Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Haram Atau Halal Di Cilincing

2 km daratan Pantai Marunda, Cilincing rusak, akibat penggalian pasir. Kerusakan ini mencemaskan Gubernur, lalu keluar larangan untuk menghentikan kegiatan tersebut dan mengalihkan ke tempat lain.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDA bagian Betawi yang Lersohor dengan legenda kaum persilatan, hari belakangan ini muncul satu cerita. Tapi bukan tentang seorang janda kembang yang diusik hidung belang, melainkan mengenai daerah pantainya yang menggawat. Berbeda dengan nasib pantai Padang yang keropos gara-gara digigit bantingan gelombang Samudra Hindia, jalur Maruma-Cilincing rusak lantaran pasir dan harta lautan sekitarnya diboyong ke kota buat bahan bangunan. 1000 m3 sehari. Konon ada duaratus pengusaha pasir - resmi maupun tidak yang beroperasi di daerah Cilincing itu yang giat memindahkan pasir dari pantai menunjang tumbuhnya gedung-gedung yang mencuat ke langit di ibukota. Andi Basa maupun Panjaitan plus saudara-saudaranya dua di antara yang berpangkalan resmi di Kalibaru Tanjung Priok kepada reporter DS Kanna tidak dapat menjelaskan sejak kapan dimulai perburuan pasir yang bikin rusaknya pantai itu. Kami tahu hanya melanjutkan usaha orang tua kami di sini", ujar Andi. Tapi penduduk Jakarta yang pernah bersantai di pantai Cilincing pada tahun 50-an tentu dalam ingatan masih segan gambaran betapa nyamannya daerah itu dengan pohon-pohon kelapa di sekitarnya. Kini cerita semacam itu sudah tinggal kenangan lantaran gelombang yang kian menjilat daratan bagai berkejaran dengan pesatnya tumbuh bangunan di Jakarta. Tidak kurang dari tiga mil pantai dan dua kilometer darat sudah bersalin rupa jadi bagian laut selurunnya serta berupa danau-danauan. Rata-rata pengurasan pasir perhari ditaksir mencapai 1.000 m3. Penderitaan pantai itu tidak berdiri sendiri. Buntutnya ialah giliran jalan raya ikut rusak lantaran truk pasir umumnya suka mengangkut muatan liwat kapasitas. Toh terkuras. Membanglun Jakarta memang tak dimaksud bagai bocah main rumah-rumahan dengan pasir pantai. Usaha pasir dan karang laut itu jelas terbilang punya peranan bagi pembangunan bahkan juga mendatangkan duit buas kas aparat DKI yang bernama Lembaga Kerja Pembangunan Masyarakat Desa Khusus -- disingkal LKPM DKI seperti kata Andi Basa: "Dari tiap pangkalan resmi dipungut retribusi Rp 72 per m3 oleh LKPMDK atau Lurah". Di satu fihak menguntungkan adanya. Di lain fihak toh gubernur Ali Sadikin cemas juga. Sebab gali-menggali itu lambat atau cepat bukaa mustahil bakal mengundang cerita tentang Jakarta kota yang tenggelam. Oleh karena itu dengan satu surat keputusan 22 Desember 1970, diumumkan sebuah larangan mengambil batu karang, pasir, batu, krikil serta bahan lain yang sejenis dari pulau, beting ataupun tebing serta pantai tersebut. Selesaikah urusan? Ternyata belum. Larangan boleh ada. Namun penggalian pasir pun masih ada. Surat keputusan kedua menyusul pada 10 Maret 1971. Muara Karang di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan dan wilayah Kelurahan Pulau Panggang - Kecamatan Pulau Seribu, ditunjuk oleh gubernur sebagai tempat yang diizinkan buat dikorek pasir dan dicomot batu-batuannya. Di wilayah yang sudah berizin itu, yang pasir atau yang batu jika dikuras tiap hari tentu bukannya bakal berbiak atau beranak, melainkan bakal punah. Habis di tempat ini bukan halangan bagi pemburu pasir itu buat menghentikan kegiatan. Kemana mereka menoleh? Ya, ke Cilincing lagi, meski ini diketahui daerah tabu. Barangkali terkesiap juga oleh melekatnya pemburu-pemburu pasir itu, pada mulanya Lurah Cilincing tak berbuat suatu apa. Namun lambat-laun, gerah juga herau oleh lirikan masyarakat setempat, gara-gara jalan raya yang dilalui truk -- yang merupakan swadaya penduh!k, menjadi rusak. Maka pak Lurah mencoba melayangkan sepucuk surat kepada Camat Koja. Itu terjadi 19 September 1972. Secara berantai urusannya sampai kepada Walikota Jakarta Utara. Baru dari sini para kamtib alias petugas keamanan ketertiban urun tangan. Meskipun kemudian para pelanggar aturan itu dapat dihalau, toh pantai sempat terkul as sepanjang 300 m. Sahabat pena. Tapi kisah perburuan pasir masil1bagai cerita bersambung: Dilarang di tempat yang memang terlarang menurut keputusan gubernur, mereka pindah ke tempat lain. Kali ini ke pantai Jaun. Dalam hitungan pemburu pasir itu, Jaun aman adanya: "Itu daerah Bekasi. Kami dapat izin dari Camat Cilincing Kabupaten Bekasi" ujar seorang dari enam pengusaha yang beroleh restu dari camat Cilincing Bekasi - Hasan Sukawardaya. Izin diberikan camat Hasan atas dasar surat bupati Bekasi 21 Juli 1973, No. 4280/VIII-I/Pej/1973 yang menguasakan camat memungut retribusi sebesar Rp 125 tiap perahu. Pasir dari Jaun itu diangkut ke Kalibaru. Tapi kegiatan ini serentak tercium oleh walikota Jakarta Utara, yang konon mengeluarkan larangan. Tentu saja enam sekawan pemburu pasir ini yang tadinya tenteram sudah mengantongi izin jadi bingung. Larangan walikota Jakarta Utara itu didasarkan alasan: pantai Jaun terhitung dalam wilayah Kelurahan Cilincing, Kecamatan Koja DKI Jaya. Dengan begitu masih termasuk dalam kerangka wilayah terlarang. Ini bikin berduka camat Hasan Sukawardaya. Maka 13 Agustus 1973 ia kirim surat kepada walikota Jakarta Utara. Pada pokoknya camat Hasan menjelaskan tentang kuasa yang didapatnya dari bupati Bekasi dan bahwa Jaun merupakan bilangan Bekasi. Surat camat Cilincing bagian Bekasi itu disahut dengan surat camat Cilincing bagian DKI Jaya 22. Agustus 1973. Antaranya diterangkan bahwa tempat penggalian pasir itu masuk wilayah hukum DKI. Di tunjuknya surat keputusan gubernur DKI No. 1 b.3/1/30/69 tentang perubahan batas dan nama wilayah administrasi pemerintah daerah ibukota, sesuai dengan peta yang ada pada Kelurahan Cilincing DKI, yaitu batas Kelurahan Cilincing DKI, sebelah timur ialah Blencong, Kali Jaun termasuk Pulau Beting. Lima hari kemudian camat Hasan melayangkan surat lagi yang minta selembar peta DKI termaksud. Menurut Hasan, sesuai dengan peta yang ada pada Kabupaten Bekasi Jawabarat, wilayah DKI yang berbatasan dengan Bekasi adalah Kali Blencong dan Kali Ketapang - sebelah barat. Penggalian pasir itu dilakukan di timur Kali Blencong alias wilayah Bekasi. Ketika surat-menyurat yang berjalan lancar bagai sahabat pena bersahut-sahutan itu, lahir satu surat keputusan gubernur DKI No. D.IV-a.19/1/13/73, yang menunjuk pantai Cilincing sepanyang tiga kilometer, mulai Kalibaru Cilincing sampai dengan pantai Jaun wilayah Jakarta Utara sebagai tempat halal buat pengambilan pasir. Nampaknya urusan mengharamkan maupun menghalalkan Penggalian pasir laut ini, di samping jelas sudah bikin peyot garis-garis daratan dan pantai Cilincing, nyaris pula menjadi sengketa batas wilayah. Kata camat Hasan dari Cilincing Bekasi "Bagi kami tak soal apakah ini wilayah DKI, terserah pembicaraan antara para atasan DKI dengan Bekasi. Tapi selesaikanlah dengan baik-baik".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus