Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

20 Tahun Setelah Pekik ’Reformasi!’

LENGSERNYA Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa menandai lahirnya sebuah era: reformasi. Euforia merebak. Agenda perubahan dikumandangkan. Indonesia memasuki zaman baru yang lebih demokratis. Dua puluh tahun berlalu, reformasi juga mendatangkan sejumlah paradoks. Sebagian tuntutan yang dipekikkan mahasiswa di jalanan dan gedung parlemen pada 1998 meruap ditelan kepentingan politik.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
20 Tahun Setelah Pekik ’Reformasi!’

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA hari setelah mahasiswa menduduki gedung parlemen sampai ke atapnya, Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden. Mohamad Syafi' Ali, salah seorang pemimpin pendudukan gedung Dewan Perwakilan Rakyat oleh mahasiswa pada 1998, berkelakar: "Soeharto mundur terlalu cepat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal jumlah mahasiswa yang datang ke Senayan belum sampai puncaknya. Mendengar kawan-kawannya "menguasai" DPR, mahasiswa terus berdatangan dengan memekikkan tuntutan yang sama: reformasi!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis ekonomi yang mulai menerpa pada pertengahan 1997 menjalar ke mana-mana. Harga-harga bahan pokok meroket. Pada 18 Mei 1998, hari pertama mahasiswa berada di DPR, nilai tukar rupiah terpuruk hingga 12.800 per dolar Amerika Serikat. Di beberapa tempat penukaran valuta asing, rupiah bahkan menyentuh 16.000 per dolar. Hanya berita tentang lengsernya Soeharto yang membuat kerumunan di DPR bubar.

Mengapa Soeharto akhirnya bersedia mundur setelah 32 tahun berkuasa? Dalam sebuah diskusi beberapa tahun lalu, sosiolog Soe Hok Djin alias Arief Budiman menilai gelombang demonstrasi mahasiswa bukanlah faktor determinan. Bila Soeharto mau, kata Arief, unjuk rasa bisa digebuk mundur. Saat itu, seluruh kekuasaan terpusat di tangan Soeharto.

Arief mendengar dari Nurcholish Madjid, salah seorang tokoh yang beberapa kali dipanggil ke Istana menjelang Soeharto lengser, bahwa sang Presiden tampak kuyu. Semangatnya telah longsor. Keinginannya membentuk Komite Reformasi sepulang dari Mesir pada 15 Mei 1998 tak disambut para pembantunya.

Pada 20 Mei itu, 14 menteri menolak duduk di komite tersebut. Mereka menuangkannya dalam sepucuk surat. Alinea pertama surat itu secara eksplisit menyatakan keraguan para menteri, yang sebagiannya disebut-sebut sebagai anak emas Soeharto, kepada sang Presiden. Secara implisit, mereka pun meminta Soeharto segera lengser.

Tusukan kepada Soeharto juga datang dari Senayan. Di kompleks parlemen pada hari pertama mahasiswa berkerumun di sana, Ketua DPR sekaligus Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Harmoko, menyerukan kepada Soeharto agar segera mundur. Harmoko, bekas Menteri Penerangan, juga dikenal sebagai orang dekat Soeharto.

Karena itu, Arief Budiman meyakini tak ada penyebab tunggal mundurnya Soeharto. Kombinasi gelombang protes, keadaan ekonomi yang terpuruk, kerusuhan di sejumlah tempat, dan "pengkhianatan" oleh orang-orang dekatnya itulah yang mendorong Soeharto mengakhiri kekuasaannya.

Tanggal 21 Mei 1998 kemudian menjadi tonggak bahwa Indonesia memasuki sebuah era baru: reformasi. Sebagian tuntutan mahasiswa yang dikenal sebagai "Enam Tuntutan Reformasi" terwujud, meski tertatih-tatih dan tak sekaligus. Misalnya, Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi tatakan hukum bernegara diamendemen. Jabatan presiden dibatasi. Kekuasaan kehakiman betul-betul disapih dari eksekutif. DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga jadi bergigi.

Presiden dan kepala daerah kini bisa dipilih langsung oleh rakyat. Tentara dan polisi hengkang dari parlemen. Masyarakat dan pers pun lebih leluasa bersuara karena kebebasan berpendapat dijamin undang-undang. Yang juga tak boleh dikesampingkan, reformasi melahirkan dua lembaga yang menjadi ikonnya: Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tapi setiap perubahan punya sisi lain. Dua puluh tahun setelah reformasi, tuntutan itu juga menciptakan sejumlah ironi. Contohnya, otonomi daerah yang luas melahirkan raja-raja kecil. Pemilihan kepala daerah dan wakil rakyat secara langsung mengakibatkan mahalnya ongkos politik. Ujung-ujungnya, setelah menjabat, banyak dari mereka mencari rente agar balik modal.

Dibukanya keran kebebasan berpendapat juga melahirkan paradoks. Ujaran kebencian dan berita palsu tumbuh subur. Lihatlah bagaimana repotnya Presiden Joko Widodo menangkis kabar bohong bahwa ia keturunan anggota Partai Komunis Indonesia seperti yang dituduhkan para penentangnya.

Ada juga tuntutan yang tak kunjung terealisasi. Ketika rezim berganti, publik menggebu-gebu ingin menyeret Soeharto ke pengadilan dengan seabrek tudingan: pelanggaran hak asasi manusia hingga dugaan korupsi yang melibatkan keluarga dan kroninya. Tapi, hingga Soeharto wafat, tak pernah sekali pun ia dibawa ke meja hijau.

Waktu menguapkan tuntutan tersebut dari pembicaraan. Publik tak lagi alergis tatkala ada partai politik yang terang-terangan mengusung "Soehartoisme". Anak Soeharto yang pada awal reformasi terkucil kini kembali ke panggung politik. Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto memimpin Partai Berkarya, yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum 2019.

Orde reformasi yang diberi mandat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat gagal membawa perkara ke pengadilan. Berkas-berkas kasus masa lalu-misalnya peristiwa 1965 dan penembakan misterius pada 1982-1985-teronggok di laci Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena ditolak Kejaksaan Agung dengan berbagai dalih. Demikian pula perkara yang terjadi di sekitar kejatuhan Soeharto, seperti penembakan Trisakti dan kerusuhan Mei 1998.

Pada hari-hari ketika kerusuhan terjadi, para pemimpin militer yang ikut bertanggung jawab atas keamanan Ibu Kota justru pergi ke Malang, Jawa Timur. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Wiranto memboyong sejumlah jenderal untuk menghadiri upacara serah-terima pimpinan Pasukan Pengendali Reaksi Cepat.

Dalam bukunya, Bersaksi di Tengah Badai, Wiranto mengatakan tak bermaksud membiarkan kerusuhan di Jakarta tak terkendali. "Saat itu bukan zaman Romawi atau Majapahit. Panglima bisa mengendalikan komando dari mana saja," Wiranto menulis. Nyatanya, peristiwa kelam itu tak terhindarkan. Dua puluh tahun kemudian, Wiranto tetap berada di pucuk pemerintahan dengan jabatan lain: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Pembaca, kami menyusun edisi khusus ini untuk mengenang mereka yang gugur 20 tahun lalu-aktivis yang hilang; empat mahasiswa Universitas Trisakti: Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie; korban kerusuhan Mei 1998; dan korban Tragedi Semanggi I dan II. Juga untuk mengingatkan kita yang belum sepenuhnya mampu mengemban amanat perubahan.

Selamat membaca!


TIM EDISI KHUSUS

Penanggung jawab: Anton Septian | Pemimpin proyek: Wayan Agus Purnomo | Penulis: Angelina Anjar Savitri, Gabriel Wahyu Titiyoga, Istman Musaharun, Khairul Anam, Linda Novi Trianita, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah, Raymundus Rikang, Rusman Paraqbueq, Syailendra Persada, Wayan Agus Purnomo | Penyunting: Anton Aprianto, Anton Septian, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Sapto Yunus, Kurniawan, Stefanus Teguh Edi Pramono, Yandhrie Arvian | Penyumbang bahan: Aseanty Pahlevi (Pontianak), Didit Haryadi (Makassar), Isa Anshar Jusuf (Manado), Ridwan Alimuddin (Polewali Mandar), Supardi (Palembang), Syaiful Bukhori (Jambi) | Periset foto: Ijar Karim, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama | Desainer: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Hindrawan, Rudy Asrori | Editor Bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus