Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ini keringanan atau deal yang rasional?

Setelah MOU ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang. katanya, beberapa aset summa akan dikembangkan.

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Summa dalam status likuidasi, kata orang tak ubahnya durian jatuhan. Dan "pemulung" yang ketiban rezeki -- yang tampaknya tak bakal berubah lagi -- adalah PT Sira Tama Agra Raya (STAR). Perusahaan yang berada di bawah payung konglomerat PT Citra Agra Tama Persada milik Siti Hardiyanti Rukmana itu, kalau tak ada aral melintang, Senin pekan ini akan menanda- tangani semacam MOU (memorandum of understanding) dengan Tim Likuidasi Bank Summa (TLBS). Perjanjian tersebut memang belum merupakan pengalihan Summa yang selama ini dikuasasi oleh TLBS. Tapi, inilah langkah pamungkas yang mengantarkan STAR -- sebagai pihak yang direstui Bank Indonesia -- untuk memboyong seluruh kekayaan dan kewajiban Bank Summa. Ada beberapa hal yang sangat menarik dari masuknya STAR. Salah satu di antaranya adalah keberhasilan Rinto Harahap (Dirut STAR) dalam melakukan negosiasi dengan para kreditur. Untuk membayar utang ke Bank Indonesia, yang jumlahnya Rp 379 miliar, misalnya. Dari otoritas moneter, Rinto berhasil memperoleh syarat pembayaran -- yang boleh dibilang -- sangat ringan. Utang sebesar itu boleh dicicil selama 20 tahun dengan bunga 5,5% per tahun. Coba, di saat suku bunga pinjaman sedang menukik seperti saat ini sekalipun, bank mana yang bisa memberikan bunga serendah itu? Begitu pun untuk menyelesaikan kewajiban antar bank, yang Rp 161 miliar, STAR memperoleh cukup banyak keringanan (kendati tak seringan yang diberikan BI). Beban bunga yang harus ditanggung atas pinjaman ini hanya 5,5% dengan masa cicilan enam tahun. Kenapa BI, yang juga menjadi pihak perunding bagi STAR dalam urusan dengan bank-bank swasta, begitu bermurah hati? Sedangkan kepada debitur lain, seperti halnya Bank Bumi Daya yang pernah menanggung beban BPPC, Bank Indonesia bersikap tegas. Bandingkanlah, permohonan BBD untuk membayar dengan promes berjangka setahun pun ditolak mentah-mentah. Sehingga bank pemerintah ini terpaksa melunasi seluruh pinjaman pada saat jatuh tempo (September 1993). Bukan hanya itu yang hangat diperbincangkan kalangan dunia usaha. Sikap BI menunjuk STAR pun, banyak yang mempertanyakan. Misalnya, kenapa memilih STAR padahal (sebelumnya) TLBS sudah ditunjuk sebagai satu-satunya pihak yang berwenang menjual aset serta menyelesaikan seluruh kewajiban Bank Summa, yang dinyatakan bangkrut di akhir 1992. Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, Hendrobudiyanto, Direktur Pengawasan BI yang adalah orang kedua di otoritas moneter ini, ternyata sudah menyiapkan jawabnya. Tentang "keringanan" (seperti bunga yang rendah dan masa pembayaran yang 20 tahun), katanya, itu bukanlah keringanan. "Itu sebuah deal yang rasional. Apa utang yang dicicil 20 tahun itu hilang? Kan tidak," ujarnya. Tak terlalu jelas ukuran apa yang dipakai oleh BI sehingga menyatakan syarat pembayaran itu sebagai "deal yang rasional". Yang pasti, Hendro juga membantah jika pihaknya disebut pilih kasih. Katanya, utang yang ditanggung BBD lantaran kasus BPPC tak bisa disamakan dengan kasus Bank Summa. "Ini kan menyangkut bank yang sudah bangkrut, ya, lain dong," katanya. Adapun tentang dipilihnya STAR, sengaja dilakukan BI demi "penyelesaian" yang lebih cepat. Di samping itu, STAR juga telah menyiapkan sejumlah dana untuk menyelesaikan seluruh kewajiban Summa. Itulah sebabnya, kata Hendro, kenapa BI menganggap proposal yang diajukan Rinto sebagai paling masuk akal. Mendengar jawaban Direktur BI ini, tampaknya langkah STAR tidak lagi menghadapi hambatan yang berarti. Tapi yang terjadi, dan ini tidak muncul ke permukaan, sebenarnya tidaklah semulus itu. Konon, menurut sebuah sumber, ada beberapa pejabat BI yang tidak setuju dengan cara STAR. Terutama perkara rescheduling atau penjadwalan kembali pembayaran utang. Dua puluh tahun itu terlalu panjang, kata sumber tersebut. Kredit investasi saja, yang bunganya saat ini berkisar 16% per tahun, jangka waktunya paling lama 15 tahun. Suara senada terdengar pula dari bankir swasta yang menjadi kreditur. Kata seorang petinggi bank, lebih enak jika tagihan mereka diselesaikan oleh TLBS. Soalnya, tim likuidasi akan mampu membayarnya (setelah berhasil menjual seluruh aset) dalam jangka waktu paling lama tiga tahun. "Saya yakin, dalam waktu sekian itu, TLBS akan mempu menjual asetnya dengan harga yang wajar," katanya. Bukan mustahil, hasil penjualan yang diperoleh akan menjadi semakin besar, mengingat harga tanah yang kian hari bertambah mahal. Rasa "kurang puas" dari bankir swasta ini bukan hanya menyangkut waktu, tapi juga tingkat suku bunga. Tingkat bunga 5,5%, kata mereka, sangat tidak rasional. "Kalau yang mengurus TLBS, biar nggak dikasih bunga juga tidak jadi soal, sebab dia hanya sebagai lembaga likuidasi. Sedangkan STAR, itu kan badan usaha yang mencari untung," cetusnya. Hal lain yang menjadi kekhawatiran para pemilik tagihan ini adalah sumber dana yang dimiliki STAR. Agak mengherankan jika Rinto dalam hal yang satu ini tak mau berterus terang. Artinya, ia tak mau mengungkapkan dari mana STAR memperoleh dana dengan alasan "itu rahasia dapur". Padahal, lazimnya, para pengusaha (termasuk bankir) yang memperoleh pinjaman dari sindikasi bank asing selalu mengumumkan prestasinya dalam meraih utang luar negeri dengan penuh kebanggaan. Sebaliknya Rinto, ia hanya mau menyebutkan bahwa dana yang diperolehnya berupa utang jangka pendek, yang pelunasannya antara 3 tahun dan 5 tahun. "Yang penting, kami tidak mengambil dana dari dalam negeri," ujarnya seakan mengelak. Perkara mencari pinjaman dari negeri orang tampaknya merupakan salah satu keahlian STAR. Seperti diakui Rinto, kendati perusahaan ini baru didirikan tahun 1992, jasanya kepada kelompok usaha sudah cukup banyak. Melalui salah satu markasnya di Hong Kong, STAR berhasil meraih pinjaman hingga di atas satu triliun rupiah. Dana yang bersumber dari beberapa negara itu -- di antaranya dari beberapa negara Timur Tengah dan Hong Kong -- telah dan akan digunakan untuk membiayai pembangunan beberapa proyek jalan yang dikerjakan oleh Grup Citra Lamtorogung. Bahkan biaya pembangunan delapan stasiun relay TPI beberapa waktu lalu pun, kata Rinto, dananya diusahakan oleh STAR. Tak pelak lagi, kendati STAR memiliki divisi ekspor dan properti, financial arranger boleh dibilang merupakan divisi yang paling menonjol dan diandalkan. Menurut Rinto, kelak jika Summa sudah di tangan, divisi di STAR (yang hanya berawak 20 karyawan) akan bertambah satu yakni Divisi Summa. "Ini merupakan proyek terbesar dan pertama yang kami tangani langsung," katanya. Sebagai langkah pertama, STAR akan menyiapkan dana sebesar Rp 150 miliar untuk membayar seluruh sisa kewajiban Summa kepada 748 nasabah. Nah, sambil berjalan (maksudnya mencicil utang kepada BI, antar-bank, serta kepada kreditornya di luar negeri), perusahaan ini akan menggarap 29 aset Summa yang berada di tangannya. Yang menarik dari pengelolaan aset eks-Summa ini adalah munculnya isu bahwa keluarga Soeryadjaya akan muncul sebagai pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pembeli. Dan Rinto tidak membantah kemungkinan ini. Katanya, setelah seluruh urusan dengan nasabah rampung, STAR berhak penuh mengelola aset Summa. Termasuk, menjualnya kepada keluarga Soeryadjaya. "Kalau menguntungkan, kenapa tidak," katanya enteng. Lain Rinto, lain pula pandangan dunia usaha yang selama ini mengamati proses penyelesaian Summa. Mereka berpendapat, seharusnya BI melarang keterlibatan keluarga Soeryadjaya hingga seluruh kewajiban eks-Bank Summa terlunasi. Taruhlah, kewajiban nasabah bisa langsung dituntaskan dalam waktu pendek. "Tapi utang kepada BI dan bank-bank, kan baru akan lunas setelah 20 tahun," kata seorang pengusaha. Entah bagaimana STAR akan memperlakukan aset Summa yang ditaksir bernilai sekitar Rp 800 miliar. Rinto ada mengatakan, menjual hanyalah salah satu jurus saja. Sebab, beberapa aset yang dianggap menguntungkan akan tetap dipelihara. Seperti sebidang tanah di kawasan strategis di Surabaya, yang semula (oleh Edward Soeryadjaya) akan dijadikan Darmo Satelit Town. Begitu pun Pusat Pertokoan dan Hotel Bandung Indah Plaza (BIP), Jakarta Kemayoran Trading Center, serta Hotel Benakutai di Kalimantan. Kekayaan-kekayaan itu dianggap memiliki prospek yang cukup baik dan akan lebih menguntungkan jika dikembangkan sendiri. Bahkan -- ini mimpi Rinto -- BIP sebagai satu profit center akan dijadikan sebagai holding company bagi perusahaan- perusahaannya yang lain. Rencana ini jelas berorientasi laba. Tapi perlu juga diketahui dari mana STAR akan memperoleh dana untuk pengembangan, sementara ia juga harus melakukan cicilan utang- utangnya dan utang eks-Summa. Seperti tanah di Surabaya itu jelas membutuhkan dana yang besar seandainya akan disulap menjadi pusat pertokoan, perkantoran, ataupun perumahan. Soal sumber dana ini, lagi-lagi, Rinto tak mau berterus terang. Ia hanya mengatakan, untuk pengadaan modalnya "banyak teman yang mau diajak bekerja sama". Terlepas dari sikap Rinto yang teguh dalam melindungi sumber dananya, sebenarnya ada sebuah skenario yang menunjukkan betapa ringan langkah yang diayunkan STAR dalam merengkuh aset dan kewajiban Summa. Pertama, dalam hal menanggung kewajiban yang muncul akibat pengambilalihan ini. Menurut sebuah sumber, Rinto berupaya sekuat tenaga untuk menekan besarnya kewajiban yang harus ditanggung. Antara lain, konon STAR akan berusaha melepaskan dirinya dari beban pajak yang muncul akibat pengambilalihan ini. Tapi, demikian si empunya cerita, kalaupun Pemerintah tetap akan menagih pajak, maka STAR akan menuntut agar kewajiban membayar pajak itu dibebankan kepada penghitungan aset Summa. Atau dengan kata lain, nilai aset itu dengan sendirinya akan dikurangi sebesar pajak yang harus dibayar. Sehingga STAR tetap akan menerima kekayaan eks-Summa dengan nilai bersih. Jurus lainnya adalah menekan nilai aset itu sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, kendati ada beberapa angka yang muncul ke permukaan -- ada yang mengatakan aset Summa mencapai Rp 800 miliar, ada juga yang menyebut hanya Rp 600 miliar -- hingga kini nilai aset itu masih merupakan misteri. Jadi, bukan mustahil, "tawar-menawar" yang akan dilakukan Rinto Cs akan berlangsung alot. Hal lain yang juga akan meringankan langkah STAR adalah kemungkinan memperoleh dana encer dari hasil penagihan kredit macet Summa. Seperti diketahui, dari total kredit macet bank ini, dulu tercatat adanya tagihan di pihak nasabah sebesar Rp 300 miliar. Nah, tentang ini banyak orang memperkirakan STAR (dengan adanya Siti Hardiyanti Rukmana di belakang layar) akan dengan mudah menarik kembali kredit macet itu. Kalau saja langkah yang terakhir itu benar-benar berjalan mulus, tampaknya tak akan terlalu banyak "keringat" yang harus dikeluarkan oleh Rinto dan kawan-kawan. Utang ke sumber asing pun sangat mungkin dilunasi dalam waktu 3-5 tahun alias sesuai dengan rencana. Tapi itu baru faktor "if", baru "kalau", yang berarti belum pasti sama sekali.Budi Kusumah dan Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum