Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burung Karet Pembawa Maut |
KISAH cinta dibawa mati, itu tentu mengharukan. Tapi kalau yang mati hanya sepihak dan yang lainnya tak bersedih, itu tentu kisah tragis. Nah, jika yang terlibat percintaan adalah insan sejenis dan yang satu tak sadar terhadap hubungan ganjil itu, ini tentu ada unsur dagelan.
Begini ceritanya. Beberapa tahun lalu, Rusinah, 30 tahun, bertemu Munawarah, 28 tahun, di tempat penampungan tenaga kerja Indonesia, Jakarta, saat mereka sedang menunggu pemanggilan ke luar negeri.
Bagi Munawarah, warga Desa Kebonwage, Magelang, Jawa Tengah, Rusinah adalah sosok yang aneh. Ia perempuan, tapi berkelakuan seperti laki-laki. Tapi entah mengapa, Munawarah tertarik pada Rusinah. Apalagi, seorang kerabat Rusinah pernah membisiki Munawarah bahwa saudaranya itu sebenarnya laki-laki. Dan karena bekal pendidikan tak cukup, hanya bermodal informasi itu, Munawarah kepincut. Hubungan cinta keduanya pun berlanjut.
Dua tahun kemudian, cinta yang sempat tertahan akibat keduanya terpisah oleh karir sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi itu berlanjut. Rusinah, warga Dusun Nduren, Semarang, rajin mengunjungi Munawarah di kampung. Selain itu, Rusinah telah berganti nama menjadi Rusnadi. Asmara tak terbendung. Keduanya lalu menikah 28 Desember 1998 lalu, dan pindah ke rumah kontrakan di Ampel, Boyolali.
Tapi dasar hubungan tak wajar, hubungan suami-istri antara mereka berdua pun rada ganjil. Munawarah selalu bertanya-tanya dalam hati, mengapa setiap kali mereka ngamar, Rusnadi selalu minta lampu kamar dimatikan. Selain itu, suaminya juga rajin mengenakan korset.
Belakangan kecurigaan itu malah mendapat konfirmasi. Seorang kerabat Rusnadi mengabarkan bahwa Rus sebenarnya perempuan tulen. "Kalau tidak percaya, cubit saja burung suamimu jika sedang berhubungan badan," kata sang kerabat. "Ia pasti tak kesakitan."
Ketika dipraktekkan, info itu ternyata betul. Munawarah semakin yakin bahwa suaminya itu memang perempuan tulen. Apalagi, kalau ditanya, Rus cuma membisu sambil menyodorkan kliping berita artis Dorce saat ganti kelamin.
Amarah pun memuncak. Munawarah akhirnya kabur ke rumah orang tuanya di Bandongan. Berita ganjil tentang suami Munawarah itu seketika menjalar ke pelosok desa.
Sial bagi Rusnadi. Saat datang untuk menjemput istrinya, bukan pintu rumah yang dibuka, ia malahan dikepung massa. Rusnadi, yang kepepet, lalu kabur. Kejar-kejaran seperti adegan sinetron pun terjadi. Tapi itu tak lama. Di Desa Parakaji, Rusnadi tertangkap. Ia diminta mengaku bahwa dirinya perempuan. Karena menolak, massa semakin beringas. Pakaian Rus dicopot satu demi satu. "Burung" yang selama ini digunakan Rus untuk berhubungan badan ditarik dan, plak , copot. Lalu, ketahuanlah bahwa alat kelamin itu ternyata terbuat dari selembar ban dalam sepeda warna hitam yang digulung sepanjang kurang lebih 15 sentimeter dengan diameter 3 sentimeter, lalu dilapisi kondom.
Warga yang telanjur naik pitam langsung menghajar laki-laki, eh, perempuan malang itu hingga pingsan. Oleh polisi Bandongan, Rusnadi alias Rusinah ini dibawa ke Rumah Sakit Magelang. Tapi malang, nyawanya tak terselamatkan.
Munawarah sendiri kini cuma bisa termenung. Ia tak habis pikir kenapa bisa jatuh cinta pada teman sejenis. "Mungkin saya dipelet," katanya kepada wartawan TEMPO, L.N. Idayanie, lirih. Lain kali mestinya ia lebih teliti memeriksa soal "perkakas" penting itu.
Kiamat Pembawa Penjara |
Banyak orang meramal kiamat. Tapi kalau sampai masuk bui, itu rasanya hanya terjadi pada Syamsuri. Dukun asal Desa Sendangrejo, Banyuwangi, Jawa Timur, itu memang sial. Akibat ramalannya, Pengadilan Negeri Banyuwangi menjatuhkan vonis 11 bulan penjara. "Karena ramalannya itu, masyarakat menjadi resah," ujar Hery Supriyono, ketua majelis hakim pengadilan Syamsuri, kepada Zed Abidien dari TEMPO.
Meresahkan? Begitulah. Yang diramal duda beranak sepuluh itu memang bukan sesuatu yang baru. Ia menujumkan, pada 9 September 1999 lalu akan terjadi kiamat. "Info" itu, akunya, didapat dari Bung Karno, yang membisikinya saat ia tengah bertapa di Gua Istana, Alas Purwo, Banyuwangi. Menurut bisikan itu, pada hari yang sering disingkat menjadi 9-9-99 itu akan ada upacara penancapan bendera merah-putih di Gua Istana. Tak tanggung-tanggung, upacara yang akan diikuti seribu orang itu juga akan dihadiri Bung Karno dan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton. Sayang sekali, baik Bung Karno maupun Clinton itu tak bisa dikonfirmasi TEMPO untuk dimintai tanggapan.
Yang pasti, menurut Syamsuri, saat upacara itulah kiamat akan terjadi. Seluruh bumi akan luluh-lantak kecuali 3.333 orang yang mengungsi ke Gunung Srawet, sebuah tempat pertapaan lain yang ditunjuk Syamsuri.
Sejak itu, masyarakat berbondong-bondong pergi ke sana. Menurut keterangan Kepala Kepolisian Sektor Bangorejo, Letnan Satu Mustomo, paling tidak 200 orang telah datang ke tempat itu seraya membangun gubuk-gubuk darurat. "Ada yang sampai menjual harta bendanya," kata Mustomo. Tentu saja, ketika hari H itu datang, bumi adem ayem. Syamsuri pun diringkus polisi. Selain karena dituduh meresahkan, ia juga dianggap menghina agama.
Syamsuri tentu saja menyangkal semua tuduhan hakim. Menurut dia, ia tidak meresahkan masyarakat. "Pengungsian" massal yang terjadi pun, menurut dia, karena media massa terlalu membesar-besarkan ramalannya. Tapi, Syamsuri percaya ada orang yang bisa kebal kiamat alias hidup abadi. "Saya percaya ada kehidupan yang langgeng asal kita berdoa sungguh-sungguh," kata penasihat para penganut aliran kebatinan yang tergabung dalam Yayasan Merah Putih ini.
Yang pasti, setelah kejadian ini, kiamat kecil terjadi pada keluarga Syamsuri. Ia meringkuk di sel dingin dan sepuluh anaknya telantar karena tak punya tumpuan hidup. "Saya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak saya kini," ujar Syamsuri, lesu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo