Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman membeberkan karakter dari virus Covid-19 subvarian Omicron BA.4 dan BA.5. Subvarian itu disebut-sebut menjadi salah satu penyebab naiknya kembali jumlah kasus khususnya di DKI Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dicky menjelaskan secara ilmiah data dari berbagai negara menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2 yang saat ini mendominasi adalah varian Omicron. Varian itu juga sudah dimasukkan ke dalam kategori variant of concern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Artinya, subvariannya, seperti BA.4 dan BA.5 juga termasuk varian of concern,” ujar dia melalui pesan suara pada Rabu malam, 15 Juni 2022.
Menurut Dicky yang juga seorang peneliti keamanan kesehatan global itu, Omicron termasuk subvariannya digolongkan variant of concern karena memiliki kemampuan spesial. Virus itu bisa menyebabkan kluster dan berpotensi memperburuk situasi pandemi, karena memiliki kecepatan transmici, menular, dan menyebar.
“Selain itu, kemampuan dia adalah menurunkan efikasi antibodi baik dari terinfeksi langsung maupun dari vaksinasi,” katanya.
Subvarian BA.4 dan BA.5 bisa mereinfeksi
Varian Omicron dan subvariannya juga memiliki kemampuan mereinfeksi atau menginfeksi ulang. Jadi, Dicky berujar, jika ada orang pernah terinfeksi subvarian BA.1 dan BA.2, maka orang tersebut bisa terinfeksi lagi oleh subvarian BA.4 dan BA.5. “Nah itu yang membuat dia tetap sebagai Omicron yang masuk kategori variant of concern.”
Selain itu, jika ditambah dengan tidak adanya intervensi kesehatan masyarakat seperti PPKM, masker longgar, dan pengabaian-pengabaian lainnya, hal itu bisa berpengaruh pada angka reproduksi virus. Angka reproduksinya bisa mendekati 10 atau bisa 2-3 kali lebih besar daripada Delta yang dampaknya sangat serius.
Subvarian BA.4 dan BA.5 juga memiliki mutasi yang ada di varian Delta yaitu L452. Mutasi itu, kata Dicky, bisa membuat virus mudah terikat pada reseptor ACE2 yang ada di sel tubuh manusia, khususnya saluran napas sampai ke jaringan paru.
“Sehingga mudah masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi. Nah itu kemampuan-kemampuan yang dia miliki jauh daripada subvarian atau varian lain sebelumnya,” tutur Dicky.
Terinfeksi BA.4 dan BA.5 tak bergejala
Dicky mengatakan, di Indonesia, termasuk Jakarta, saat ini sebenarnya sudah memiliki modal yang baik daripada ketika Delta melanda. Tapi masalahnya, itu menjadi bumerang, karena membuat mayoritas yang terinfeksi BA.4 dan BA.5 ini banyak yang tidak bergejala.
Ditambah lagi strategi testing yang tidak semasif sebelumnya, serta tracing juga pasif dan minim. Menurut Dicky, itu membuat banyak orang terinfeksi tidak terdeteksi, karena orang-orang merasa tidak sakit. Dan kewaspadaan masyarakat mulai menurun, ditambah adanya kelonggaran-kelonggaran.
“Ini bisa berpotensi menimpa atau menginfeksi kelompok rawan seperti lansia dan komorbid yang akhirnya masuk rumah sakit. Atau menjadi fatal termasuk pada anak di bawah 5 tahun,” ujar Dicky.
Dicky menilai bahwa hal itu merupakan hukum biologi yang terjadi dan harus disadari. Karena, kata dia, pada gilirannya, virus-virus itu akan menimpa kelompok rentan tadi tanpa gejala, lalu datang ke fasilitas kesehatan, kemudian dites positif. “Di situ mulailah akan terdeteksi, dan itulah yang akan menjadi gelombang terdeteksi.”