Kalibaru Cilincing, Jakarta Utara, ikut mengajukan intervensi sebagai penggugat. Mereka memihak enam pengusaha yang menggugat Nabiel. Mereka menilai reklamasi diperlukan untuk menata pantai yang sudah rusak. Hakim juga mengabulkan permintaan ini.

10 Desember 2003
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno, mengeluarkan surat No. 01.01-MN/755 tentang dukungan atas keputusan yang diambil Nabiel Makarim. Ia mengatakan, jalan hukum diperlukan demi menjamin kesesuaian izin dan peruntukan amdal.

11 Februari 2004
Hakim memenangkan gugatan enam perusahaan pengelola proyek reklamasi atas keputusan yang dibuat Nabiel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus