Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENEBAK situasi Jakarta pekan ini seperti menghitung suara tokek. Rusuh, aman, rusuh, aman, rusuh, aman. Be-tapa tidak. Hampir semua media diramaikan oleh kabar persiapan massa pendukung dan penentang Presiden Abdurrahman. Dari persiapan pasukan, keberangkatan, kedatangan mereka di sejumlah terminal bus dan stasiun kereta api, sampai di mana mereka akan menginap telah diulas tuntas oleh semua koran. Bagaimana rencana para penentang Abdurrahman menghadapi lawan-lawan politiknya juga sudah ditulis. Pendeknya, tak ada cerita yang terlewat.
Justru ini yang membuat banyak orang cemas karena situasi masih serba tak pasti. Presiden Abdurrahman Wahid, yang semula memberi angin kepada pendukungnya untuk membanjiri Jakarta, belakangan berbalik repot menenteramkan massanya. Ia bahkan sampai merasa perlu mengutus Menteri Pertahanan Mahfud Md. bersafari keliling Jawa Timur untuk menyampaikan pesan agar warga nahdliyin tak perlu ke Ibu Kota.
Para kiai Nahdlatul Ulama tak kalah bingung. Semula mereka bersikeras melangsungkan acara istighotsah. Belakangan, kiai-kiai itu sibuk meminta umatnya agar segera pulang ke daerah masing-masing begitu acara selesai. Sementara itu, Ketua Pelaksana Istighotsah Kubro, K.H. Manarul Hidayat, malah lepas tangan. Ia mengaku tidak menanggung apa pun setelah istighotsah usai, termasuk jika di antara peserta ikut mengepung Gedung MPR/DPR keesokan harinya. "Itu bukan urusan saya dan bukan urusan PB NU. Itu urusan pribadi mereka masing-masing," ujar Manarul kepada Adi Prasetya dari TEMPO.
Belakangan, aktivis pendukung pro-Gus Dur mulai gelisah setelah memperkirakan rencana mereka untuk menduduki DPR bakal menemui beragam hambatan, termasuk bentrokan dengan aparatinsiden yang niscaya akan merugikan citra mereka dan Presiden sendiri.
Apalagi, ternyata kalangan pendukung Presiden Abdurrahman tak cukup solid. Mereka terpecah dalam pelbagai kekuatan dan kepentingan berbeda. Hal itu tampak dari, misalnya, bagaimana kalangan aktivis Front Pembela Kebenaran (FPK) Jawa Timur melihat posisi Nuril Arifin, yang selama ini disebut-sebut sebagai Panglima Pasukan Berani Mati. Di mata FPK, Nuril tak lebih sebagai organisator pendukung Abdurrahman dari Jawa Tengah. Ia bukan panglima yang punya otoritas dan basis massa kuat.
Nuril juga dianggap tak punya legitimasi menggerakkan massa pendukung Abdurrahman dari Jawa Timur, yang kekuatannya jauh lebih besar. "Kiai Nuril tidak ada hubungan dengan FPK Jawa Timur," ujar Wiro Sugiman, Koordinator FPK Jatim. Menurut Wiro, kaitan antara barisan Nuril dan FPK Ja-Tim cuma sebatas aliansi taktis. Arek-arek Jawa Timur juga punya strategi dan skenario yang dibangun sendiri yang mungkin berbeda dengan Nuril dkk.
Sementara itu, meski para penentang Presiden Abdurrahman menyiapkan skenario perang, kenyataan bisa bicara lain. Dalam pertemuan dengan pimpinan DPR yang diwakili A.M. Fatwa, Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia, Habib Husein Alhabsyi, memang sudah menawarkan diri untuk melindungi Gedung MPR-DPR dari serangan kelompok pro-Pesiden. Namun, menurut Panglima Jundullah Ikhwanul Muslimin, Abdurrahman Assegaf, pasukannya tidak dikerahkan pada saat sidang pleno, Senin pekan ini. Rencananya, mereka akan memberi kesempatan Pasukan Berani Mati menduduki Gedung DPR selama tiga hari lebih dulu. Baru setelah itu mengusirnya. "Pokoknya, mereka tidak boleh lebih dari tiga hari jika menduduki Gedung DPR," kata Abdurrahman kepada Rian Suryalibrata dari TEMPO.
Walhasil, sejauh ini suasana siaga satu sepertinya cuma ada di media. Kabar tentang persiapan, baik massa pendukung maupun penentang Presiden Abdurrahman, lebih mirip perang urat saraf belaka ketimbang ancaman nyata. Tak aneh bila reaksi warga Jakarta pun beragam dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kerusuhan. Jajak pendapat TEMPO memperlihatkan sebagian responden memang mengaku terteror melihat persiapan "perang" kedua kelompok di atas. Tapi tidak semuanya percaya pertumpahan darah benar-benar akan terjadi.
Indikasi keraguan sikap warga terlihat di jalanan. Sejumlah gedung dan kantor yang berlokasi di sepanjang Thamrin-Sudirman, misalnya, memang tampak bersiap mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan dengan memasang barikade-barikade berlilit kawat berduri. Meski demikian, hampir semua kantor tak meliburkan karyawannya.
Kalangan pendidikan begitu juga. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional DKI Jakarta memang telah mengeluarkan izin libur sekitar 22 sekolah yang berlokasi di sekitar Gedung MPR/DPR Senayan. Tapi, banyak sekolah lainterutama yang berada di pinggir kotamemutuskan tetap akan melakukan kegiatan belajar. Sejumlah sekolah asing belum memutuskan libur atau tidak.
Sementara itu, tak terlihat adanya aksi main borong barang kebutuhan sehari-hari di pasar-pasar ataupun pusat perbelanjaan yang mengindikasikan warga menimbun barang. Di Pasar Swalayan Hero, misalnya, tak terlihat lonjakan pembeli. Menurut salah seorang staf yang enggan disebut namanya, penjualan bahan pokok (seperti mi instan, beras, minyak, dan gula) sepanjang pekan lalu justru turun 2-3 persen dari seminggu sebelumnya.
Situasi di Pusat Perbelanjaan Alfa, Cikini, Jakarta Pusat, kurang-lebih sama. Hanya dua-tiga orang yang berbelanja di gerai bahan pokok. Murni, 35 tahun, yang membeli mi instan hingga 30-an biji, mengatakan bahwa ia hanya belanja rutin untuk anak-anaknya. Ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Salemba Tengah ini bahkan mengaku tak takut mendengar berita bakal ada demonstrasi di Jakarta. "Ngapain takut. Biasa aja tuh," katanya.
Apakah kerusuhan cuma isapan jempol? Belum tentu. Dari perspektif aparat, semua kemungkinan itu masih bisa terjadi. Dan mereka tak mau kecolongan. Karena itulah polisi dan TNI menyiapkan skenario pengamanan. Mula-mula Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota Jaya melakukan apel pasukan di Bumi Perkemahan Cibubur. Apel yang diikuti lebih dari 2.000 anggota itu memperagakan penanganan demonstran.
Keesokan harinya, giliran sekitar 7.000 personel kepolisian dan tentara, lengkap dengan kendaraan lapis baja, kuda, dan anjing, melakukan Gelar Pasukan Pengamanan Istighotsah dan Sidang Paripurna DPR di Lapangan Monas, pekan lalu. Peserta apel akbar yang berasal dari pelbagai kesatuan dan pasukan tersebut merupakan bagian dari lebih 40 ribu personel yang siap diterjukan di lapangan dan sebagai cadangan.
Polisi bahkan mengaku telah menjaga setiap inci daerah Ibu Kota. Mereka, misalnya, mulai memantau ketat kantong-kantong massa Nahdlatul Ulama. Polisi pun aktif melakukan razia senjata tajam di sejumlah tempat. Untuk memantau pergerakan kaum pendatang dari luar kota, aparat telah mendirikan posko-posko di pintu-pintu masuk menuju Ibu Kota.
Sementara itu, aparat di daerah tak kalah aktif. Mereka ikut mendampingi bus-bus massa pendukung Presiden Abdurrahman yang berangkat dari Jawa Timur menuju Jakarta. Nah, untuk menghindari benturan antara dua kelompok massa yang berseberangan nantinya, polisi berencana melakukan penyekatan-penyekatan. Jika masih kurang dan tetap muncul tindakan anarkis, polisi tak segan menjalankan perintah tembak di tempat. Kurang apa coba?
Wicaksono, Rommy Fibri, Adi Sutarwijono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo