Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Alasan Yohanna Menjadi Film Pilihan Tempo 2024

Selain punya gaya tepat mewujudkan film naratif, kekuatan Yohanna ada pada kedalaman makna. Akting memikat Laura Basuki.

9 Februari 2025 | 08.30 WIB

Aktris Laura Basuki dalam perannya di film Yohanna. Foto/Dok.Summerland
Perbesar
Aktris Laura Basuki dalam perannya di film Yohanna. Foto/Dok.Summerland

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Yohanna: Film Pilihan Tempo 2024 karya sutradara Robby Ertanto.

  • Film Yohanna berkisah tentang seorang biarawati dan berbagai problem yang dihadapinya.

  • Beberapa keunggulan Yohanna sehingga terpilih menjadi Film Pilihan Tempo 2024.

HIDUP adalah kepahitan yang diselimuti pertanyaan akan iman. Demikian yang dialami Yohanna, seorang biarawati. Ia merawat imannya dengan melayani Tuhan, tapi didera ujian yang datang menghantamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sebuah mobil pikap yang ia pinjam untuk membawa donasi kemanusiaan korban bencana hilang dicuri. “Saya akan sungguh-sungguh menjaganya,” kata Yohanna sebelum menerima mobil dari pemiliknya. Mobil itu milik seorang muslim yang percaya kepadanya. Dia menyerahkannya dengan ongkos sewa yang sangat murah setelah beberapa pemilik mobil lain menolak Yohanna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sepanjang film adalah cerita tentang pencarian Yohanna terhadap mobil yang hilang itu. Di antara pencarian itu, berbagai problem sosial di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi latar cerita muncul dan menyeret Yohanna ke berbagai persoalan: eksploitasi terhadap anak-anak di bawah umur yang terlibat jual-beli peci (minuman beralkohol khas Sumba), perjudian dalam pertandingan kuda pacu, pencurian kendaraan, dan beragam dosa lain yang dianggap melawan keimanannya. 

Menonton film ini adalah melihat kehidupan Yohanna sebagai insan dan realitas masyarakat yang ia hadapi. Yohanna bukanlah karakter yang “putih bersih” meski ia seorang biarawati. Dia hidup sebagaimana realitas manusia sehari-hari yang bisa baik dan buruk, mulia dan jahat, ataupun di antara keduanya, “abu-abu”. Sebagaimana iman yang bisa naik dan turun. 

Realitas seperti itulah, salah satunya, yang hendak ditunjukkan oleh Robby Ertanto, sutradara sekaligus penulis skenario film Yohanna. Ini mengingatkan kita pada bentuk naratif sinema neorealisme Italia; kepahitan, problem dan eksistensi individu dalam suatu masyarakat, serta pertanyaan tentang kehidupan menjadi tema sentral dalam film-film neorealis. 

Bukan hanya pendekatan neorealis yang diterapkan dalam film Yohanna. Pendekatan new wave cinema juga dipakai terutama dalam gaya visual, termasuk penggunaan kamera yang tidak statis, melainkan selalu mengikuti subyek. Film-film neorealis tumbuh di Italia seusai Perang Dunia II, dicirikan oleh cerita-cerita berlatar rakyat biasa atau kelas pekerja. Cerita difilmkan di lokasi yang tersedia dengan aktor nonprofesional yang kadang dikombinasikan dengan aktor profesional.

Aktris Laura Basuki dalam perannya di film Yohanna. Foto/Dok.Summerland

Adapun new wave adalah gerakan film di Prancis pada akhir 1950-an. Ciri khasnya adalah penolakan terhadap konvensi pembuatan film tradisional (Hollywood) baik secara bentuk naratif maupun gaya film. Ada eksplorasi terhadap kamera handheld, penyuntingan, gaya visual, dan narasi, juga keterlibatan dengan persoalan sosial dan politik serta tema eksistensial. 

Tentu sebuah bentuk cerita tidak serta-merta dapat disemati gaya film secara sembarangan. Gaya yang saya maksud di sini mengacu pada mise-en-scène atau pengadeganan, sinematografi, penyuntingan, dan sound. Penggunaan kamera handheld yang mengikuti subyek (dalam film Yohanna diganti dengan Steadicam/Gimbal sehingga gerak kamera lebih halus), banyaknya pemain nonaktor, dan pencahayaan available light yang menjadi andalan, misalnya, merupakan kombinasi gaya neorealis dengan new wave

Kombinasi gaya itu dalam Yohanna secara umum cukup baik dan tepat meski di beberapa bagian, seperti dialog dan akting satu-dua pemain, kurang maksimal. Walau begitu, hal tersebut tidak cukup untuk meruntuhkan kekuatan bangunan film ini. Misalnya akting bapak muslim pemilik mobil yang sedikit kaku dalam merespons Yohanna, juga sejumlah dialog yang menggunakan bahasa formal alih-alih bahasa sehari-hari orang Sumba. 

Pendekatan kombinasi neoralis-new wave ini sebagai bahasa film cukup efektif membawa penonton ke suatu peristiwa yang dialami Yohanna. Teknik kamera yang selalu bergerak mengikuti Yohanna membuat kita terbawa untuk terus mengikutinya. Kita sebagai penonton seolah-olah menjadi kamera yang berada di dekat Yohanna, menyaksikan berbagai peristiwa yang ia alami. 

Aktris Laura Basuki dalam perannya di film Yohanna. Foto/Dok.Summerland

Teknik seperti ini banyak digunakan dalam film dokumenter mode observasional atau etnografi film. Melalui kamera, sebuah peristiwa sehari-hari yang dialami oleh seseorang dalam suatu masyarakat atau komunitas budaya ditunjukkan kepada kita sebagai penonton.

Kita menyaksikan, mengobservasi, memahami, dan kemudian memaknai apa yang ditunjukkan kamera. Misalnya saat Yohanna berjalan ke sana-kemari berusaha mencari pinjaman mobil, juga ketika ia bersama Alis berjalan menuju kantor polisi untuk melaporkan mobilnya yang hilang. Atau tatkala Yohanna berada di antara permainan pacuan kuda. 

Penggarapan tata cahaya secara available light—mengandalkan cahaya sore menjelang senja—yang menyemburkan warna kuning hangat menempa Yohanna dalam berbagai peristiwa. Seperti saat dia bermain bola di pantai, di lapangan pacu kuda, di jalanan, atau berboncengan dengan sepeda motor bertiga di pinggir laut dalam perjalanan menuju tempatnya yang baru, yang memberikan kesan kerasnya kehidupan di Sumba Timur. Ini sekaligus seolah-olah mengatakan Tuhan selalu menyinari dan memberkahi Yohanna, meski kenyataan yang ia rasakan tidak sepenuhnya demikian.

Penggunaan lokasi syuting Yohanna yang hampir semua “apa adanya” (tersedia), tanpa ada rancangan set khusus: di pasar, di arena pacuan kuda, rumah, dan lokasi lain, kecuali interior kantor polisi yang masih terasa dibuat, juga merupakan gaya yang digunakan dalam film-film neorealis dan new wave, dan tampaknya cukup berhasil diterapkan dalam film ini. Lokasi yang “apa adanya” itu menciptakan suatu suasana yang realis. Ini memberi kontribusi dalam memperkuat dan memberikan keyakinan kepada penonton tentang segala peristiwa sosial budaya, bahkan keimanan, yang sedang dihadapi Yohanna. 

Selain gaya yang dipilih tepat untuk mewujudkan film naratif, dari sisi medium, kekuatan Yohanna adalah gaya dan bentuknya, termasuk struktur naratif yang tidak linear, terintegrasi dengan baik dan membuat karya ini mempunyai kedalaman makna. Yohanna bukan sekadar film yang menjadi hiburan ataupun ekspresi seni. Film ini pun menyajikan kehidupan tokoh-tokohnya yang menggugat realitas kehidupan tidak hanya di tempat mereka berada di Sumba Timur, tapi juga di sekitar kita.

Aktris Laura Basuki dalam perannya di film Yohanna. Foto/Dok.Summerland

Hal-hal itulah yang menjadi pertimbangan para juri dalam menobatkan Yohanna sebagai Film Pilihan Tempo 2024.

Kehadiran Alis, seorang gadis kecil yang terlibat dalam bisnis minuman beralkohol dan berbagai “kejahatan” lain, seolah-olah menjadi antitesis Yohanna. Alis menemukan keyakinan dirinya kepada Tuhan setelah berurusan dengan dunia gelap dan penuh dosa. Alis memandang Yohanna sebagai figur yang beriman dan jauh dari dosa. Karena itulah Alis mengenakan pakaian biarawati yang mirip dengan kostum Yohanna.

Sedangkan Yohanna mengalami kebimbangan perihal jalan yang ia tempuh sebagai biarawati setelah ujian menerpanya. Kebimbangan tersebut ditunjukkan dengan jitu melalui adegan Yohanna mendatangi seorang dukun untuk menanyakan dan mencari mobilnya yang hilang. Padahal sebelumnya dia menolak ketika Alis membawanya ke dukun itu karena berseberangan dengan keimanannya. 

Dalam adegan lain, Yohanna mendatangi tempat judi kuda pacu. “Bukankah berjudi itu dosa?” kata seorang pejudi kepada Yohanna yang ingin ikut berjudi. “Kita harus bertarung untuk diri sendiri,” Yohanna menjawab. Tapi dia gagal memenangi perjudian itu. Semula Yohanna berniat menebus mobilnya yang disandera Markus, seorang preman, dengan uang yang didapatkan dari judi itu bila menang.

Sutradara Razka Robby Ertanto. Foto/Dok.Summerland

Dua adegan itu memperlihatkan dengan baik semacam keterpaksaan dan “keputusasaan” dalam diri Yohanna dalam upayanya mengembalikan mobil yang hilang tersebut. Demi tanggung jawabnya itu, dia mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya. 

Dalam berbagai kepahitan itu, Yohanna makin ragu akan jalan yang ia tempuh sebagai biarawati. Imannya tergoyahkan. Dia pun memutar haluan, memilih jalan yang lain. Yohanna mulai menjauh dari keyakinannya dalam menjalani kehidupan sebagai biarawati, sebagaimana yang ia sampaikan kepada kepala biarawati.

Dia merasa telah membantu jalan Tuhan, tapi justru mengalami kesusahan lantaran kehilangan mobil. Yohanna merasa Tuhan tak membantunya. Imannya tak cukup untuk mengatasi kepahitan hidupnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Yohanna dan Selimut Iman

Nurman Hakim

Nurman Hakim

Sutradara film dan mahasiswa S3 Antropologi Universitas Indonesia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus