Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menyiapkan dana pemulihan ekonomi nasional lewat penerbitan surat utang.
Silang pendapat antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia soal acuan bunga.
RAPAT virtual antara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang sudah di ujung itu panjang lagi gara-gara satu perkara. Dalam setengah jam waktu tambahan, Rabu, 6 Mei lalu, anggota parlemen terbelah antara mendukung Menteri Keuangan Sri Mulyani atau Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Mereka berbantah mengenai perlu-tidaknya menuangkan ketentuan imbal hasil khusus surat utang negara buat modal penanganan Covid-19.
Sawala dipicu Mukhamad Misbakhun. Anggota Komisi XI, yang membidangi keuangan dan perbankan, dari Fraksi Partai Golkar itu meminta Bank Indonesia menyerap surat utang negara dengan imbal hasil rendah. Misbakhun meminta bank sentral berkorban. Dalam situasi pandemi, kata dia, BI semestinya obligasi tidak lagi dibeli dengan perhitungan komersial. “Langsung putuskan, bunganya 2 persen atau 0,5 persen, misalnya,” ucapnya.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Mucharam, menentang usul Misbakhun, yang dianggapnya mengganggu independensi bank sentral. Kesepakatan bunga surat utang, menurut Ecky, sebaiknya diserahkan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. “Tinggal bagaimana pemerintah meyakinkan BI biar dapat bunga khusus itu,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang anggota Komisi XI mengungkapkan, kisruh itu bermula dari ketidakpuasan Kementerian Keuangan terhadap Bank Indonesia jauh hari sebelum rapat. Ketika pemerintah melepas Pandemic/Recovery Bond untuk membiayai penanganan wabah, bank sentral awalnya hanya bermain di pasar sekunder. Walhasil, surat utang yang bisa dilelang pemerintah kena bunga atau imbal hasil sesuai dengan pasar, alias mahal, lantaran pembelinya adalah investor umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 14 April lalu, misalnya, Kementerian Keuangan melelang surat utang negara dengan nilai penawaran yang masuk mencapai Rp 27,65 triliun. Dalam lelang itu, imbal hasil rata-ratanya 7,96 persen; 7,54 persen; dan 8,21 persen. Adapun dalam lelang 5 Mei, dengan nilai yang didapat sebesar Rp 18,1 triliun, imbal hasil rata-rata tertimbang mencapai 6,19 persen; 7,4 persen; dan 8,44 persen. Angka ini dianggap kelewat mahal.
Pemerintah telah mencanangkan anggaran sebesar Rp 150 triliun buat pemulihan ekonomi nasional, yang di antaranya ditujukan untuk menjaga dunia usaha agar tetap hidup di tengah pagebluk. Salah satu strategi yang disiapkan adalah menyuntik likuiditas perbankan melalui skema bank jangkar yang telah disediakan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan suntikan itu, pemerintah berharap likuiditas perbankan tidak goyah gara-gara jorjoran memberikan keringanan pembayaran utang. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menghitung, dibutuhkan tambahan likuiditas sampai Rp 115,2 triliun untuk mengamankan bank-bank dari potensi kekeringan duit segar.
Sebetulnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020—pada Selasa, 12 Mei lalu, telah disahkan menjadi undang-undang—membolehkan BI terjun ke pasar primer untuk membeli surat utang negara. Namun BI baru nyebur dalam lelang surat utang 21 April dengan membeli Rp 1,7 triliun dan dalam lelang berikutnya Rp 2,3 triliun.
Masalahnya, BI membeli surat utang itu tetap dengan acuan imbal hasil pasar yang diterbitkan Penilai Harga Efek Indonesia. “Itu mekanismenya,” ujar Perry Warjiyo dalam konferensi virtual, Rabu, 29 April lalu.
Seorang pejabat di Kementerian Keuangan mengungkapkan, Menteri Sri Mulyani Indrawati sengit terhadap sikap bank sentral. Dalam rapat dengar pendapat, Rabu, 6 Mei lalu, Sri mengatakan, meski ada kesepakatan BI buat menyerap surat utang, imbal hasilnya tetap mengikuti pasar. “Kalau ada pasal kesepakatan, harus ditetapkan. Sekarang kita dengan suku bunga pasar,” kata Sri.
Perry langsung membantah. Menurut dia, bank sentral dan Kementerian Keuangan belum membahas below the line alias pembiayaan anggaran sebesar Rp 150 triliun itu. “Namanya above the line, below the line, wis mbuh aku ora ngerti (pokoknya aku tidak tahu). Kami hanya ingin tahu dari Rp 150 triliun itu jadinya berapa?” Perry menimpali. “Kami tunggu angka-angkanya. Terus bungane piro, yo ayo (bunganya berapa, ya ayo) rembukan bersama.”
Menurut Perry, BI harus mengetahui besaran kebutuhan surat utang dan lainnya untuk menghitung dampak terhadap inflasi. Sebab, ketika BI turun ke pasar primer, langkah itu otomatis akan memicu naiknya peredaran uang.
Sejumlah anggota DPR, seperti Dolfie O.F.P dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Suprianto dari Fraksi Gerindra, menengahi silang pendapat ini. Keduanya sepakat surat utang negara yang diterbitkan Kementerian Keuangan yang akan dibeli BI harus menggunakan bunga khusus. Perkara penentuannya dipasrahkan pada kesepakatan kedua belah pihak. Itulah yang menjadi kesimpulan rapat, sementara kini sedang dicari kesepakatan antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo