DUDA bagian Betawi yang Lersohor dengan legenda kaum persilatan,
hari belakangan ini muncul satu cerita. Tapi bukan tentang
seorang janda kembang yang diusik hidung belang, melainkan
mengenai daerah pantainya yang menggawat. Berbeda dengan nasib
pantai Padang yang keropos gara-gara digigit bantingan gelombang
Samudra Hindia, jalur Maruma-Cilincing rusak lantaran pasir dan
harta lautan sekitarnya diboyong ke kota buat bahan bangunan.
1000 m3 sehari. Konon ada duaratus pengusaha pasir - resmi
maupun tidak yang beroperasi di daerah Cilincing itu yang giat
memindahkan pasir dari pantai menunjang tumbuhnya gedung-gedung
yang mencuat ke langit di ibukota. Andi Basa maupun Panjaitan
plus saudara-saudaranya dua di antara yang berpangkalan resmi di
Kalibaru Tanjung Priok kepada reporter DS Kanna tidak dapat
menjelaskan sejak kapan dimulai perburuan pasir yang bikin
rusaknya pantai itu. Kami tahu hanya melanjutkan usaha orang tua
kami di sini", ujar Andi. Tapi penduduk Jakarta yang pernah
bersantai di pantai Cilincing pada tahun 50-an tentu dalam
ingatan masih segan gambaran betapa nyamannya daerah itu dengan
pohon-pohon kelapa di sekitarnya.
Kini cerita semacam itu sudah tinggal kenangan lantaran
gelombang yang kian menjilat daratan bagai berkejaran dengan
pesatnya tumbuh bangunan di Jakarta. Tidak kurang dari tiga mil
pantai dan dua kilometer darat sudah bersalin rupa jadi bagian
laut selurunnya serta berupa danau-danauan. Rata-rata pengurasan
pasir perhari ditaksir mencapai 1.000 m3. Penderitaan pantai itu
tidak berdiri sendiri. Buntutnya ialah giliran jalan raya ikut
rusak lantaran truk pasir umumnya suka mengangkut muatan liwat
kapasitas.
Toh terkuras. Membanglun Jakarta memang tak dimaksud bagai bocah
main rumah-rumahan dengan pasir pantai. Usaha pasir dan karang
laut itu jelas terbilang punya peranan bagi pembangunan bahkan
juga mendatangkan duit buas kas aparat DKI yang bernama Lembaga
Kerja Pembangunan Masyarakat Desa Khusus -- disingkal LKPM DKI
seperti kata Andi Basa: "Dari tiap pangkalan resmi dipungut
retribusi Rp 72 per m3 oleh LKPMDK atau Lurah". Di satu fihak
menguntungkan adanya. Di lain fihak toh gubernur Ali Sadikin
cemas juga. Sebab gali-menggali itu lambat atau cepat bukaa
mustahil bakal mengundang cerita tentang Jakarta kota yang
tenggelam. Oleh karena itu dengan satu surat keputusan 22
Desember 1970, diumumkan sebuah larangan mengambil batu karang,
pasir, batu, krikil serta bahan lain yang sejenis dari pulau,
beting ataupun tebing serta pantai tersebut. Selesaikah urusan?
Ternyata belum. Larangan boleh ada. Namun penggalian pasir pun
masih ada. Surat keputusan kedua menyusul pada 10 Maret 1971.
Muara Karang di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan dan
wilayah Kelurahan Pulau Panggang - Kecamatan Pulau Seribu,
ditunjuk oleh gubernur sebagai tempat yang diizinkan buat
dikorek pasir dan dicomot batu-batuannya. Di wilayah yang sudah
berizin itu, yang pasir atau yang batu jika dikuras tiap hari
tentu bukannya bakal berbiak atau beranak, melainkan bakal
punah. Habis di tempat ini bukan halangan bagi pemburu pasir itu
buat menghentikan kegiatan. Kemana mereka menoleh? Ya, ke
Cilincing lagi, meski ini diketahui daerah tabu.
Barangkali terkesiap juga oleh melekatnya pemburu-pemburu pasir
itu, pada mulanya Lurah Cilincing tak berbuat suatu apa. Namun
lambat-laun, gerah juga herau oleh lirikan masyarakat setempat,
gara-gara jalan raya yang dilalui truk -- yang merupakan swadaya
penduh!k, menjadi rusak. Maka pak Lurah mencoba melayangkan
sepucuk surat kepada Camat Koja. Itu terjadi 19 September 1972.
Secara berantai urusannya sampai kepada Walikota Jakarta Utara.
Baru dari sini para kamtib alias petugas keamanan ketertiban
urun tangan. Meskipun kemudian para pelanggar aturan itu dapat
dihalau, toh pantai sempat terkul as sepanjang 300 m.
Sahabat pena. Tapi kisah perburuan pasir masil1bagai cerita
bersambung: Dilarang di tempat yang memang terlarang menurut
keputusan gubernur, mereka pindah ke tempat lain. Kali ini ke
pantai Jaun. Dalam hitungan pemburu pasir itu, Jaun aman adanya:
"Itu daerah Bekasi. Kami dapat izin dari Camat Cilincing
Kabupaten Bekasi" ujar seorang dari enam pengusaha yang beroleh
restu dari camat Cilincing Bekasi - Hasan Sukawardaya. Izin
diberikan camat Hasan atas dasar surat bupati Bekasi 21 Juli
1973, No. 4280/VIII-I/Pej/1973 yang menguasakan camat memungut
retribusi sebesar Rp 125 tiap perahu. Pasir dari Jaun itu
diangkut ke Kalibaru. Tapi kegiatan ini serentak tercium oleh
walikota Jakarta Utara, yang konon mengeluarkan larangan. Tentu
saja enam sekawan pemburu pasir ini yang tadinya tenteram sudah
mengantongi izin jadi bingung. Larangan walikota Jakarta Utara
itu didasarkan alasan: pantai Jaun terhitung dalam wilayah
Kelurahan Cilincing, Kecamatan Koja DKI Jaya. Dengan begitu
masih termasuk dalam kerangka wilayah terlarang.
Ini bikin berduka camat Hasan Sukawardaya. Maka 13 Agustus 1973
ia kirim surat kepada walikota Jakarta Utara. Pada pokoknya
camat Hasan menjelaskan tentang kuasa yang didapatnya dari
bupati Bekasi dan bahwa Jaun merupakan bilangan Bekasi. Surat
camat Cilincing bagian Bekasi itu disahut dengan surat camat
Cilincing bagian DKI Jaya 22. Agustus 1973. Antaranya
diterangkan bahwa tempat penggalian pasir itu masuk wilayah
hukum DKI. Di tunjuknya surat keputusan gubernur DKI No. 1
b.3/1/30/69 tentang perubahan batas dan nama wilayah
administrasi pemerintah daerah ibukota, sesuai dengan peta yang
ada pada Kelurahan Cilincing DKI, yaitu batas Kelurahan
Cilincing DKI, sebelah timur ialah Blencong, Kali Jaun termasuk
Pulau Beting. Lima hari kemudian camat Hasan melayangkan surat
lagi yang minta selembar peta DKI termaksud. Menurut Hasan,
sesuai dengan peta yang ada pada Kabupaten Bekasi Jawabarat,
wilayah DKI yang berbatasan dengan Bekasi adalah Kali Blencong
dan Kali Ketapang - sebelah barat. Penggalian pasir itu
dilakukan di timur Kali Blencong alias wilayah Bekasi.
Ketika surat-menyurat yang berjalan lancar bagai sahabat pena
bersahut-sahutan itu, lahir satu surat keputusan gubernur DKI
No. D.IV-a.19/1/13/73, yang menunjuk pantai Cilincing sepanyang
tiga kilometer, mulai Kalibaru Cilincing sampai dengan pantai
Jaun wilayah Jakarta Utara sebagai tempat halal buat pengambilan
pasir. Nampaknya urusan mengharamkan maupun menghalalkan
Penggalian pasir laut ini, di samping jelas sudah bikin peyot
garis-garis daratan dan pantai Cilincing, nyaris pula menjadi
sengketa batas wilayah. Kata camat Hasan dari Cilincing Bekasi
"Bagi kami tak soal apakah ini wilayah DKI, terserah pembicaraan
antara para atasan DKI dengan Bekasi. Tapi selesaikanlah dengan
baik-baik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini