Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi KeduaPenyusun: Eko Endarmoko
Perwajahan isi: Ayu Lestari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016
Halaman: xxx + 802
TESAURUS dan kamus sama-sama buku rujukan bahasa. Kamus menjadi juru bantu kalau kata sudah di tangan tapi makna persisnya belum ada di benak. Sebaliknya, kalau makna sudah di benak tapi kata yang tepat belum didapat, jadilah tesaurus tempat bertanya. Dalam tesaurus, kata berderet terkait dalam satuan makna.
Apa kata Indonesia untuk makna 'beautiful, lovely', 'good', misalnya? Salah satunya: elok. Namun, apabila ada hasrat menerapkannya pada sosok perempuan, pertanyaannya: kata apa yang tepat? Tesaurus menyodorkan sejumlah pilihan, antara lain ayu, cantik, jelita, molek.
Kita bersyukur pada 2006 lahir karya rintisan, tesaurus pertama bahasa Indonesia, susunan Eko Endarmoko: Tesaurus Bahasa Indonesia. Kini, sepuluh tahun kemudian, mewujud edisi keduanya, makin akil balig dan bersilih judul: Tesamoko.
Penyusunnya mengaku ada beberapa perubahan pada edisi terbaru: 29.865 lema dan 4.105 tambahan kata baru, dihimpun berdasarkan "hubungan makna kata yang satu dengan yang lain".
Mari kita tilik apa lagi tambahan pada Tesamoko, selain menyeruaknya dua komponen baru; antonim (ant.) dan variasi (var.). Kata santai pada Tesaurus 2006 bersekawan dengan rileks; di bawah kata rileks tercantum rileksasi. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008) ada relaks, relaksasi, ada pula rileks (ragam cakapan), rileksasi, dan merilekskan. Tesamoko meminggirkan rileks: rileks relaks (baca: rileks dirujukkan pada relaks).
Telur dan telor rupa beda, makna sama; yang pertama bentuk baku, yang kedua bukan. Bagaimana dengan kurban dan korban? Ada tiga penjelasan yang berbeda pada tiga buku rujukan bahasa ini. Dua bentuk itu dibedakan pada Tesaurus 2006; yang pertama bermakna 'persembahan', yang kedua 'victim' (Ing.). Pada Kamus Besar, kurban 'persembahan kepada Allah' (biri-biri, sapi,...), sedangkan korban bermakna dua; yang pertama sama dengan kurban, yang kedua bercontohkan korban tabrakan. Tesamoko lain lagi; kurban terpinggirkan: kurban korban.
Tambahan kata baru ternyata bukan sekadar penambahan jumlah lema dan kata serta dua komponen baru. Tengok, misalnya, kata elok. Pada terbitan 2006 terderetkan 44 kata yang memiliki "hubungan makna satu dengan yang lain". Namun, pada edisi yang baru, selain jajaran bertambah lima anggota baru, pemaparannya tidak sekadar berbanjar dari kiri ke kanan, tapi digolongkan ke dalam lima gugus: (a) bagus, cakap, ganteng..., (b) ayu, cantik, jelita, kirana, manis, molek..., (c) aksi, anggun, elegan, necis, perlente..., (d) artistik, asri, bahari, cemerlang, estetis, indah, menawan, permai..., (e) baik, patut.
Eko Endarmoko tidak berkuar-kuar apa dasar penggolongan ini. Namun dapat ditebak apa yang ada di balik benaknya saat menggarap lema elok ini: (a) maskulin, (b) feminin, (d) neutrum, (c) penampilan, (e) penilaian (judgement).
Pengelompokan seperti ini langkah pembaruan, kekhasan dari Tesamoko. Landasan spontan secara intuitif ini—dan oleh karena itu tidak tertuangkan ke dalam kata pengantar Tesamoko—sungguh menantang untuk dicermati dari lema satu ke lema berikutnya, lalu disingkapkan menjadi penjelasan yang tersurat. Sebab, tak setiap lema sama dasar penggolongannya dengan yang pada lema elok. Ini lahan yang dapat menjadi umpan bagi penelitian semantik, khususnya terkait dengan bahasa Indonesia.
Terakhir, ada satu lagi yang mengesimakan pada Tesamoko, terpaut dengan lema heran. Heran pada Kamus Besar dijelaskan dalam keberpautannya dengan makna 'ganjil, aneh, ajaib'. Tesaurus 2006, mengikuti Kamus Besar, mencantumkan itu sebagai kesinoniman jenis kedua. Namun, pada Tesamoko, tiga kata itu ('ganjil, aneh, ajaib') sama sekali tidak menyembul pada deretan kata di bawah lema heran. Mengapa? Karena mereka "tak punya pertalian makna".
Mari kita kejar apa itu "pertalian makna". Atau, secara lebih umum: bagaimana Eko Endarmoko mendefinisikan caranya menghimpun kata berdasarkan "pertalian makna" atau "hubungan makna kata yang satu dengan kata yang lain".
Pertanyaan ini membuahkan sederet pertanyaan lebih rinci menyangkut deretan kata di bawah lema heran. Mengapa bertanya-tanya diletakkan di bawah heran dan bukan di bawah terheran-heran? Mengapa terpukau, tertegun, tercengang tidak di bawah heran, melainkan di bawah terheran-heran?
Ada sejumlah kata yang dapat disangkutpautkan dengan heran, tapi tidak tercantum pada Tesamoko: ternganga, (ter)bengong, terkejut, kaget, terperanjat. Dua kata deretan pertama ini dapat dikatakan sebagai "gambaran fisik" dari orang yang merasa heran. Tiga kata yang terakhir merupakan "akibat" dari seseorang yang merasa heran. Bagaimana pula dengan terkesima?
Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan utaraan penghargaan atas karya besarnya tahun ini. Jawaban terpulang pada bagaimana Eko Endarmoko mendefinisikan "hubungan makna" itu tadi—bahan pertimbangan bagi pengembangan ke edisi berikutnya.
Bambang Kaswanti Purwo, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo