Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Merebut Negara dari Cengkeraman Plutokrasi

Rezim pasca-Orde Baru mengalami dua kali pembajakan. Kelompok reformis moderat bersekutu dengan elite rezim lama.

30 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reclaiming the State, Overcoming Problems of Democracy in Post-Soeharto Indonesia
Editor: Amalinda Savirani & Olle Tornquist (2015)
Penerbit: PolGov, PCD, Yogyakarta
Halaman: xvi + 231

Asumsi yang mendasari buku yang diluncurkan oleh Universitas Gadjah Mada pada akhir Mei ini adalah bahwa demokratisasi Indonesia pada kenyataannya hanyalah sebuah proses panjang liberalisasi politik (halaman ix). Sebagai proyek anti-otoritarianisme, dulu gerakan-gerakan demokratisasi punya tujuan tunggal, yakni menumbangkan rezim korup dan otoriter Orde Baru di bawah penguasa-nyaris-mutlak Soeharto.

Setelah Soeharto jatuh, proyek demokratisasi berhasil membangun demokrasi elektoral dalam format negara liberal. Tapi rezim pasca-Orde Baru mengalami dua kali pembajakan. Pertama oleh kalangan oposisi elitis yang kompromis-kaum elite yang kemudian membangun partai-partai untuk meraih kekuasaan mereka sendiri. Pembajakan elite ini menyebabkan kondisi untuk transisi ideal tidak pernah muncul.

Tak pernah terjadi situasi "ruptura pactada" (pakta revolusi) seperti di Amerika Latin ketika elemen-elemen rezim lama benar-benar sirna karena berkuasanya kelompok oposisi radikal. Yang terjadi adalah skenario seperti di Eropa Selatan pada 1970-an ketika kelompok-kelompok reformis moderat bersekutu dengan beberapa kalangan elite rezim lama. Hasilnya, lahirlah semacam rezim bablasan Orde Baru, untuk meminjam istilah Mochtar Pabottingi.

Sebagai rezim "bablasan", tak mengherankan jika pilar-pilar lamanya tetap dipertahankan. Golkar, misalnya, tetap malang melintang. Jenderal-jenderal lama, termasuk yang dulu menjadi para penjahat hak asasi manusia, dengan leluasa melakukan reposisi-misalnya dengan menjadi centeng-centeng korporasi, menjadi penguasa-penguasa lokal, bikin partai-partai baru, bahkan salah satunya malah jadi presiden selama 10 tahun.

Selama dua periode di bawah jenderal yang nyambi jadi biduan itulah terjadi pembajakan kedua. Pembajakan kedua dilakukan kalangan oligark-bisnis, lama ataupun baru. Para oligark menyusup ke partai-partai, membelinya, menguasainya, atau mendirikan yang baru. Sementara di masa lalu mereka membeli perlindungan kekuasaan, sekarang mereka menguasai instrumen kekuasaan secara langsung. Oligarki ekonomi dan politik muncul menguasai semua lembaga dan mekanisme politik demokrasi. Hee Yeon Cho (2014) menyebut rezim yang mereka bangun sebagai oligarki-demokratik, sedangkan Jeffrey Winters (2012) memiliki istilah yang lebih persis dengan menyebutnya oligarki-elektoral.

Pembajakan kedua telah membuat demokrasi elektoral sepenuhnya berubah fungsi menjadi instrumen untuk meraih, membangun, dan menegakkan plutokrasi-kekuasaan yang dikendalikan oleh sangat sedikit elite yang mendominasi sumber daya politik dan ekonomi. Buku ini membeberkan data bahwa dua pertiga oligark berasal dari kalangan elite baru (halaman 62-65). Karena sebagian besar dari mereka punya latar belakang dalam dunia bisnis, mereka muncul menjadi aktor dominan yang melanggengkan koneksi bisnis dan politik (halaman 69). Dalam dinamika oligarki, negara hanya jadi arena tertutup bagi berlangsungnya pertarungan para oligark-plutokratik itu.

Dengan data itu, buku ini mengajak kita untuk meyakini bahwa di Indonesia pasca-Reformasi, demokrasi mengalami transmutasi menjadi plutokrasi; atau setidaknya demokrasi menyediakan fungsi plutokratik bagi kekuasaan aktual para oligark yang menguasai negara. Di situlah demokrasi kehilangan basis politiknya. Di situ pulalah partai-partai menjauhkan diri dari basis sosialnya. Demokrasi akhirnya menjadi sekadar instrumen bagi berlangsungnya tiga praktek negara plutokratik: informalisasi, depolitisasi, dan marginalisasi.

Buku ini menawarkan resep simpel untuk membebaskan negara dari cengkeraman plutokrasi, yakni dengan merebutnya kembali. Tiga argumennya: pertama, dengan merebutnya kembali dari monopoli oligarki, maka negara akan mempunyai peran besar untuk mempromosikan demokratisasi yang lebih substantif, antara lain dengan agenda mereaktivasi subyek politik kewarganegaraan demi memajukan hak-hak ekonomi dan sosial.

Kedua, dengan membebaskan negara dari cengkeraman kepentingan-kepentingan privat oligarki, pemajuan sistem negara-kesejahteraan dianggap lebih niscaya diselenggarakan. Dan ketiga, dengan dua agenda nasional itu, upaya-upaya untuk menghidupkan kembali rezim-rezim demokratik di tingkat lokal juga menjadi lebih dimungkinkan.

Tiga agenda itu, berikut peluang-peluang dan hambatan-hambatannya, dielaborasi menjadi topik-topik riset yang dilaporkan buku ini.

A.E. Priyono, associate researcher pada jurnal Prisma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus