Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hanya satu bumi

Meningkatnya kekhawatiran akibat tumpahan minyak di teluk persia pada perang teluk menggambarkan makin banyak orang sadar bahwa kita hidup dalam satu lingkungan yang saling mempengaruhi.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TATKALA tumpahan minyak mulai menggenangi perairan Teluk Persia, dan ketika asap terus membubung dari ladang-ladang minyak Kuwait yang terbakar, Perang Teluk pun memperoleh julukan baru: eco war, perang lingkungan. Apakah genangan itu akibat perbuatan sengaja Irak atau akibat pengeboman Amerika, belum bisa dipastikan. Namun, tercemarnya bumi akibat Perang Teluk memang mencemaskan. Meningkatnya kekhawatiran ini menggambarkan makin banyak orang yang sadar bahwa kita hidup dalam satu bumi, dalam suatu lingkungan yang tali-temali. Tercemarnya lingkungan di suatu tempat akan mempengaruhi lingkungan wilayah lain. Sejumlah pakar, misalnya, membayangkan kemungkinan akan terjadinya nuclear winter, musim dingin berkepanjangan akibat ter- halangnya sinar matahari oleh asap dan jelaga dari minyak yang terbakar di Kuwait. Musim hujan di Asia Selatan dan Tenggara dikhawatirkan akan terganggu, panen akan gagal, dan jutaan orang akan kelaparan. Lalu, genangan minyak dari Teluk Persia, selain membinasakan fauna dan flora di perairan itu, juga bisa berkelana sampai ke Teluk Benggala. Di sisi lain ini, kita bisa melihat bahwa dalam perkembangannya, perang makin "sadistis". Cara dan sarana apa pun bisa dipakai untuk membela diri, atau memenangkan perang. Tanpa peduli akibatnya. Perang, sejak dahulu, memang sering mengorbankan lingkungan. Hutan dibabat atau dibakar agar tak menjadi persembunyian musuh. Sawah atau ladang juga dimusnahkan agar musuh kelaparan. Bahkan Sultan Agung dari Mataram pun pernah melakukan "perang biologis". Pada 1625, tatkala menyerang Surabaya, pasukannya membendung Kali Mas, dan membuang bangkai-bangkai dan buah aren ke dalamnya. Akibatnya, Surabaya diamuk penyakit. Raja Surabaya pun kemudian menyerah. Kini, jika benar Saddam Hussein (akan) menggunakan senjata minyak, kimia, dan biologis, sebetulnya ia cuma melanjutkan apa yang telah dilakukan para pendahulunya, negara-negara Barat yang kini menjadi lawan-lawannya (sebelumnya Irak telah memakai bom kimia untuk mematahkan pemberontakan suku Kurdi). Pada Perang Dunia I, untuk membalas penggunaan gas racun oleh pasukan Inggris dan Prancis, Jerman menggunakan gas klorin. Pada hari pertama dipakainya, 22 April 1915, 15 ribu tentara Sekutu menjadi korban, lima ribu di antaranya tewas. Sekutu memprotes cara yang "tidak manusiawi" ini, tetapi mereka sendiri juga terus menggunakan gas beracun sebagai senjata. Klorin segera digantikan gas mustard, lalu fosgene. Pada akhir Perang Dunia I itu (1918), kedua belah pihak telah menggunakan tidak kurang dari 38 jenis gas beracun: 12 macam gas air mata, 15 macam yang membuat orang tercekik, empat yang membuat kulit mengelupas, tiga yang meracuni darah, dan empat yang membuat muntah. Namun, perusakan lingkungan lewat perang yang paling besar-besaran mungkin yang dilakukan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Untuk mencegah agar hutan tidak menjadi tempat persembunyian gerilyawan Vietkong, AS menggunakan berbagai cara untuk memusnahkannya. Mula-mula dengan mengebom, lalu membakar, kemudian dipakai bom kimia, lalu akhirnya dibuldozer. Daerah persawahan juga dibinasakan -- agar suplai makanan musuh hancur -- dengan racun tanaman yang disebarkan dari udara. Bom konvensional ternyata juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Selama Perang Vietnam, AS telah menjatuhkan bom dua kali lipat lebih banyak dari yang dipakai selama Perang Dunia II. Ditaksir, sekitar 20 juta "kawah" tercipta akibat bom-bom itu. Sebuah bom berukuran 500 pon biasanya menciptakan lubang selebar 7-16 meter dan dalamnya 1,5-7 meter, tergantung jenis bom dan kondisi tanah yang terkena. Sisa dan pecahan bom pada lubang-lubang itu membuat lahan yang terkena sulit dimanfaatkan. Tiga jenis zat kimia yang dipakai AS di Vietnam sejak 1962 sangat terkenal: Agent Orange, Agent White, dan Agent Blue. Yang paling banyak dipakai adalah Agent Orange sebanyak 93 juta pon (58%), Agent White (31%) -- keduanya terutama disebarkan di atas hutan -- dan Agent Blue (11%), yang disebarkan di persawahan. Bagaimana kuatnya racun ini bisa dilihat dari kenyataan: enam tahun setelah tersemprot, belum ada tanda bahwa hutan bakau yang terkena bisa tumbuh lagi. Agent Orange kemudian menimbulkan heboh pada akhir 1970-an setelah sejumlah anak veteran perang lahir cacat. Para veteran Perang Vietnam sendiri kemudian juga merasakan derita. Kemudian terbukti, mereka terkena racun kimia sejenis dioksin yang menimbulkan kanker. Meski mula-mula menolak, pada 1984 akhirnya tujuh pabrik kimia yang memproduksi zat itu untuk kepentingan militer di Vietnam Selatan setuju membayar santunan US$ 180 juta bagi 40 ribu veteran Perang Vietnam dan keluarganya. Tragisnya, ribuan rakyat Vietnam yang menjadi korban akibat zat-zat kimia itu tak pernah mendapat perhatian, apalagi memperoleh santunan. Yang sering dilupakan, alam lambat sekali -- atau malah sering tak mampu -- memulihkan kondisinya akibat pencemaran oleh perang itu. Vegetasi di Afrika Utara, akibat manuver ratusan ribu tentara sewaktu Perang Dunia II, hingga kini belum pulih. Kini sejumlah pakar menduga, perlu 200 tahun bagi alam Teluk Persia untuk memulihkan "luka-luka"-nya akibat pencemaran yang kini terjadi. Berbagai pelajaran itu rupanya tak juga membuat manusia lebih bijaksana. Hingga awal pekan ini, sekitar 41 ribu pengeboman telah dilakukan pasukan Sekutu di Irak dan Kuwait. Berapa jumlah "kawah" yang telah tercipta? Akibat terbakarnya kilang- kilang minyak di Kuwait, berapa ribu ton jelaga yang telah disemburkan ke angkasa, yang telah menyebabkan "hujan hitam" di Iran? Berapa jumlah burung, ikan, kura-kura, dan bermacam spesies lain, yang musnah akibat genangan minyak di Teluk -- yang konon terbesar dalam sejarah? Lalu, nanti, berapa jumlah korban yang tewas, atau bayi yang lahir cacat, akibat pemakaian senjata biologis dan kimia? Perang memang akan selalu menimbulkan korban. Namun, berapa pun banyaknya korban yang tewas, yang lebih penting adalah berapa jumlah orang yang kemudian harus hidup dalam bumi yang telah tercemar akibat perang tersebut. Kita telah mewarisi bumi ini, dan bumi ini juga yang akan kita wariskan pada anak cucu kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus