Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan keberadaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti melemahkan pemberantasan korupsi. Ia mencontohkan upaya penyegelan dan penggeledahan oleh tim KPK di kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, yang batal terealisasi pada Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gagalnya penggeledahan tersebut mempertegas bahwa UU KPK hasil revisi itu memperlambat kerja KPK dan merugikan upaya pemberantasan korupsi," kata Donal, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Donal, sebelum undang-undang hasil revisi ini berlaku, biasanya penyidik KPK dapat menyadap, menggeledah, dan menyita aset atas perintah surat keputusan Komisioner KPK. Proses itu dianggap Donal dapat mempercepat proses pengejaran alat bukti dalam menjerat pelaku dugaan kasus korupsi. "Mata rantai penggeledahan makin panjang, yang membuat informasi bocor semakin gede. Potensi orang melarikan atau menghilangkan alat bukti lebih besar," ujarnya.
Peneliti dari ICW lainnya, Kurnia Ramadhana, mengatakan peristiwa di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan itu bisa memicu pelaku kasus korupsi lain untuk melakukan hal serupa. Selain itu, pelaku perkara korupsi berpotensi mengajukan praperadilan hanya karena kegiatan penyidik KPK tidak disertai surat izin dari Dewan Pengawas. "Bukan tidak mungkin nanti pelaku korupsi juga mengajukan praperadilan karena penyidik KPK tidak disertai izin Dewan Pengawas," ucapnya.
Upaya penyegelan dan penggeledahan di kantor pusat PDI Perjuangan itu terkait dengan operasi penangkapan terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan dan beberapa calon legislator dari partai berlambang banteng itu pada Rabu lalu. Kemudian Wahyu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap Rp 900 juta terkait dengan pengganti antarwaktu calon legislator PDIP di daerah pemilihan Sumatera Selatan 1. Tiga tersangka lainnya adalah Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bachri, dan Harun Masiku. Mereka pernah menjadi calon legislator PDIP.
Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mengatakan partainya tetap membolehkan penggeledahan kantornya asalkan mengantongi surat-surat resmi. "Kami menghormati proses hukum, tapi mereka tidak dilengkapi bukti-bukti yang kuat, seperti surat tugas dan sebagainya," kata Djarot.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar memastikan tim penyelidik lembaganya sudah dilengkapi dengan surat tugas ketika hendak menyegel ruangan di kantor PDI Perjuangan. "Surat tugasnya lengkap, tapi sekuriti harus pamit ke atasannya," kata Lili.
Ia mengatakan, saat lembaganya terhambat di kantor DPP PDI Perjuangan, pemimpin KPK berkomunikasi dengan anggota Dewan Pengawas. Hasil komunikasi itu, kata Lili, Dewan Pengawas tetap mengharuskan kegiatan penggeledahan disertai izin dari lembaganya.
Silang pendapat itu berujung pada gagalnya penyegelan dan penggeledahan di kantor PDI Perjuangan. Penegak hukum di KPK mengatakan pengurus PDIP menanyakan izin penggeledahan dari Dewan Pengawas kepada tim penyelidik. Permintaan itu merujuk pada Undang-Undang KPK hasil revisi, yang mengatur bahwa penyadapan dan penggeledahan harus seizin Dewan Pengawas.
Permintaan itu terpaksa dipenuhi. Pemimpin KPK mengajukan permohonan izin penggeledahan kepada Dewan Pengawas. "Tim penyidik sejak semalam sudah langsung bekerja dan saat ini izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan beberapa kegiatan di beberapa tempat sudah kami terima," kata juru bicara KPK, Ali Fikri.
FIKRI ARIGI | AVIT HIDAYAT
Petugas keamanan berjalan di samping ruang kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang disegel KPK, di Jakarta, Kamis lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo