Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pemakaman bersalju yang lengang, berdiri sekelompok orang mengelilingi salah satu liang lahatnya. Sebagian besar perempuan dan pria di atas 40 tahun, hanya beberapa yang belum mencapai 40 berani menantang amarah Nazi. Sebenarnya masih banyak sahabat almarhum yang ingin memberi penghormatan terakhir, tapi mereka harus tinggal di rumah menahan duka. Hari yang sedih, pemakaman yang sedih.
Begitulah alinea pertama berita duka berjudul "Irawan Soejono" buah pena RM Soeripno (1920-1948), redaktur de Bevrijding (pembebasan). Inilah berkala bawah tanah milik mahasiswa Indonesia di Belanda tatkala negeri penjajah itu diduduki Nazi Jerman. Tidak jelas apakah Soeripno, yang waktu itu masih berumur 25 tahun, hadir di permakaman Groenesteeg, Leiden. Yang pasti, obituari dalam bahasa Belanda ini terbit pada September 1945, empat bulan setelah Nazi takluk dan Belanda sudah sepenuhnya bebas. Karena itu, nama Irawan Soejono disebut dan Soeripno juga mencantumkan namanya.
Pada edisi Juni 1945, sebulan setelah Jerman takluk, telah disebut bahwa Irawan tertembak mati. Juga penjelasan mengapa mahasiswa Indonesia memihak kalangan verzet, yaitu orang-orang Belanda yang melawan pendudukan Nazi. Sebagai gerakan demokratis, tulis Soeripno, Perhimpoenan Indonesia selalu melawan fasisme. "Sebagai demokrat, kami sadar merekalah musuh utama. Dengan melawan pasukan pendudukan, kami makin punya kekuatan untuk memperjuangkan bangsa Indonesia."
Pada Januari 1945, di tengah musim salju, Nazi masih malang-melintang di pelbagai wilayah Eropa yang didudukinya. Di Leiden berlangsung razzia menahan kaum pria yang belum mencapai 40 tahun untuk dikirim ke Jerman, ikut arbeiteinsatz alias kerja paksa. Pada 13 Januari, Irawan Soejono, dengan menggunakan sepeda, membawa keperluan cetak majalah de Bevrijding, yang kalau sampai diketahui Nazi pasti akan membahayakan dirinya. Begitu melihat razzia, Irawan berbalik dan memacu sepedanya.
Tapi seorang prajurit Wehrmacht (tentara Jerman) yang melihat Irawan kabur segera melepaskan tembakan yang tepat mengenai pelipis pemuda kelahiran Pasuruan ini. Irawan Soejono tewas seketika. Soeripno, yang mendengar berita ini, lalu menulis: "Senjata bodoh yang ditembakkan oleh seorang pembunuh tolol telah memutus tali kehidupan seorang putra Indonesia yang belum lagi mencapai 25 tahun."
Irawan Soejono sangat penting bagi de Bevrijding. Soeripno memaparkan pribadi Irawan sebagai berikut:
Henk van de Bevrijding (Henk Pembebasan) begitu Irawan dikenal dan dicinta oleh kalangan ilegal bisa menangani semuanya. Dia bertugas mengurus masalah teknis untuk berkala bawah tanah kami. Dia adalah "direktur" dan "administratur", dia menangani mesin, kertas dan pesawat radio, dia sendiri sering mengangkut itu semua menggunakan sepeda, gerobak dorong, atau koper. Cuaca bagus atau buruk, dengan atau tanpa bahaya, tengah malam dalam hawa dingin Henk selalu sibuk. Secara teliti dia mengerjakan tugasnya, ini membuatnya sebagai salah satu anggota Perhimpoenan Indonesia yang paling sibuk, dia merupakan roh majalah de Bevrijding.
Menurut Lodewijk Kallenberg, penulis biografi Irawan Soejono yang diluncurkan pada 1 Mei lalu, Irawan Soejono bukan anggota redaksi de Bevrijding. "Irawan bukanlah seorang yang memimpin, tapi dia ada di mana-mana dan berperan sentral dalam menerbitkan dan mengedarkan de Bevrijding," ujar Kallenberg. Pensiunan dosen matematika Universitas Leiden ini menambahkan bahwa di luar penerbitan, misalnya dalam kelompok pertahanan, Irawan juga tidak memegang jabatan pimpinan. Tapi dia terlibat dalam banyak hal, sehingga bisa dikatakan Irawan adalah pelaksana jempolan. "Kekuatannya adalah melaksanakan pelbagai rencana," Kallenberg menegaskan.
C.J.M. Kramers, 91 tahun, kenal dengan Irawan Soejono. Sebagai remaja belasan tahun, dia ikut mengedarkan de Bevrijding karena di rumahnya bersembunyi seorang Belanda yang tahu banyak tentang Perhimpoenan Indonesia. "Lebih baik bukan orang Indonesia yang mengedarkannya, mereka akan begitu menonjol," tuturnya. Seingat Kramers, beberapa kali sepekan dia bersepeda ke desa-desa di sekitar Leiden untuk mengedarkan berkala asuhan mahasiswa Indonesia ini.
Menurut dia, Irawan adalah seorang pemuda yang menyenangkan dan pernah kepadanya Irawan menegaskan, begitu perang usai, Indonesia harus merdeka. Kramers menjawab singkat, "Kalian belum siap." Irawan menyayangkan jawaban ini, demikian menurut Kramers, yang segera mengaku waktu itu dia tidak tahu banyak tentang perjuangan orang Indonesia.
Lodewijk Kallenberg percaya, tanpa Irawan Soejono, berkala de Bevrijding tidak akan ada. Justru hasrat besar itulah yang menghantar mahasiswa sosiografi ini pada akhir hayatnya. Penulis biografi ini menambahkan, pada 13 Januari itu, untuk pertama kalinya pasukan pendudukan Jerman mengadakan razzia besar-besaran di Leiden. Sebelum itu Irawan sempat dua kali berhasil menghindari sergapan Nazi. "Yang pertama dengan melarikan diri, yang lainnya dengan melompat dari trem yang tengah melaju," tulis Soeripno. Kallenberg yakin Irawan tidak tahu bahwa pada Sabtu, 13 Januari, akan ada razzia besar-besaran. Karena sesudah itu warga Leiden lebih berhati-hati.
Meneliti apa yang diangkut Irawan di sepedanya, Lodewijk Kallenberg menjumpai tiga sumber yang menyatakan tiga hal berbeda. Menurut koran De Waarheid, yang pada 1985 menerbitkan artikel besar tentang Irawan, dia mengangkut mesin tik. Dalam laporan polisi Jerman tertera bahwa Irawan mengangkut kertas. Sumber lain yang menekuni penerbitan ilegal di Leiden menyebutkan bahwa Irawan membawa mesin stensil yang baru direparasi. Dari tiga versi ini, Kallenberg menyimpulkan bahwa apa pun yang diangkut Irawan itu pasti akan disita oleh pasukan Jerman, dan dirinya dalam bahaya.
Selain menerbitkan majalah ilegal dan ikut perlawanan bersenjata bawah tanah dalam satuan pertahanan mahasiswa, Lodewijk Kallenberg masih mencatat satu lagi aktivitas perlawanan Irawan. Bersama Slamet Faiman, dia aktif menyembunyikan anak-anak Yahudi dari cengkeraman Nazi. Itu dilakukannya ketika tinggal di Amsterdam mulai akhir 1941.
Lahir di Pasuruan pada 20 Januari 1920, Irawan Soejono adalah putra ketiga keluarga Raden Adipati Soejono, yang ketika itu menjabat bupati di kota kecil Jawa Timur ini. Meniti karier dalam birokrasi kolonial (sebagai pegawai Binnenlands Bestuur atau pangreh praja), Soejono sempat menjadi anggota Volksraad (DPR di zaman kolonial yang anggotanya ditunjuk, bukan dipilih). Pada 1930, Soejono menjalani tugas belajar di Belanda. Bersama istri dan empat anaknya, dia menetap di Den Haag. Irawan, yang waktu itu berumur 10 tahun, menempuh pendidikan dasar di Belanda.
Pada 1932, Irawan ikut orang tuanya kembali ke Hindia selama dua tahun. Waktu itu dia menjadi murid Bataviaasch Lyceum, sekolah menengah bergengsi di Batavia. Tapi tidak diselesaikannya karena pada 1934 Irawan kembali ikut ayahnya ke Den Haag, yang menjadi anggota delegasi perundingan karet internasional. Akhirnya Irawan menyelesaikan pendidikan menengah di Den Haag. Setelah lulus pada 1940, dia mulai menjadi mahasiswa di Leiden. Pada akhir 1941, Irawan pindah kuliah ke Amsterdam karena Universitas Leiden ditutup oleh Jerman. Ia tinggal bersama kakaknya, Mimi Soetiasmi, yang juga kuliah di Amsterdam.
Mimilah yang kemudian mengurus jenazah Irawan. Ia membeli liang lahad di permakaman Groenesteeg, Leiden. Pada 19 Januari 1945, Irawan dimakamkan, tapi hanya untuk sementara. Dalam kartu duka tertera bahwa pihak keluarga ingin memperabukan jenazahnya, tapi banyak masalah karena Belanda masih diduduki Jerman. Karena itu, untuk sementara Irawan dimakamkan. Perabuan baru dilaksanakan pada 14 November 1946. Abu jenazah Irawan dibawa pulang ke Indonesia oleh pasangan suami-istri Rachmad Koesoemobroto dan Nel van de Peppel, yang juga aktif dalam perlawanan terhadap Nazi. Mereka kembali ke Indonesia. Pada 1 Januari 1947, abu jenazah Irawan diserahkan ke keluarganya.
Selama masa pendudukan Jerman, di Belanda menetap sekitar 800 orang Indonesia. Sebagian besar melakukan studi lanjut di perguruan tinggi negeri penjajah. Menurut Lodewijk Kallenberg, 60-100 orang terlibat dalam perlawanan terhadap Nazi. Seusai perang, diperkirakan 100 orang meninggal akibat penyakit, kurang gizi, atau kedinginan. Dari jumlah itu, delapan orang tewas akibat ulah Nazi. Selain Irawan Soejono yang ditembak, masih ada nama seperti Sidartawan, Moen Soendaroe, Victor Makatita, dan Eddy Latuperisa. Mereka meninggal di kamp konsentrasi di Jerman.
Joss Wibisono (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo