Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rambut Ditarik, Tepung Jangan Berserak

Kunci Memorandum Kedua jelas ada di tangan Mega. Bagaimana ia memainkannya?

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


KESIMPULAN Fraksi PDI Perjuangan di sidang DPR, Senin ini, terdengar bagai gong penutup. "... maka Fraksi PDI Perjuangan tiba pada kesimpulan untuk mengusulkan kepada Sidang Dewan yang mulia ini agar menyampaikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid Memorandum Kedua untuk diindahkan."

Sikap PDI-P itu jelas mencerminkan sikap ketuanya, Megawati Sukarnoputri, yang selama ini tak pernah bicara gamblang kepada publik ihwal kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Ia terkesan kuat berusaha tetap menjalin hubungan baik, walau belakangan—dari info orang sekitarnya—putri Bung Karno itu mulai gerah dengan tindak-tanduk Abdurrahman. Jika sikap Mega—yang tertuang dalam draf tanggapan PDI-P setebal 18 halaman itu—tak berubah, Memorandum Kedua jatuh sudah. Fraksi yang lain, kecuali PKB, praktis senada dengan suara Mega. Kalau sudah begitu, "pintu" ruang Sidang Istimewa MPR sejatinya sudah terbuka "sebelah".

Sejak Memorandum Pertama jatuh 1 Februari lalu, nasib Abdurrahman, apa boleh buat, banyak bergantung pada Megawati. Presiden Abdurrahman sudah mencoba banyak cara untuk mendekati sang Pemenang Pemilu, antara lain menjadwalkan "sarapan pagi" tiap Rabu di rumah Mega. Jangan main-main, sarapan itu adalah keputusan sidang kabinet! Tapi, terkadang di luar sarapan ada saja ucapan Gus Dur yang tak "enak" di kuping Mega, misalnya ketika Gus Dur menerima Forum Indonesia Damai, ia "menyindir" aktifnya kegiatan Taufiq Kiemas, suami Mega. Soal kemampuan Mega juga diragukannya.

Mega pun patah arang. Menurut empat petinggi PDI-P—termasuk di antaranya anggota Tim Delapan (perumus draf tanggapan)—sang Ketua Umum bahkan terlibat dalam penyusunan kalimat per kalimat. Empat kali (semula direncanakan cuma tiga kali) Tim Delapan melakukan pembahasan bersama Mega. Draf awal digodok pertama kali pada Selasa, 10 April lalu, di Kantor PDI-P di Pecenongan. Senin malam kemarin, pembahasan berlanjut di rumah dinas Wapres di Jalan Teuku Umar, dari pukul 21.30 sampai 23.00.

Selain minta agar bunyi kesimpulan yang mendukung Memorandum Kedua ditegaskan, Mega juga memberi penekanan pada sejumlah alinea penting. Beberapa di antaranya mengarah pada sebuah proses pergantian kekuasaan. Mega, misalnya menitipkan supaya sebuah pepatah Melayu dimasukkan. Bunyinya, "Bagaikan menarik rambut dalam tepung. Rambut jangan putus, tepung jangan berserak." Sebuah harapan agar "pelengseran" Presiden Abdurrahman bisa diterima warga Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Bangsa, dan massa pendukung Presiden dengan legawa.

Nada yang lebih eksplisit juga disetujui Mega. Ini tertera dalam kalimat, "... kehormatan dan keadilan harus kita kembalikan kepada yang hak." Sebuah pernyataan yang lantas mengingatkan posisi PDI-P sebagai partai pemenang pemilu. Ini pernah dikiaskan Dalang Ki Manteb Sudharsono ketika memainkan lakon wayang Pandawa Menagih Janji pada peringatan ulang tahun PDI-P, Januari lalu di Jakarta.

Tim Delapan juga diminta Mega memberi catatan penting soal pernyataan berbau ancaman dari Presiden Abdurrahman, dua pekan lalu, di seminar "Indonesia Next". Abdurrahman bilang, pemberontakan nasional bakal meletup jika ia dilengserkan. Ia juga bicara soal 400 ribu massa pendukungnya yang siap siaga jika Memorandum Kedua diloloskan Senayan. "Ini siapa memberontak siapa?" kata sumber TEMPO menirukan kekesalan Mega.

Kamis malam kemarin, dari pukul 19.30 sampai 21.00, masih di Teuku Umar, pembahasan kembali dilakukan. Tak ada banyak perubahan berarti dari rancangan sebelumnya. Membuka pertemuan, Mega langsung meminta persetujuan supaya tanggapan PDI-P itu dibacakan oleh Dwi Ria Latifa, 34 tahun, salah satu anggota Tim Delapan dan pengacara anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia yang lama mendampingi Mega di masa-masa sulit dulu. Anggota Fraksi PDI-P yang mengisi kursi Mega di DPR sejak Agustus tahun lalu ini lalu membacakan draf. Setelahnya, Mega, yang malam itu sangat rileks, cuma berpesan dua hal. Landasan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 perlu tegas dicantumkan. Yang lain, Mega minta supaya dasar konstitusi yang melandasi jatuhnya Memorandum Kedua dibuat lebih sistematis.

Keesokan harinya, kata sumber TEMPO, pada rapat pengurus pusat dan anggota fraksi di Pecenongan, palu partai pun diketuk: PDI-P setuju Memorandum Kedua digulirkan. Perdebatan sempat berlangsung. Tokoh sepuh Abdul Madjid menyatakan pendapatnya bahwa status Panitia Khusus Dana Bulog dan Brunei tak legal, dan karenanya memorandum tak bisa dijatuhkan. Pendapat ini keras ditolak Permadi dan Roy B.B. Djanis. Menurut Roy, yang dikenal dekat dengan Taufiq Kiemas, Memorandum Kedua adalah sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Yang sekarang mesti dibicarakan adalah soal ke depan: bagaimana mempersiapkan pemerintahan Mega mendatang. Sebagian besar hadirin menyatakan setuju. Dan Sutjipto, Sekjen PDI-P yang memimpin rapat, pun mengetukkan palunya. Naskah final diputuskan Ahad malam kemarin bersama Mega di Teuku Umar.

Maka, kandas sudah berbagai upaya Presiden Abdurrahman melunakkan sikap Mega. Menurut Tjahjo Kumolo, pengurus pusat PDI-P, pada 7 April silam setelah mengikuti acara bahtsul masa'il di Pesantren Al Masturiyah, Sukabumi, delapan kiai waskita diutus menemui Mega. Mereka, menurut sumber TEMPO di NU, adalah K.H. Subadar, K.H. Fachruddin Masturo, K.H. Muttawakil, dan K.H. Sidqi. Tapi misi membentur tembok. Mereka malah mendengar langsung curahan kekecewaan Mega terhadap Abdurrahman. Mega juga menyatakan memilih apa yang selalu disebutnya sebagai "jalan konstitusional". Ihwal pertemuan dikonfirmasikan Kiai Subadar. Tapi ia menyanggah ihwal kedatangannya itu untuk melakukan lobi politik. "Kami hanya bersilaturahmi biasa," katanya. Menurut kiai asal Pasuruan itu, Mega cuma berpesan agar tali persaudaraan PDI-P dan NU tetap terpelihara.

Kata seorang kalangan dekat Mega, Rabu kemarin Presiden juga memanggil lima menteri kepercayaannya. Mereka ditugasi membujuk Mega agar bersedia berkompromi. Tawaran disampaikan kepada petinggi PDI-P. Bunyinya, Mega boleh menunjuk 70 persen anggota kabinet yang akan ditata ulang. Malang, Gus Dur bertepuk sebelah tangan.

Yang menarik, kalangan PDI-P "memagari" Mega agar sampai sidang digelar Senin ini ia tidak bertemu Presiden. Tujuannya untuk menutup peluang keluarnya berbagai "pelintiran" pernyataan seperti sebelumnya. Mega diplot supaya menghindar dari jadwal rutin "sarapan politik". Rabu pagi kemarin, di rumah dinas Wapres di Jalan Teuku Umar, Abdurrahman bersama sejumlah menteri dan jenderal terpaksa makan pagi tanpa tuan rumah. Ke mana si empunya rumah? Ke Bali untuk membuka seminar teknologi informasi. Taufiq Kiemas pun sedang berada di Singapura. Di rumah cuma ada tiga pembantu rumah tangga. "Setelah itu, Ibu akan 'sakit politik'," kata sumber itu tersenyum.

Benar saja. Keesokan harinya, Sekretaris Wapres Bambang Kesowo mengatakan Mega tak hadir di sidang kabinet dengan alasan lagi flu. Karena skenario itulah, kata sumber TEMPO di PDI-P, Tim Delapan sampai mesti datang sembunyi-sembunyi ke Teuku Umar, Kamis malam kemarin itu. Semua mobil anggota tim diminta diparkir di suatu tempat. Dari situ, baru mereka dijemput dua mobil khusus. Jumat malam, pada acara "pidato perdamaian" di TVRI yang terkesan kurang gereget itu, Presiden Abdurrahman pun duduk sendirian. "Ibu Mega tidak bisa hadir, katanya masih flu," ucap Abdurrahman.

Di luar soal elak-mengelak gaya ewuh-pakewuh Jawa itu, Mega sebenarnya terus bersiap diri. Orang-orang kepercayaannya terus berupaya melempangkan jalannya ke Istana. Melalui forum lintas partai, Ketua Fraksi PDI-P Arifin Panigoro terus menggelar lobi maraton untuk "mengamankan" kursi Mega hingga 2004. Dan jaminan untuk itu, kata Didi Supriyanto, telah dikantongi. Lima partai—PDI-P, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang—telah bersepaham untuk tak mendongkel Mega di tengah jalan. Untuk keperluan itu, mekanisme sidang tahunan yang "rawan goyangan" akan dihapus.

Jaminan dari luar negeri juga tengah intensif dijajaki. Tiga pekan lalu, Taufiq Kiemas terbang ke Amerika Serikat. Di sana, kata Tjahjo, yang turut dalam rombongan, Taufiq bertemu dengan orang nomor dua di Pentagon, pejabat kunci di Departemen Keuangan dan Luar Negeri yang membidangi Asia Tenggara. Amerika mendukung naiknya Mega? "Mereka memberi perhatian khusus pada keutuhan wilayah Indonesia, yang untuk itu dibutuhkan seorang presiden yang memiliki legitimasi kuat," kata Tjahjo. Dalam waktu dekat, Taufiq kembali akan terbang untuk bertemu dengan sejumlah senator dan anggota kongres negeri adikuasa itu. Mega sendiri telah menerima undangan dari Presiden George Bush untuk berbicara dalam sebuah konferensi internasional di Washington, sekitar Juni mendatang. Seorang pengurus PDI-P juga mengungkapkan, saat ini telah dibentuk tim perancang cetak biru pemerintahan Mega kelak.

Itu memang soal "masa depan". Yang mendesak adalah bagaimana menarik rambut tanpa membuat tepung berserak-serak.

Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus