INI kabar buruk buat wakil rakyat. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pusat ataupun di daerah (DPRD) kini tak boleh merangkap jabatan sebagai pengacara di pengadilan. Setidaknya itulah larangan dari Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, Selasa pekan lalu, terhadap Herman Abdurrachman, anggota DPRD Yogyakarta yang membela sebuah perkara narkotik.
Tentu saja penetapan pengadilan yang kontroversial itu tak muncul dengan mulus, tapi lebih dulu diwarnai perdebatan sengit antara Herman dan majelis hakim yang diketuai Nyonya Sri Hardjanti. Semula, Herman, yang telah menjadi anggota DPRD sejak 1992—bahkan pernah menjadi Ketua DPRD Yogyakarta—bertindak sebagai pengacara bagi Setyawan Hari Purnomo. Terdakwa ini diadili karena memiliki tiga gram heroin, 38 butir ekstasi, 36,8 gram ganja kering, dan 13 butir pil koplo.
Namun, sebelum Jaksa Bambang Sudirohusodo mengajukan tuntutan hukum, Senin dua pekan lalu, pihak penuntut itu meminta agar majelis hakim memutuskan masalah kualitas Herman selaku pengacara. Sebab, sesuai dengan Pasal 41 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, dan DPRD, keanggotaan DPR dan DPRD tak boleh dirangkap dengan jabatan apa pun di lingkungan pemerintahan dan peradilan. Jabatan di lingkungan peradilan itu, kata Bambang, termasuk pengacara.
Herman langsung menyangkal keterangan Bambang Sudirohusudo itu. Menurut Herman, jabatan peradilan yang tak boleh dirangkap oleh anggota DPRD adalah hakim, jaksa, atau panitera. Sedangkan jabatan pengacara sebagai profesi swasta tak termasuk dalam kategori itu. Artinya, anggota DPR ataupun DPRD tak dilarang menjadi pengacara.
Rupanya, majelis hakim tak bisa segera memutuskan polemik itu. Sidang pun ditunda sampai dua kali. Soalnya, majelis hakim mesti mengonsultasikan masalah tersebut kepada ketua pengadilan negeri, kemudian kepada ketua pengadilan tinggi. Baru pada Selasa itu, majelis hakim mengabulkan keberatan jaksa.
Walhasil, Herman, yang juga Ketua Partai Persatuan Pembangunan Cabang Sleman, dilarang mendampingi terdakwa Setyawan. ''Larangan itu juga dimaksudkan agar tugas Herman sebagai anggota DPRD tidak terganggu," ujar Hakim Ny. Sri Hardjanti, yang tiga bulan lagi akan pensiun.
Herman tampak tenang-tenang saja. Ia tetap duduk di samping terdakwa. Selain mengajukan banding atas penetapan itu, Herman menduga statusnya diributkan karena jaksa takut kasus pemerasan Rp 10 juta kepada terdakwa akan dibongkar Herman. Belakangan, jaksa memang menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun penjara plus denda Rp 10 juta.
Melihat sikap Herman, majelis hakim rupanya tak ''tega" mengusir pengacara itu dari kursi di dekat terdakwa. ''Kami masih punya etika untuk tidak mempermalukan Herman sebagai anggota DPRD," begitu alasan Ny. Sri Hardjanti.
Yang jelas, pendapat pengadilan itu ditentang oleh kalangan DPR. Selain kerja rangkap tidak resmi dilarang, di tingkat pusat pun banyak anggota DPR yang berprofesi sebagai pengacara. Bahkan, beberapa waktu lalu, anggota DPR kawakan seperti Albert Hasibuan juga berkiprah sebagai pengacara mahal. Albert pun pernah ikut mewakili pemerintah untuk membela kasus Pertamina di pengadilan Singapura.
Bagi Hamdan Zoelva, anggota DPR dari Fraksi Bulan Bintang, yang juga pengacara, sikap hakim di Sleman itu terhitung kekeliruan besar. Sebab, pengacara tak termasuk pejabat peradilan yang diatur dalam pasal 41 ayat 2 itu. ''Penafsiran hakim itu ngawur," ucapnya.
Kalaupun ditelisik hubungan antara keanggotaan DPR ataupun DPRD dan tugas pengacara, kata Hamdan, itu paling banter lebih menyangkut masalah etika. ''Saya sendiri, setelah menjadi anggota DPR, mesti mempertimbangkan untuk tidak membela perkara yang bisa menimbulkan konflik kepentingan dengan jabatan saya," tuturnya.
Perkara yang menyangkut konglomerat atau kredit macet, umpamanya, kata Hamdan, tak perlu ditangani oleh pengacara yang anggota DPR. Soalnya, perkara semacam itu merupakan isu nasional dan acap disorot DPR. Tapi, ''Kalau perkara narkotik yang dibela Herman cuma kejahatan biasa, tak ada hubungannya dengan politik, mestinya tak ada masalah," katanya.
Hamdan sendiri mengaku tak lagi turun langsung ke pengadilan. Perkara-perkara yang ditangani kantor pengacaranya kini dibela oleh kolega di kantornya itu.
Sementara itu, Satya Arinanto dari Universitas Indonesia berpendapat, jabatan rangkap anggota DPR/DPRD dan pengacara tidak hanya menyangkut masalah etika, tapi juga terkait dengan soal waktu wakil rakyat yang tersita dan tanggung jawab anggota DPR/DPRD untuk melaksanakan aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, Satya masih menolerir bila wakil rakyat hanya merangkap tugas selaku konsultan hukum, bukan pengacara yang beroperasi di pengadilan.
Hp.S., L.N. Idayanie (Yogyakarta), dan Darmawan Sepriyossa (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini