Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus pelarungan jenazah tiga ABK asal Indonesia oleh kapal berbendera Cina, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mendesak perusahaan pemilik kapal bertanggung jawab.
Menteri Retno menyoroti perlunya evaluasi proses rekrutmen calon ABK di dalam negeri dan meminta pemerintah Cina membantu pengusutan kasus ABK asal Indonesia.
Selama penanganan pandemi Covid-19, Menteri Retno menegosiasikan pasokan alat pelindung diri dan obat dari Korea Selatan dan Jepang serta pemulangan WNI yang terkena dampak.
DARI Korea Selatan, kabar pelarungan jenazah tiga warga negara Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera Cina menyulut kehebohan di Tanah Air. Peristiwa yang pertama kali dilaporkan stasiun televisi MBC pada Rabu, 6 Mei lalu, itu seketika viral di berbagai pemberitaan dan media sosial di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini tak luput membuat sibuk Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi. Ia mengerahkan para diplomat di Jakarta, Beijing, hingga Seoul untuk menelusuri persoalan yang melibatkan perusahaan asal Cina itu. “Kami juga meminta pemerintah Tiongkok membantu kami mendalami isu ini karena ini kan pihak swastanya,” kata Retno dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 8 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sedang berfokus menangani pandemi Covid-19, Retno menjamin pemerintah tidak akan menomorduakan kasus yang merugikan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia itu. Ia menyoroti pentingnya proses rekrutmen di dalam negeri untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ABK Indonesia di kapal-kapal asing. “Kalau hulunya tidak kukuh, tidak jelas rekrutmennya, akan berimbas pada hilirnya,” ucap Retno, 57 tahun.
Dari kantornya di Pejambon, Jakarta Pusat, Retno berbincang dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Gabriel Wahyu Titiyoga, melalui konferensi video. Selama lebih dari satu jam, ia menceritakan penanganan kasus ABK, kerja sama negara-negara anggota Gerakan Non-Blok dalam mengatasi pandemi Covid-19, hingga pemulangan ribuan warga Indonesia dari beberapa negara yang terkena dampak pandemi. Retno memberikan keterangan tambahan pada Ahad, 10 Mei lalu.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik pelarungan tiga jenazah ABK asal Indonesia itu?
Saya ingin membaginya begini, cerita pertama tentang 46 ABK yang bekerja di empat kapal berbendera Tiongkok. Ada kapal Long Xing 629, Long Xing 605, Tian Yu 8, dan Long Xing 606. Di kapal Long Xing 629, misalnya, ada 15 ABK kita yang bekerja di sana. Satu orang di antaranya, EP, meninggal saat kapal merapat di Busan, Korea Selatan. Jadi saat mereka sudah di darat, satu orang sakit, lalu dirawat dan akhirnya meninggal karena memiliki penyakit bawaan pneumonia. Nah, 15 ABK itu, baik yang sehat maupun yang meninggal, sekarang sedang dipulangkan. Jadi soal penanganan ABK di kapal pertama ini bisa dikatakan done.
(Retno telah bertemu dengan 14 anak buah kapal di Balai Karantina Bambu Apus, Jakarta Timur, Ahad pagi, 10 Mei lalu. Mereka tiba dua hari sebelumnya pada pukul 15.15. Jenazah EP juga tiba pada hari yang sama. Dari pertemuan itu, Retno mendapat informasi tentang persoalan pembayaran gaji dan jam kerja mereka yang rata-rata lebih dari 18 jam per hari.)
Bagaimana dengan ABK lain?
Kapal kedua ada delapan WNI, kapal ketiga ada tiga WNI. Semuanya sudah kembali pada 24 April lalu. Jadi bisa dikatakan dua kapal ini done. Kapal terakhir isinya 20 ABK. Sebanyak 18 orang sudah kembali pada 3 Mei lalu. Dua orang lainnya masih di kapal dan dalam proses pemulangan. Ini cerita pertama mengenai penanganan 46 ABK Indonesia yang bekerja di empat kapal berbendera Tiongkok. Relatif hampir selesai semuanya. Cerita kedua yang banyak keluar di media sosial adalah mengenai pelarungan tiga jenazah WNI. Jadi intinya begini, yang meninggal itu ada empat orang. Satu yang tadi di Busan. Dua orang lainnya, SP dan AL, dari Long Xing 629 meninggal pada Desember 2019. Kapal berlayar di Samudra Pasifik dekat Samoa. Duta Besar Indonesia di Wellington, Selandia Baru, yang melaporkan. Saat itu, kami sudah bergerak.
Bagaimana penjelasannya ketika itu?
Dari keterangan kapten kapal, dan ini perlu diinvestigasi lagi, WNI yang meninggal itu karena penyakit menular. Untuk memproteksi awak kapal yang lain dan sudah dengan persetujuan awak kapal yang lain, jenazah dilarung atau dikubur di laut. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memang ada istilah burial at sea. Ini bukan hal yang pertama kali terjadi. Tapi di ILO diatur dalam kasus apa jenazah awak kapal bisa dikuburkan di laut.
Apa ketentuannya?
Ada beberapa ketentuannya, antara lain kalau penyakitnya menular, kapal tidak memiliki sistem pendingin, kapal berada jauh dari pelabuhan. Kapal-kapal ini adalah kapal longline yang biasanya mengambil ikan di laut lepas. Jadi jauh dari sana-sini. Karena itu, dalam investigasi nantinya keterangan yang kami inginkan dari perusahaan adalah apakah semua ketentuan ILO sudah dipenuhi.
Bagaimana dengan satu ABK lain yang meninggal?
Satu ABK itu, AR, sakit pada 26 Maret lalu. Ini dari kapal yang sama (Long Xing 629). Saat itu, dia akan ditransfer ke kapal Tian Yu 8 agar mendapat pengobatan karena mencari pelabuhan yang terdekat. Tapi, belum sampai berobat, dia meninggal pada 30 Maret. Lalu dikuburkan di laut esoknya. Menurut informasi dari pihak perusahaan, sudah ada persetujuan dari keluarga. Ini sekali lagi informasi dari perusahaan. Semua informasi yang masuk akan diverifikasi lebih lanjut oleh pemerintah.
Bagaimana dukungan dari pemerintah Cina dalam penanganan kasus ini?
Kami menjalin komunikasi dengan Duta Besar Tiongkok di Jakarta. Intinya kami meminta pemerintah Tiongkok membantu kami mendalami isu ini karena kan ini swastanya. Tapi akan lebih gampang bagi kami kalau antar-pemerintah bekerja sama mendalami isu ini. Kami minta pemenuhan tanggung jawab dari perusahaan Dalian Ocean Fishing Co Ltd terhadap para awak kapal. Duta Besar Tiongkok menyampaikan pemerintah Tiongkok akan memastikan perusahaan Dalian memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum yang berlaku dan kontrak yang disepakati.
Apakah semua ABK asal Indonesia itu, termasuk yang sudah meninggal, diduga menjadi korban perdagangan manusia?
Itu yang akan kami dalami. Prinsipnya begini, kalau human trafficking berarti harus ada unsur bahwa apa yang mereka alami itu tidak sama dengan apa yang dijanjikan. Misalnya yang dijanjikan adalah mereka digaji seribu, tapi ternyata mereka hanya digaji berapa ratus. Lalu dijanjikan bekerja selama delapan jam setiap kali shift, ternyata dipekerjakan selama 20 jam, atau bekerja hanya pada satu kapal tapi ternyata ditransfer. Ada yang misalnya boleh cuti pulang setiap berapa bulan tapi ternyata tidak terjadi. Ini yang harus kami dalami.
Apa pangkal persoalan yang menimpa para ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berbendera Cina itu?
Perlindungan warga negara Indonesia merupakan salah satu prioritas politik luar negeri. Dari waktu ke waktu, perlindungan ini tidak makin mudah karena mobilitas orang makin tinggi, lalu wilayah-wilayah konflik makin lebar. Soal tenaga kerja Indonesia itu, banyak sekali yang di hulunya harus diperkukuh. Kalau hulunya tidak kukuh, tidak jelas rekrutmennya, akan berimbas pada hilirnya. Misalnya untuk rekrutmen yang tidak jelas, apalagi jika tanpa kontrak atau kontraknya lemah, maka otomatis hak-hak untuk perlindungan mereka juga lemah. Terkadang para tenaga kerja kita saat menandatangani kontrak tidak membacanya dengan detail. Kalau disodori kertas bayangannya mendapatkan pekerjaan. Maka dengan serta-merta kontrak tersebut ditandatangani.
Apa yang seharusnya mereka lakukan?
Salah satu yang kami sarankan adalah, saat pelaksanaan kontrak, tolong ada pendampingan dari pemerintah. Sehingga warga negara kita tahu pasti apa yang ditandatangani, termasuk hak dan kewajibannya.
Bagaimana pemerintah mencegah hal seperti ini tidak terjadi lagi?
Kalau di hulu tidak dirapikan, warga negara kita akan selalu menjadi korban. Ada pihak-pihak yang banyak mengantongi uang dengan praktik-praktik seperti ini di atas penderitaan orang banyak dan tidak berkemampuan. Saya bersemangat dan agak emosi juga kalau berbicara tentang perlindungan. Mereka ini sebenarnya justru harus lebih banyak dilindungi karena tidak mampu. Tapi masih ada orang yang terus memanfaatkan ketidakberdayaan mereka untuk kepentingan kantongnya. Ini harus diputus.
• • •
Sebanyak 39 negara anggota Gerakan Non-Blok, termasuk Indonesia, membentuk gugus tugas penanganan Covid-19. Apa saja bentuk konkret kerja samanya?
Intinya akan membuat database mengenai keperluan yang dibutuhkan negara anggota Gerakan Non-Blok, terutama pemenuhan alat-alat kesehatan. Kebutuhan ini akan dikumpulkan dan dikomunikasikan dengan negara-negara donor, organisasi internasional, dan lain-lain. Database ini sangat penting karena per kemarin menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah ada 214 negara dan teritori yang terkena dampak. Jumlah kasusnya lebih dari 3,6 juta. Penambahan setiap hari berada pada kisaran 80 ribu kasus baru. Yang kita khawatirkan adalah negara-negara berkembang, terutama di Afrika yang belum memiliki kapasitas pengetesan secara masif. Saat pengetesan dilakukan secara masif, saya khawatir angkanya akan cukup besar. Negara berkembang, terutama least developed countries, akan mengalami tantangan yang lebih besar dibanding negara maju dan negara middle income seperti kita.
Apakah dalam Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok pada 4 Mei lalu juga dibahas soal penyediaan vaksin?
Mengenai obat dan vaksin selalu saya bawa dalam berbagai forum internasional dan pembicaraan dengan berbagai menteri luar negeri. Yang kita alami saat berbicara mengenai obat dan vaksin adalah soal ketersediaannya. Katakanlah obat dan vaksinnya ada, apakah negara-negara miskin dapat memiliki akses dan bisa membeli dengan harga terjangkau. Saat berbicara pandemi, kita berbicara soal kemanusiaan. Kalau di satu bagian dunia pandemi ini tidak bisa dikelola dengan baik, walaupun di bagian lain sudah selesai, bukan tidak mungkin bagian itu akan terinfeksi lagi karena kita hidup di dalam desa besar bernama dunia. Ini yang harus dipahami negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan besar farmasi.
Pertemuan Menlu RI dengan ABK WNI yang baru kembali dari Seoul setelah bekerja di Kapal berbendera Cina. Jakarta 10 Mei lalu./Dok. Kementerian Luar Negeri
Kesediaan negara-negara maju seperti apa?
So far mereka menunjukkan keterbukaan. Tapi harus terus kita suarakan karena vaksinnya sedang dikembangkan dan obatnya dalam uji klinis. Once they are there, vaksin ditemukan dan diujicobakan pada manusia dan obatnya berhasil, saya berharap sikap negara-negara maju dan industri farmasi besar dunia tetap memperhatikan isu kemanusiaan.
Kalau dilihat dari kebutuhan Indonesia, kerja sama dengan negara mana yang dinilai paling krusial untuk menangani wabah Covid-19?
Kita tahu peristiwa ini unprecedented dan extraordinary. Kalau dulu negara lain sedang kesusahan, misalnya kena angin topan, ada bagian dunia lain yang tidak kena dan bisa membantu. Kalau sekarang sak ndonya iku keno kabeh (seluruh dunia terkena). Kita bisa lihat negara-negara maju dengan teknologi tinggi, memiliki sistem kesehatan relatif baik, ternyata harus berjibaku mengatasi pandemi. Dalam kondisi seperti ini, tiap negara tidak bisa berharap akan ada bantuan besar dari negara lain. Tapi, dalam konteks kemitraan, kita masih bisa menjalin kerja sama dengan 101 pihak internasional, 9 di antaranya negara dan 10 organisasi internasional. Paling banyak adalah 82 dari lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan swasta asing. Sejauh ini, bentuk kerja samanya untuk pemenuhan keperluan medis dan obat.
Anda pernah sukses melobi pemerintah Korea Selatan dalam penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis. Seperti apa negosiasinya?
Kasusnya kita sama-sama butuh. Tapi hubungan personal yang baik itu akan sangat membantu hubungan resmi yang baik. Saya dekat dengan Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha. Maka, setiap kali ingin bicara, saya hanya cukup kirim teks, “Kyung-wha, can I call?” Kalau tidak sedang rapat, dia biasanya langsung balas. Jadi saya bisa langsung telepon dia. Saat itu isunya ketersediaan APD. Korea Selatan sudah lama sebenarnya memiliki investasi di sini. Mereka kirim bahan baku untuk pembuatan APD, dijahit dan dikemas di Indonesia. Dalam kondisi biasa, pesanan ini dikembalikan ke Korea Selatan. Tapi kan tidak elok dalam kondisi seperti ini kalau semua yang sudah dipesan dikembalikan begitu saja. Kita juga sudah mengeluarkan aturan untuk membatasi ekspor (perlengkapan medis dan APD).
Apa yang Anda katakan kepada Menteri Luar Negeri Korea Selatan?
Lalu saya bicara bahwa ini sudah beyond contract. Korea Selatan berhak bilang itu barang mereka, tapi please consider elemen lain. Akhirnya kami bisa sepakat. Kesepakatannya menurut saya is one of the best results. Kita tidak hanya mendapat 50-50, tapi juga ke depan bisa memperoleh bahan baku yang melebihi kebutuhan mereka. Mereka setuju. Awalnya sekitar 110 ribu APD, waktu itu kondisi kita kritis banget. Jadi negosiasinya membahas urusan nyawa. Begitu deal done, kita bisa menyelamatkan banyak pekerja medis. Hal yang sama terjadi untuk surgical gown dan obat Avigan dari Jepang.
Bagaimana penanganan terhadap WNI yang terkurung oleh kebijakan lockdown di beberapa negara sementara mereka kehabisan logistik?
Ini seperti kalau ada warga negara asing di Indonesia terus kita berlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Warga negara asing itu harus menghormati PSBB, seperti halnya kita berharap WNI menghormati keputusan di negara tempat mereka tinggal. Kalau negaranya completely lockdown, kami enggak bisa apa-apa. Gerakan para diplomat dibatasi. Jadi akan kami bantu semaksimal mungkin selama masih bisa. Perlindungan WNI masih sangat relevan dalam konteks pandemi. Kami harus menangani WNI yang terdampar, ingin pulang, dan harus dievakuasi. Juga kasus-kasus lain, seperti ABK, yang penanganannya harus sesuai dengan protokol kesehatan.
RETNO LESTARI PRIANSARI MARSUDI
• Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 27 November 1962 • Pendidikan: • S-1 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985) • S-2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda • Human Rights Studies di University of Oslo, Norwegia • Karier: • Deputi Direktur Kerja Sama Ekonomi Multilateral (2001) • Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika dan Eropa (2002-2003) • Direktur Eropa Barat (2003-2005) • Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Islandia (2005-2008) • Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (2008-2012) • Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda (2012-2014) • Menteri Luar Negeri (sejak 2014) • Penghargaan: Order of Merit dari Raja Norwegia (Desember 2011)
Sudah berapa banyak warga Indonesia yang dipulangkan selama masa pandemi?
Soal isu WNI, saya bicara soal repatriasi, bukan evakuasi. Jadi pulang secara mandiri. Ini terkait dengan isu Malaysia dan ABK karena jumlahnya cukup besar. Per 7 Mei lalu, sebanyak 71.659 WNI sudah pulang dari Malaysia. Sebagian besar pekerja migran.
Berapa WNI di luar negeri yang terinfeksi Covid-19?
Di seluruh dunia sudah ada 723 orang yang terpapar Covid-19 per 7 Mei lalu.
Sebarannya di berapa negara?
Akeh banget (banyak sekali). Aku enggak mau menghitung negaranya. Di Malaysia ada 79 orang; India juga banyak, hampir semuanya anggota Jamaah Tabligh Indonesia; di Amerika Serikat ada 27 orang; Arab Saudi 72 orang. Dari 723 WNI yang terinfeksi, ada 347 orang yang masih dalam perawatan, 338 orang sembuh, dan yang meninggal 38 orang.
Kasus meninggal di mana saja?
Amerika Serikat, Arab Saudi, Belanda, Inggris, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Turki. Ada juga ABK di kapal Oasis of the Seas, Viking Star, dan Costa Fascinosa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo