KELEBUH, sebuah desa tani sekecil 10 kmÿFD di kecamatan Praya,
NTB barangkali sulit dicari dalam peta dunia. Berpenduduk
sekitar 4.000 jiwa -- sebagian besar perempuan dan kanak-kanak
-- desa yang setiap panen hanya pandai mengumpulkan 2 ton beras
agaknya tidak boleh diliwatkan begitu saja. Desa yang terletak
di Lombok Barat di mana pemerintah "bagai ayam mati di lumbung"
boleh jadi akibat teori mutu tanah yang memang tidak bermutu.
Dalam bahasa Ir Jacob Marjadi, kepala dinas pertanian NTB,
"tanah sawah di daerah Lombok Tengah ini merupakan tanah
margalit". Tabiat yang margalit ini konon jika ditimpa hujan
berubah bagaikan rawa, sebaliknya di musim panas menjelma bak
batu-batuan.
Namun peranan ikap hidup masarakat setempat tak urung turut
melicinkan datangnya bencana kronis itu. Di musim panen rmusim
kawin pun merupakan acara yang amat dilazimkan plus pelbagai
pesta adat dan keramaian lainnya yang bocor dompet. Dan begitu
persediaan beras habis, mereka lazimnya beramai-ramai cerai.
Cara kawincerai seperti itu tentu saja tidak dengan sendirinya
berarti terhindar dari ancaman hantu-lapar. Sebab ketika lumbung
lumbung sudah kosong, gelang-gelan perut mereka itupun makin
rajin main keroncong. Biasanya pula, jika sudah memasuki keadaan
separah itu, beramai ramai mereka boyong memadati kota Mataram,
Cakranegara dan Ampenan.
Gaya hidup yang sesuka hati itu selama dua tahun belakangan ini
sudah dicoba untuk direm. Sedikitnya, begitu usaha yang
dilakukan kepala desa Kelebuh, Haji Husim. Bekas anggota DPRD
Lombok Tengah itu, di samping menganjurkan hidup hemat, juga
mencontohkan sikap hidupnya sendiri sebagai orang santri. Satu
upaya yang sudah dilakukan wak haji: "Penduduk tidak saya
izinkan kawin kalau belum umur 18 bagi wanita dan minimal 20
bagi laki-laki", tuturnya. Alasannya agar anak yang kelak nongol
tidak lantas jadi calon gelandangan. Adakah dipatuhi? Sebegitu
jauh memang belum terjadi pembangkangan. Sebab wak Haji kepala
desa itu sudah siap dengan sanksinya: "Mereka tidak bakal
diizinkan tinggal serumah".
Pemuda bengkok. Meskipun itu tidak ada sangkut-pautnya dengan
RUU Perkawinan yang bikin heboh, toh haji Husin telah bikin
aturan-permainan yang dianggapnya perlu disesuaikan dengan
kondisi desanya. Di desa Kelebuh dewasa ini dibuat tatacara
baru, terutama yang menyangkut ongkos kawin. Selama ini terasa
menyulitkan: jika ada seorang gadis Kelebuh dikawini pemuda desa
sebelahnya, niscaya orang tua sang gadis bakal minta emas atau
kerjau. Kini cukup dengan uang sebanyak Rp 3 ribu saja. Dalam
pertimbangan haji Husin pula, jika tatacara lama itu diteruskan,
berarti menyuruh fihak laki-laki menjual habis hartanya. Dan
selesai upacara, mereka lantas melarat."
Tapi langkah perbaikan haji Husin, konon dilihat secara bengkok
oleh sementara anak muda desa lain: mereka berniat ramai-ramai
mengawini gadis Kelebuh, karena ongkosnya toh tak nahal. Tidak
diketahui bagaimana kepala desa Kelebuh itu kemudian bersikap.
Kecuali itu haji yang kaya inisialif itu menggarap juga
anak-anak yangiadi terlantar akibat tak diurus oleh orang
tuanya, lantaran musim kelaparan yang bagai cerita bersambung
itu. Ada beberapa rumah penampungan buat anak sekitar usia 9
tahun sejumlah 20 orang. Mereka ini juga disekolahkan, ada yang
sampai kelas dua SD. Biayanya? Menurut haji Husin dikumpulkan
dari swadaya penduduk. Adapun inisiatif menampung anak terlantar
itu timbul ketika derasnya mengalir bantuan dari World Food
Proram berupa tiga ribu ton bulgur buat korban bencana kelaparan
NTB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini