BEKAS penduduk Simprug yang kena gusur haknya boleh merasa
gembira di kampungnya yang baru: Kampung Rawa. Rumah-rumah baru
seragam model jengki di tanah kapling, genteng kodok, ubin
teraso dan sedikitnya berkendaraan Honda di samping ada juga
yang bermobil. Tampaknya mereka sudah melupakan itu sengketa
dengan PT Berdikari, ihwal kasus keributan jual-beli tanah
rakyat yang sempat menjadi berita ramai. Begini cerita
singkatnya. Pada mulanya PT Berdikri sebagai kontraktor
menganggap tugasnya sudah selesai setelah lunas membayar tanah
guna membangun rumah-rumah mewah di Simprug semahal Rp 100 juta.
Tentu saja rakyat di sana yang kena gusur tidak mau ambil pusing
dengan jumlah uang sebesar itu. Yang mereka tuntut adalah agar
tanah mereka yang diambil-alih dibayar Rp 7.500 semeter.
Embel-embel. Ketidakcocokan harga itulah pangkal sengketa yang
nyaris berlarut-larut, sampai ada tangan lagi yang masuk.
Seperti diakui sendiri oleh, direktur Berdikari, Anton Haliman,
"kalau tidak ada LBH, saya kira sampa sekarang saya masih harus
berurusa dengan penduduk". Kendati campur tangan fihak ketiga
itu bukan jaminan adanya timbangan keadilan, setidaknya bagi
keuangan kontraktor. Dilihat sepintas lalu harga tanah di
Simprug belum sampai mcncapai yang dituntut penduduk, tapi
sekitar Rp 5.000-an semeter ketika itu. Dan harga tuntutan yang
akhirnya dipenuhi itu kabarnya masih perlu dibebani embel-embel
harga-harga lain yang semua jadi tanggungan Berdikri.
Alhasil, itu Berdikari menurut cerita Haliman, harus memenuhi
dulu isi perjanjian bahwa di samping harga tanah, fihak
kontraktor juga diharuskan membeli bangunan di atasnya, baik
yang permanen maupun yang berstatus bilik darurat. Lalu ongkos
pemindahan ke tempat penampungan juga bukan beban yang harus
pindah. Tapi dijual kepada calon penghuni yang dari Simprug
hanya Rp 3.000 semeter. Sedang untuk mengosongkan tanah-tanah
yang dikuasai penduduk Kampung Rawa, sang kontraktor perlu
mengeluarkan rata-rata Rp 4.000 semeter. Tidak sampai di situ.
Karena Berdikari yang menaksir luas tanah penampungan sudah
cukup dengan 3 hektar, ternyata perlu membeli sampai 6 hektar.
Apa pasal? Soalnya PT itu masih diganduli beban pembelian tanah
untuk keperluan jalan yang selebar jaIanjalan utama ibukota: 10
meter. Maih ada lagi. Pengadaan listrik, air leleng, pendirian
masjid dan balai pertemuan masuk daftar tanggungan kontraktor.
Dan bagaikan ditimpa balok, itu Berdikari yang tadinya mengira
cukup menyediakan 100 kapling penampungan, juga diminta
menyediakan 120 kapling lain oleh penduduk asli sana. Tentu saja
dengan harga kapling Rp 3.000 semeter, sehingga penduduk yang
tadinya menerima imbalan Rp 4.000 bisa menyisihkan Rp 1.000
setiap mete tanah yang dijual.
Ilmu kontrak. Total jenderal harga tanah Simprug dan yang di
Kampung Rawa, setelah dihitung-hitung, akhirnya mendaki sampai
Rp 17.500 semeter. Bagi Haliman yang kepalang basah, dia merasa
sudah tidak bisa mundur lagi. Akalpun diputar bagaimana caranya
untuk toh bisa uulung. Dan bagaikan mendapat ilham, lia teringat
akan pemeo Ali Sadikin "yang kuat harus membantu yang lemah'|.
Meskipun tidak luput dari keluh-kesah, setelah sekian lama
bersakit-sakit, Haliman tiba pada putusan bulat, "bikin dulu
satelitnya, baru membangun kotanya". Dengan kata lain, cara
sebaiknya dalam ilmu pengosongan tanah, adalah menyediakan dulu
penampungan sebaik-baiknya, kemudian baru mengketok yang kaya
dengan puluhan juta untuk memiliki sebuah istana yang disebut
modern housing.
Agaknya fihak DKI boleh menambah ilmu pada Haliman dalam hal
praktek menggusur dan membangun rumah. Kalau saja cara-cara
pengosongan tanah milik penduduk untuk keperluan proyek-proyek
industri dan perkampungan mewah mirip dengan gaya Berdikari,
agaknya DKI sudah melakukan metode baru dalam membangun
daerahnya. Sementara itu masih ada uluran tangan yang diminta
dari DKI. Bagi mereka yang di luar mimpinya bak mendapat lurian
runtuh, ada yang perlu diurus setelah rumah-rumah mereka jauh
lebih "keren" dari bakal perumahan wartawan di Cipinang Muara:
soal perawatan. Rumah-rumah baru penduduk yang berkisar antara 3
sampai 15 juta rupiah itu setidaknya butuh uang untuk
merawatnya. Kalau dianut standar internasional konon biaya
perawatan memakan 10% dari harga bangunan. Maka melihat
pendapatan penduduk tidak sepadan dihanding harga rumahnya,
fihak DKI agakIlya perlu memikirkan bagaimana agar orang-orahg
yang sudah naik gengsinya itu tidak tergeser ke pinggir lagi
dengan jalan terpaksa menjual miliknya akibat dililit hutang.
Ada yang mengusulkan, agar uang ganti pengosongan rumah penduduk
itu sebaiknya tidak diserahkan sekaligus. Tapi sebagian
disisipkan dalam bentuk membeli saham-saham perusahaan milik
negara, agar kelak anak-anaknya sempat pakai dasi menikmati
jerih payah orang t uanya. Tapi kalau soal beli-membeli saham
itu dipandang banyak rumitnya, ada satu jalan keluar yang sampai
sekarang cukup populer sampai di kalangan orang yang punya
gedong- membuat rumah lain yang lebih murah, sementara yang baru
dikontrakkan kepada orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini