Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

"ruu" haji husin

Haji husin, kepala desa kelebuh, praya, ntb, membuat larangan bagi penduduknya kawin di bawah umur serta ongkos kawin yang berupa emas, kerbau. tindakan ini dilakukan untuk ngerem kemelaratan penduduk.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELEBUH, sebuah desa tani sekecil 10 kmÿFD di kecamatan Praya, NTB barangkali sulit dicari dalam peta dunia. Berpenduduk sekitar 4.000 jiwa -- sebagian besar perempuan dan kanak-kanak -- desa yang setiap panen hanya pandai mengumpulkan 2 ton beras agaknya tidak boleh diliwatkan begitu saja. Desa yang terletak di Lombok Barat di mana pemerintah "bagai ayam mati di lumbung" boleh jadi akibat teori mutu tanah yang memang tidak bermutu. Dalam bahasa Ir Jacob Marjadi, kepala dinas pertanian NTB, "tanah sawah di daerah Lombok Tengah ini merupakan tanah margalit". Tabiat yang margalit ini konon jika ditimpa hujan berubah bagaikan rawa, sebaliknya di musim panas menjelma bak batu-batuan. Namun peranan ikap hidup masarakat setempat tak urung turut melicinkan datangnya bencana kronis itu. Di musim panen rmusim kawin pun merupakan acara yang amat dilazimkan plus pelbagai pesta adat dan keramaian lainnya yang bocor dompet. Dan begitu persediaan beras habis, mereka lazimnya beramai-ramai cerai. Cara kawincerai seperti itu tentu saja tidak dengan sendirinya berarti terhindar dari ancaman hantu-lapar. Sebab ketika lumbung lumbung sudah kosong, gelang-gelan perut mereka itupun makin rajin main keroncong. Biasanya pula, jika sudah memasuki keadaan separah itu, beramai ramai mereka boyong memadati kota Mataram, Cakranegara dan Ampenan. Gaya hidup yang sesuka hati itu selama dua tahun belakangan ini sudah dicoba untuk direm. Sedikitnya, begitu usaha yang dilakukan kepala desa Kelebuh, Haji Husim. Bekas anggota DPRD Lombok Tengah itu, di samping menganjurkan hidup hemat, juga mencontohkan sikap hidupnya sendiri sebagai orang santri. Satu upaya yang sudah dilakukan wak haji: "Penduduk tidak saya izinkan kawin kalau belum umur 18 bagi wanita dan minimal 20 bagi laki-laki", tuturnya. Alasannya agar anak yang kelak nongol tidak lantas jadi calon gelandangan. Adakah dipatuhi? Sebegitu jauh memang belum terjadi pembangkangan. Sebab wak Haji kepala desa itu sudah siap dengan sanksinya: "Mereka tidak bakal diizinkan tinggal serumah". Pemuda bengkok. Meskipun itu tidak ada sangkut-pautnya dengan RUU Perkawinan yang bikin heboh, toh haji Husin telah bikin aturan-permainan yang dianggapnya perlu disesuaikan dengan kondisi desanya. Di desa Kelebuh dewasa ini dibuat tatacara baru, terutama yang menyangkut ongkos kawin. Selama ini terasa menyulitkan: jika ada seorang gadis Kelebuh dikawini pemuda desa sebelahnya, niscaya orang tua sang gadis bakal minta emas atau kerjau. Kini cukup dengan uang sebanyak Rp 3 ribu saja. Dalam pertimbangan haji Husin pula, jika tatacara lama itu diteruskan, berarti menyuruh fihak laki-laki menjual habis hartanya. Dan selesai upacara, mereka lantas melarat." Tapi langkah perbaikan haji Husin, konon dilihat secara bengkok oleh sementara anak muda desa lain: mereka berniat ramai-ramai mengawini gadis Kelebuh, karena ongkosnya toh tak nahal. Tidak diketahui bagaimana kepala desa Kelebuh itu kemudian bersikap. Kecuali itu haji yang kaya inisialif itu menggarap juga anak-anak yangiadi terlantar akibat tak diurus oleh orang tuanya, lantaran musim kelaparan yang bagai cerita bersambung itu. Ada beberapa rumah penampungan buat anak sekitar usia 9 tahun sejumlah 20 orang. Mereka ini juga disekolahkan, ada yang sampai kelas dua SD. Biayanya? Menurut haji Husin dikumpulkan dari swadaya penduduk. Adapun inisiatif menampung anak terlantar itu timbul ketika derasnya mengalir bantuan dari World Food Proram berupa tiga ribu ton bulgur buat korban bencana kelaparan NTB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus