Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLAK...! Plak...! Telapak tangan Dora Marie Sigar mendarat ke muka Prabowo Subianto dan Maher Algadri. Malam itu Prabowo dan Maher baru saja bikin keributan di lantai dua rumah pengusaha Tan Goan Po alias Paul Mawira di Sirnagalih, Bogor, yang hendak beristirahat. "Tante Dora langsung menjambak kami dan membawa turun," kata Maher, mengenang kejadian enam dekade lalu.
Dora adalah ibu Prabowo, istri Sumitro Djojohadikusumo. Sedangkan Maher putra pasangan Hamid Algadri dan Zena binti Husein Alatas. Maher ingat pada masa itu Bowo-begitu Prabowo biasa dipanggil-masih duduk di TK Sumbangsih, Jakarta Selatan. Usia Bowo lebih muda lima tahun dari Maher, yang sudah duduk di Sekolah Dasar Perwari, Salemba, Jakarta Pusat.
Menurut Maher, hampir setiap akhir pekan ayahnya mengajak keluarga ke kawasan Puncak. Selain bertemu dengan keluarga Paul Mawira-kelak mendirikan Bank Niaga-mereka berkumpul dengan keluarga Soemitro.
Hubungan keluarga Algadri dan Djojohadikusumo sudah dimulai lebih dari satu dekade sebelumnya. Hamid Algadri ialah tokoh pendiri Partai Arab Indonesia yang berkawan dekat pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia dengan Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo.
Setelah proklamasi, Hamid gantian bersahabat dengan Sumitro, putra sulung Margono yang baru menuntaskan pendidikan di Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda. Keduanya berkarier di kantor Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Hamid sebagai pegawai tinggi Sekretariat Perdana Menteri, sedangkan Sumitro menjadi pembantu staf Perdana Menteri. Mereka satu barisan di Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Seperti anak-anaknya, persahabatan Hamid dan Sumitro menular ke istri mereka, Zena binti Husein Alatas dan Dora. Itulah sebabnya, kata Maher, ibu Bowo tak segan menghukum dirinya jika memang dianggap melakukan kesalahan. "Ibu saya membiarkannya, tak marah, karena tahu itu untuk mendidik saya," ujarnya.
Maher yakin ketegasan Dora berperan membentuk Prabowo, yang di kemudian hari dikenalnya sangat berdisiplin. Peran besar Dora dalam membesarkan putra-putrinya diakui Sumitro dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. "Saya jarang di rumah. Dalam hal memberikan pendidikan formal kepada anak-anak, istri sayalah yang banyak berperan," kata Sumitro.
Kun Mawira, anak Paul Mawira yang sebaya dengan Prabowo, juga ingat masa-masa ketika ia sering berkumpul bersama Prabowo dan Maher di Sirnagalih, kawasan Puncak. Selain di vila milik ayahnya, keluarga mereka terkadang berkumpul di rumah Saroso Wirodiharjo, paman Sumitro, dan pengusaha Masagus Nur Muhammad Hasjim Ning, di Megamendung. "Keluarga kami juga bergantian berkunjung di Jakarta," kata Kun, yang kini menjadi komisaris Panin Sekuritas.
Jika sudah berkumpul di luar Jakarta, hanya para istri dan anak yang menikmati liburan akhir pekan. Sumitro, Hamid, dan Paul Wamira lebih sering mendiskusikan berbagai urusan politik dan ekonomi Indonesia. Bahkan, menurut Maher, pertemuan di Puncak sering diikuti utusan dari Tunisia, Aljazair, dan negara Afrika bagian utara lain.
Pada 1956, sebagai Ketua Komite Luar Negeri di Konstituante, Hamid memang dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair. Kelak, pada 1992, Hamid dan Sumitro menerima bintang kehormatan Wissam Jamhuriah Republik dari Pemerintah Tunisia.
Pada masa itu, Bowo, Maher, dan Kun masih sangat belia untuk mengikuti dan memahami pembicaraan ayah mereka dengan para tamunya. "Tapi, karena sejak kecil bergaul dengan para pemikir negara, kami sudah terbiasa dengan kehidupan politik," ujar Maher, yang kini menjadi bos Kodel Group.
Pengaruh kebiasaan itu tampak menonjol pada Bowo, yang oleh Maher dan Kun dilihat tak seperti bocah pada umumnya. Ketika Maher getol bermain mobil-mobilan dan berangan-angan menjadi pembalap, Bowo kecil malah beberapa kali mengungkapkan keinginannya menjadi pemimpin bangsa.
Kun membenarkan sifat Prabowo yang cenderung ingin memimpin di segala urusan. "Sejak kecil, dia tak takut menyampaikan kehendak kepada yang lebih tua, seperti Maher," kata Kun.
Terkadang sikap itu pula yang menimbulkan perselisihan di antara Bowo dan Maher pada masa kecil. Sama seperti dirinya, kata Maher, Bowo senang dengan segala sesuatu yang memompa adrenalin. "Kami sering berantem di Puncak," kata Maher. "Sejak kecil dia jagoan."
Namun pertemanan masa kecil mereka tak berusia lama. Prabowo ikut orang tuanya yang mengasingkan diri ke luar negeri selama terjadinya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) pada 1957. Begitu pula Kun dan keluarganya.
Maher tak pernah berpikir kawan-kawan masa kecilnya itu akan kembali. Terlebih gerakan yang oleh pemerintahan Sukarno disebut sebagai pemberontakan itu akhirnya gagal. Hingga berselang sepuluh tahun kemudian, saat Maher masih sibuk dengan aktivitasnya sebagai salah satu pemimpin Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Kala itu, sekitar akhir 1967, Prabowo tiba-tiba menemuinya di Jakarta. Maher ingat karena beberapa bulan sebelumnya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mencopot kekuasaan Presiden Sukarno.
Di mata Maher yang berstatus Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Pancasila, pengetahuan Bowo yang baru menamatkan sekolah menengah atas di The American School in London sangat brilian. Berdua mereka membicarakan sejarah shogun di Jepang, dinasti-dinasti di Cina, dan para jenderal dalam perang dunia.
Menurut dia, Prabowo memang haus sejarah. Sekembali ke Indonesia, ia sering ke rumah Maher. Kali ini bukan untuk bermain dengan Maher, melainkan berdiskusi dengan Hamid Algadri, yang waktu itu lebih sibuk di bidang sosial. "Bowo ternyata membaca tulisan-tulisan ayah saya," kata Maher.
Maher juga bisa melihat bakat Prabowo pada masa kecil yang semakin terasah: berpidato. Suara Bowo yang meledak-ledak sebanding dengan kalimat yang dilontarkannya. "Untuk anak yang baru berusia 16 tahun, pengetahuannya luas sekali," ujar Maher.
Dengan kemampuannya itu, Prabowo akhirnya sering ikut bersama Maher dalam berbagai pertemuan di markas KAPPI di Gambir, Jakarta Pusat. Selain itu, dia kerap berdiskusi dengan aktivis lain. "Berulang kali dia melontarkan perlunya upaya konkret membantu masyarakat," kata Maher, yang tak menampik kemungkinan pemikiran Bowo dipengaruhi oleh pertemanannya dengan Soe Hok Gie, aktivis gerakan mahasiswa pada 1960-an.
Tak lama kemudian muncul gagasan di kepala Prabowo untuk membentuk Lembaga Pembangunan. "Bowo tidak mau hanya menjadi penonton," kata Maher.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo