Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ini Baru Penampungan

Sistem menggusur dan membangun rumah dilaksanakan PT Berdikri terhadap penduduk Simprug, Jakarta. Penampungan baru bagi yang kena gusur tak terjangkau, karena rumah penampungan sangat mahal.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS penduduk Simprug yang kena gusur haknya boleh merasa gembira di kampungnya yang baru: Kampung Rawa. Rumah-rumah baru seragam model jengki di tanah kapling, genteng kodok, ubin teraso dan sedikitnya berkendaraan Honda di samping ada juga yang bermobil. Tampaknya mereka sudah melupakan itu sengketa dengan PT Berdikari, ihwal kasus keributan jual-beli tanah rakyat yang sempat menjadi berita ramai. Begini cerita singkatnya. Pada mulanya PT Berdikri sebagai kontraktor menganggap tugasnya sudah selesai setelah lunas membayar tanah guna membangun rumah-rumah mewah di Simprug semahal Rp 100 juta. Tentu saja rakyat di sana yang kena gusur tidak mau ambil pusing dengan jumlah uang sebesar itu. Yang mereka tuntut adalah agar tanah mereka yang diambil-alih dibayar Rp 7.500 semeter. Embel-embel. Ketidakcocokan harga itulah pangkal sengketa yang nyaris berlarut-larut, sampai ada tangan lagi yang masuk. Seperti diakui sendiri oleh, direktur Berdikari, Anton Haliman, "kalau tidak ada LBH, saya kira sampa sekarang saya masih harus berurusa dengan penduduk". Kendati campur tangan fihak ketiga itu bukan jaminan adanya timbangan keadilan, setidaknya bagi keuangan kontraktor. Dilihat sepintas lalu harga tanah di Simprug belum sampai mcncapai yang dituntut penduduk, tapi sekitar Rp 5.000-an semeter ketika itu. Dan harga tuntutan yang akhirnya dipenuhi itu kabarnya masih perlu dibebani embel-embel harga-harga lain yang semua jadi tanggungan Berdikri. Alhasil, itu Berdikari menurut cerita Haliman, harus memenuhi dulu isi perjanjian bahwa di samping harga tanah, fihak kontraktor juga diharuskan membeli bangunan di atasnya, baik yang permanen maupun yang berstatus bilik darurat. Lalu ongkos pemindahan ke tempat penampungan juga bukan beban yang harus pindah. Tapi dijual kepada calon penghuni yang dari Simprug hanya Rp 3.000 semeter. Sedang untuk mengosongkan tanah-tanah yang dikuasai penduduk Kampung Rawa, sang kontraktor perlu mengeluarkan rata-rata Rp 4.000 semeter. Tidak sampai di situ. Karena Berdikari yang menaksir luas tanah penampungan sudah cukup dengan 3 hektar, ternyata perlu membeli sampai 6 hektar. Apa pasal? Soalnya PT itu masih diganduli beban pembelian tanah untuk keperluan jalan yang selebar jaIanjalan utama ibukota: 10 meter. Maih ada lagi. Pengadaan listrik, air leleng, pendirian masjid dan balai pertemuan masuk daftar tanggungan kontraktor. Dan bagaikan ditimpa balok, itu Berdikari yang tadinya mengira cukup menyediakan 100 kapling penampungan, juga diminta menyediakan 120 kapling lain oleh penduduk asli sana. Tentu saja dengan harga kapling Rp 3.000 semeter, sehingga penduduk yang tadinya menerima imbalan Rp 4.000 bisa menyisihkan Rp 1.000 setiap mete tanah yang dijual. Ilmu kontrak. Total jenderal harga tanah Simprug dan yang di Kampung Rawa, setelah dihitung-hitung, akhirnya mendaki sampai Rp 17.500 semeter. Bagi Haliman yang kepalang basah, dia merasa sudah tidak bisa mundur lagi. Akalpun diputar bagaimana caranya untuk toh bisa uulung. Dan bagaikan mendapat ilham, lia teringat akan pemeo Ali Sadikin "yang kuat harus membantu yang lemah'|. Meskipun tidak luput dari keluh-kesah, setelah sekian lama bersakit-sakit, Haliman tiba pada putusan bulat, "bikin dulu satelitnya, baru membangun kotanya". Dengan kata lain, cara sebaiknya dalam ilmu pengosongan tanah, adalah menyediakan dulu penampungan sebaik-baiknya, kemudian baru mengketok yang kaya dengan puluhan juta untuk memiliki sebuah istana yang disebut modern housing. Agaknya fihak DKI boleh menambah ilmu pada Haliman dalam hal praktek menggusur dan membangun rumah. Kalau saja cara-cara pengosongan tanah milik penduduk untuk keperluan proyek-proyek industri dan perkampungan mewah mirip dengan gaya Berdikari, agaknya DKI sudah melakukan metode baru dalam membangun daerahnya. Sementara itu masih ada uluran tangan yang diminta dari DKI. Bagi mereka yang di luar mimpinya bak mendapat lurian runtuh, ada yang perlu diurus setelah rumah-rumah mereka jauh lebih "keren" dari bakal perumahan wartawan di Cipinang Muara: soal perawatan. Rumah-rumah baru penduduk yang berkisar antara 3 sampai 15 juta rupiah itu setidaknya butuh uang untuk merawatnya. Kalau dianut standar internasional konon biaya perawatan memakan 10% dari harga bangunan. Maka melihat pendapatan penduduk tidak sepadan dihanding harga rumahnya, fihak DKI agakIlya perlu memikirkan bagaimana agar orang-orahg yang sudah naik gengsinya itu tidak tergeser ke pinggir lagi dengan jalan terpaksa menjual miliknya akibat dililit hutang. Ada yang mengusulkan, agar uang ganti pengosongan rumah penduduk itu sebaiknya tidak diserahkan sekaligus. Tapi sebagian disisipkan dalam bentuk membeli saham-saham perusahaan milik negara, agar kelak anak-anaknya sempat pakai dasi menikmati jerih payah orang t uanya. Tapi kalau soal beli-membeli saham itu dipandang banyak rumitnya, ada satu jalan keluar yang sampai sekarang cukup populer sampai di kalangan orang yang punya gedong- membuat rumah lain yang lebih murah, sementara yang baru dikontrakkan kepada orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus