DI Mataram, ibukota propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang
sedang dipersiapkan menjadi kota Administratip, pungutan Ipeda
berjalan seret. Artinya warga kota yang kini masih berstatus
kecamatan ini masih banyak menunggak. Dan mereka-mereka yang
nunggak ini, pernah dipanggil ke kantor Camat Mataram. Menurut
keterangan seorang petugas Ipeda sektor perkotaan, kepada mereka
yang menunggak ini, diberi batas waktu selambat-lambatnya akhir
Maret lalu untuk melunasi tunggakannya. Bersamaan waktunya
dengan dipanggilnya para penunggak itu, kantor Camat Mataram ada
menerima beerapa pucuk surat dari beberapa orang warganya. Bukan
surat kaleng.
Para pengirim surat yang memakai nama & alamat terang itu,
menurut keterangan petugas kecamatan, adalah tergolong
orang-orang intelek yang menduduki jabatan cukup penting di
kantor pemerintah. Isi surat: mengusulkan kepada Camat agar
meninjau kembali pengenaan Ipeda sektor perkotaan itu. Pungutan
dirasakan kurang adil & belum waktunya dipungut. "Mataram belum
merupakan sebuah kotamadya", ucap seorang warga kecamatan
Mataram kepada TEMPO. Kemudian lanjutnya "untuk jadi kotamadya,
Mataram haruspunya master-plan. Saat ini pembagian kelas-kelas
wilayahnya masih semrawut. sehingga sistim pengenaan Ipeda
sektor perkotaan mau tak mau juga terpaksa semrawut". Bagaimana
komentar Haji Usman BA? "Saya ini cuma pelaksana yang diberi
tugas oleh atasan saya", kata Camat Mataram itu.
Ipeda sektor perkotaan mulai dikenakan terhadap warga kecamatan
Mataram tahun 1975 kemarin. Yang dijadikan obyek adalah
luas/kelas tanah serta bangunan rumah yang berdiri di atasnya.
Di kecamatan Mataram, sebagian besar dari bangunan rumah tempat
tinggal penduduk tergolong masih berkonstruksi semi permanen.
Berdinding gedek atau papan atau tanah biasa, dengan atap
alang-alang. Tanah tempat berdirinya rumah-rumah itu masih
banyak yang belum punya akte, apalagi sertifikat sebagai bukti
hak milik. Lokasi rumah-rumah itu pun tidak teratur. Ini
menyebabkan sulit untuk menentukan batas wilayah. Sehingga,
kriteria yang digunakan oleh para petugas untuk menentukan
jumlah Ipeda yang harus dikenakan juga terasa sulit.
Rumah Dinas
Dan berdasarkan serangkaian wawancara dengan beberapa orang
kepala kampung, TEMPO berkesimpulan: bahwa para kepala kampung
tersabut dalam melaksanakan tugasnya rata-rata masih
meraba-raba, meskipun mereka sudah diberi pegangan. Akibatnya,
setelah pungutan Ipeda sektor perkotaan dilaksanakan, terjadi
protes dari sebagian penduduk. Seorang warga kota mengeluh
kepada TEMPO. "Rumah saya yang bangunannya semi permanen,
dinding separoh gedek separoh tanah biasa dengan atap
alang-alang, diklasifikasikan sebagai klas 2 mengikuti klas
tanah saya yang memang klas 2 karena letaknya di tepi jalan
besar", katanya. Untuk itu ia dikenai Ipeda sektor perkotaan
sebesar Rp 9000 lebih. "Jumlah yang harus saya bayar sama dengan
jumlah yang harus dibayar oleh tetangga sebelah yang rumahnya
gedung permanen", lanjutnya sambil tersenyum kecut.
Ini lagi. Para pegawai negeri yang menempati perumahan dinas,
dalam memenuhi kewajiban membayar Ipeda sektor perkotaan,
termasuk penunggak-penunggak yang keras kepala--ini menurut
istilah Camat Mataram. Mereka tak mau mengeluarkan uang dari
kantong sendiri, karena rumah yang mereka tempati adalah rumah
pemerintah. "Kami mestinya bebas", komentar beberapa orang di
antaranya. Lalu apa sanksinya kalau para penunggak tersebut
tidak juga memenuhi kewajibannya? Dengan wajah menyesal, Camat
Usman berkata:
Saya serahkan kepada pihak atasan saya. Pemda Lombok Barat tokh
punya juru sita". Nah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini