Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bala Jahit Baju Medis

Sejumlah kelompok berinisiatif membuat alat pelindung diri bagi tenaga medis. Dibagikan gratis ke ratusan fasilitas kesehatan.

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembuatan face shield yang dipelopoori Bagas Pratondo Aji, dan dilanjutan untuk diberikan secara gratis kepada tenaga medis di Klaten, Yogyakarta, Maret 2020. Dokumentasi Bagas Pratondo Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang pembuat aksesori sepeda merakit tameng wajah untuk paramedis saat terjadi krisis APD.

  • Gerakan Majelis Mau Jahitin di Yogyakarta membuat lebih dari 5.000 baju hazmat.

  • Seniman juga turun tangan menghimpun donasi melalui karya seni yang dibuatnya.

BAGAS Pratondho Aji sedang berselancar di Facebook ketika kawannya, seorang perawat, mengirimkan pesan pada 23 Maret lalu. Paramedis itu mengabarkan bahwa ada tim dokter di Kebumen, Jawa Tengah, yang tak punya tameng wajah (face shield) saat menangani seorang pasien dalam pengawasan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Mengetahui Bagas punya bisnis pembuatan aksesori sepeda, tenaga medis di Rumah Sakit Umum Palang Biru, Gombong, tersebut mengusulkan Bagas mencoba membuat alat pelindung itu.

Selepas obrolan itu, istri Bagas, yang juga suster, memberitahukan hal serupa. Bagas langsung mencari panduan dan gambar pola tameng wajah di Internet. Diraihnya plastik mika bening dan karet ban sepeda yang telah dicuci bersih. Menggunting bahan-bahan itu mengikuti pola cetakan, Bagas lalu menyatukannya dengan klem. Voilà. “Sampel pertama tameng wajah itu selesai dalam waktu 20 menit saja,” kata Bagas ketika dihubungi pada 31 Maret lalu.

Menguji keandalan tamengnya, pria 28 tahun itu meminta ibunya, yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Pusat dr Soeradji Tirtonegoro, membawa satu sampel untuk dikenakan petugas di bangsal gawat darurat. Kala itu, rumah sakit rujukan Covid-19 di Klaten tersebut telah merawat sejumlah orang dalam pemantauan serta pasien dalam pengawasan. Setelah dipakai beberapa jam, pelindung wajah buatan Bagas dinilai layak, meski perlu disterilisasi lebih dulu. Order pertama sebanyak sepuluh unit datang dari bagian radiologi RSUP dr Soeradji Tirtonegoro.

Informasi mengenai produk Bagas menyebar dengan cepat melalui media sosial dan grup-grup percakapan. Menurut dia, pesanan yang masuk setiap hari berasal dari sedikitnya 30 fasilitas kesehatan. Bagas biasanya akan mengirim langsung tameng wajah itu ke fasilitas kesehatan walau permintaan alat datang dari individu. “Kami menjaga agar tak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan dikirim maksimal sepuluh unit saja supaya pembagiannya merata,” ujarnya.

Dia mengajak 15 volunter membantu proses produksi di rumahnya di Desa Pandes, Kecamatan Wedi, Klaten. Bagas sempat ditegur pengurus kampung dan tetangga karena dianggap menciptakan kerumunan yang melanggar protokol jaga jarak. Dia akhirnya bekerja dengan delapan orang dan sanggup membuat 120 tameng per hari.

Untuk membiayai produksi, Bagas merogoh kocek sendiri dan menghimpun donasi dari beberapa kolega. Hingga akhir April lalu, sumbangan yang terkumpul mencapai Rp 20 juta. Sebagian besar dana itu digunakan untuk membeli material, sebagian lagi untuk membiayai pembuatan 800 masker. Bagas telah mendistribusikan hampir 3.000 pelindung wajah ke 397 fasilitas kesehatan, dari pusat kesehatan masyarakat di Aceh sampai rumah sakit di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Semuanya diberikan secara gratis, berikut ongkos kirimnya.

Tiga rumah sakit jaringan Hermina di Kemayoran, Jatinegara, dan Depok termasuk yang menerima bantuan tameng muka dari Bagas. Widjanarko Hastario, dokter anestesi yang berpraktik di sana, memesan alat itu karena stok masker dan kacamata pelindung atau goggle di rumah sakit terbatas. “Saya memberikan tameng buatan Mas Bagas ke unit gawat darurat untuk mencegah paramedis terkena percikan air liur dari pasien,” katanya.

Di Yogyakarta, gerakan membuat alat pelindung diri bagi paramedis antara lain dipelopori Budhi Hermanto. Inisiatif itu bermula saat Direktur Klinik Adhiwarga Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia itu menjalani uji cepat corona di rumah sakit pemerintah di Yogyakarta. Ketika berada di ruang kontrol, dia menyaksikan beberapa perawat tak mengenakan baju hazmat dan pelindung muka.

Sepulang dari rumah sakit, Budhi berembuk dengan istrinya untuk menyediakan alat pelindung bagi tenaga medis. Mereka menghubungi sejumlah penjahit kenalan untuk diajak bergabung membuat baju hazmat. Menghimpun sedikitnya 60 penjahit dari delapan kelompok, Budhi menamai gerakan tersebut “Mamajahit”, akronim dari “Majelis Mau Jahitin”. “Semua penjahit yang terlibat tak mau dibayar sepeser pun,” ujarnya.

Budhi hanya perlu menyediakan bahan dan pola baju medis. Begitu ada penjahit yang mau bergabung, dia akan langsung mengirim barang-barang, seperti kain dan ritsleting, ke sukarelawan tersebut. Di komunitas Mamajahit, tak ada patokan jumlah pakaian hazmat yang wajib digarap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilik jahit rumahan Paksi Raras Alit menunjukkan prototipe hazmat yang dijahit gratis untuk dokter dan perawat di rumah sakit Yogyakarta, 2 April 2020. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paksi Raras Alit, pemilik butik kebaya di Yogyakarta, turut bergabung di Mamajahit. Dia ikut membuat baju hazmat sekali pakai bagi paramedis setelah menyimak kabar bahwa banyak perawat dan dokter terpapar virus corona karena kekurangan alat pelindung diri. Dia mengerahkan setidaknya tiga penjahit yang khusus mengerjakan pakaian hazmat. Kami targetkan bisa membuat seratus helai hazmat dalam seminggu,” tutur Paksi.

Penjahit asal Gamping, Sleman, Retnoningrum, yang ikut berpartisipasi di Mamajahit, menugasi dua pegawainya menjelujur baju hazmat. Tetap mengerjakan pesanan baju lain, Retno cuma menargetkan sekitar 50 setel pakaian pelindung setiap pekan. “Hal terpenting adalah paramedis di lapangan terbantu,” katanya.

Sampai pengujung April lalu, kelompok Mamajahit memproduksi 5.400 baju hazmat. Pakaian itu dibagikan gratis kepada rumah sakit dan tenaga medis di Yogyakarta dan Surakarta. Menurut Budhi Hermanto, ongkos jahit dan bahan pembuatan alat pelindung diri sepenuhnya dibiayai lewat penggalangan dana.

Krisis alat pelindung diri juga mendorong seniman turun tangan. Berkolaborasi dengan grup olahraga Idselap, seniman sketsa Ariardian Pramunindyo menggalang derma untuk pembelian alat pelindung bagi dokter dan perawat. Nindyo—panggilannya—lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, bergabung menghimpun donasi setelah diajak anggota Idselap, Dewi Satriyani. Menurut Nindyo, Dewi memintanya menggambar sketsa wajah para calon donatur.

Setelah gambar selesai, mereka diharapkan menyumbangkan dana untuk dibelikan alat pelindung diri, seperti masker dan baju hazmat. Komunitas Idselap dan Nindyo tak mematok jumlah sumbangan. Ada yang memberikan Rp 50 ribu, tapi ada juga yang menyumbangkan Rp 15 juta untuk sketsa wajahnya. Tak mengutip serupiah pun, Nindyo telah menggambar rupa sejumlah pesohor, seperti aktris Lulu Dewayanti dan pebisnis Natali Djody, untuk aksi penggalangan dana ini.

Dewi Satriyani mengatakan pembuatan sketsa dipilih sebagai salah satu kampanye penggalangan dana karena aktivitas itu dianggap menyenangkan untuk seniman dan calon donatur. Komunitas itu telah menghimpun sedikitnya Rp 900 juta. Sebagian besar sumbangan itu dipakai untuk membeli alat pelindung diri, yang telah diserahkan ke tujuh rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya. “Kami memberi yang terbaik untuk para tenaga medis,” kata Dewi.

RAYMUNDUS RIKANG, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), NURHADI (SURABAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus