Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereduksi dengan Teknologi

Sebanyak 7.000 ton sampah setiap hari menumpuk di Bantargebang. ITF bisa menjadi solusi pengelolaan sampah Jakarta.

7 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Truk sampah dari DKI Jakarta di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Jakarta menghasilkan 7.000 ton sampah setiap hari dan hampir semua berakhir di Bantargebang.

  • Insinerator bisa menjadi solusi pengelolaan sampah Jakarta.

  • Ada kendala berupa minimnya kesadaran pemisahan sampah.

Hampir setiap harinya, kehidupan masyarakat di kota berdampingan dengan sampah. Salah satunya sampah rumah tangga yang teronggok dalam bungkusan plastik di depan rumah warga, di tiap sudut pasar, hingga di tepi jalan. Rutinitas pengangkutan sampah juga terlihat di jalan-jalan. Sampah dinaikkan ke truk pengangkut dan dibuang di pembuangan. Ada pula yang dibiarkan begitu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat, dari penginputan data yang dilakukan oleh 212 kabupaten dan kota di Indonesia pada 2022, jumlah timbulan sampah mencapai lebih dari 22 juta ton dalam setahun dan hanya 64,24 persen yang terkelola. Di kota-kota besar, seperti Jakarta, ada lebih dari 7.000 ton sampah muncul setiap harinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keterbatasan lahan untuk pengelolaan sampah memperumit situasi. Masalah ini diperparah oleh penanganan yang kurang efektif hingga berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya mengurangi jumlah timbulan sampah, termasuk lewat teknologi. Hingga pada 2016, muncul Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 50 Tahun 2016 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Fasilitas Pengelola Sampah di Dalam Kota atau Intermediate Treatment Facilities (ITF). Teknologi ini berupa insinerator, gasifikasi, pirolisis, hingga refuse-derived fuel (RDF). Selain mereduksi sampah skala besar, teknologi ITF mengubahnya menjadi bahan bakar alternatif.

Dari laman Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, ITF yang dimaksud merupakan teknologi pembakaran yang dilakukan pada suhu yang sangat tinggi, sekitar 1.200 derajat Celsius, sambil diaduk mesin agar panas yang diberikan merata dan menyeluruh.

Fasilitas pengolahan sampah refuse-derived fuel (RDF) plant di TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Dok. Sudin Lingkungan Hidup Jaktim

Pemprov DKI Jakarta membangun satu RDF di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dan telah diresmikan oleh penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, pada 27 Juni 2023. Proses pengolahan sampah menjadi RDF terdiri atas tahap penyaringan, pemilahan, pencacahan, dan pengeringan. “Fasilitas ini didesain untuk mengolah total 2.000 ton sampah per hari serta menghasilkan 700 produk RDF,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto.

Pemprov membatalkan ITF yang direncanakan dibangun di Sunter. ITF ini merupakan bagian dari empat proyek ITF sesuai dengan masterplan pengelolaan sampah Provinsi DKI Jakarta pada 2012-2032. Lokasi lain adalah Marunda, Cakung, dan Duri Kosambi. Sebelumnya, pemerintah menunjuk PT Jakarta Properindo, badan usaha milik daerah (BUMD), untuk menjalankan proyek tersebut.

Ali Achmudi Achyak, pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies, mengatakan ITF merupakan solusi yang lebih baik dibanding RDF. Insinerator dianggap sebagai teknologi cepat untuk menghancurkan sampah. “Karena semua dibakar sekaligus,” kata dia dalam diskusi manajemen pengelolaan sampah, Rabu, 5 Juli 2023.

Adapun RDF, Ali melanjutkan, butuh melalui proses pemilahan, pencacahan, dan pengeringan. Residunya pun lebih banyak. “RDF dan insinerator sama-sama baik, tapi seharusnya yang dipertimbangkan mana yang residunya lebih sedikit, itu yang kita pilih,” kata dia. Ali mengatakan pemerintah perlu memikirkan solusi cepat karena tiap hari jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir makin banyak.

Sampah yang masuk ke pembuangan akhir terdiri atas banyak jenis limbah. Hal itu membuat permasalahan timbunan sampah semakin rumit. Jika sama-sama jerami misalnya, gunungan sampah akan kokoh. “Tapi kalau jerami dicampur gedebong pisang, plastik, pepaya, ada yang masih kokoh, ada yang proses hancurnya cepat. Itulah yang kemudian menyebabkan rapuhnya tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan klasifikasi jelas,” kata dia.

Jika dipertahankan, bisa runtuh dan membahayakan pekerja dan warga. Gunung-gunung sampah di Bantargebang bisa meleleh karena pembusukan atau proses kimia. “Karena itu, insinerator jawabannya,” ujarnya.

Ia menambahkan, model ini telah diterapkan di industri kesehatan. “Sudah dilakukan di 24 titik di seluruh Indonesia, ada yang sampai zero residu,” kata dia. Adapun Kementerian Kesehatan mensyaratkan limbah rumah sakit harus zero atau nol per sekian persen residu karena kapasitas daya serap lingkungannya lebih buruk dibanding sampah lain. “Jadi terbukti, insinerator bisa residunya lebih sedikit,” kata dia.

Didominasi Sampah Organik

Sementara itu, Gusti Ragananta, peneliti dari Sustainability Sigmaphi Indonesia, mengatakan insinerator merupakan salah satu solusi untuk mengurangi masifnya sampah dan menawarkan alternatif. “ITF bisa menyerap 2.200 ton sampah per hari. Jadi, kalau ada empat, beroperasi tiap hari, masalah overload sampah Jakarta pasti teratasi,” kata dia.

Teknologi insinerator lewat moving grate incinerator (MGI) juga bisa mengolah sampah menjadi listrik. Selain itu, Gusti melanjutkan, teknologi ini dianggap lebih ramah lingkungan, sampah bisa dibakar hingga 97 persen volume dan tidak meninggalkan polutan. Bahkan air hasil pemrosesan bisa diminum, memenuhi standar lingkungan Euro 3, dan terbukti sukses digunakan di banyak negara maju.

Namun Ali Achmudi mengakui bahwa pembangunan insinerator membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi permasalahan pemilahan di masyarakat karena tidak semua jenis sampah bisa dibakar bersamaan menggunakan insinerator. “Kalau logam, tetap butuh pemisahan,” kata dia.

Tak Paham Memilah Jadi Masalah

Disiplin pemilahan sampah masih menjadi permasalahan yang memperparah penumpukan sampah. Sebagian besar warga Jakarta belum menjalankan praktik pemisahan sampah. Aam, 51 tahun, misalnya, warga Kemandoran, Grogol, Jakarta Selatan, mengaku tidak pernah memilah sampah menurut kategori. “Semua saya masukan dalam satu kantong kresek gede, sekaligus,” kata dia.

Pengunjung membuang sampah di Setul, Bogor, Jawa Barat. Dok. TEMP/Nurdiansah

Aam tidak memahami pentingnya pemilahan sampah karena yang dia lihat selama ini belum ada keharusan dari pengangkut untuk memilah. “Semua di angkut pakai gerobak sepeda motor sampah sekaligus di satu RT,” kata dia.

Dia membayar Rp 30 ribu per bulan untuk jasa pengangkut sampah yang datang tiap dua hari sekali. Menurut dia, ada tiga gerobak sepeda motor berbeda yang selalu lewat di area RT setempat dan mengangkut masing-masing sampah rumah tangga dengan bayaran bervariasi dari Rp 15 ribu hingga yang termahal Rp 30 ribu.

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative Indonesia, mengatakan sosialisasi pemilahan sudah puluhan tahun dilakukan, tapi tak berjalan di akar rumput. “Tantangannya, banyak sampah sudah dipilah dan dikumpulkan kemudian digabung lagi saat diangkut dan di pembuangan sementara,” kata dia.

Aktivis lingkungan yang juga pendiri Gerakan Diet Kantong Plastik ini mengatakan seharusnya ada regulasi yang memberikan konsekuensi. “Misalnya, kalau sampah tidak dipilah, sampahnya tidak perlu diangkut,” ujar Tiza. Menurut dia, tanpa perlu denda apa pun jika hal itu diterapkan, akan ada masyarakat yang mulai paham bahwa itu adalah keharusan. “Di luar negeri diterapkan. Kalau enggak dipilah, tidak akan diambil sampahnya. Regulasi itu perlu ada di Indonesia,” ujarnya.

ILONA ESTERINA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus